Setidaknya dua tahun terakhir, Manado, Sulawesi Utara, hanya mengalami sekali banjir rob, yaitu pada awal tahun ini. Sedikitnya 3,4 persen dari luas Kota Manado rentan tergenang banjir rob berdasar data Climate Central.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
Setidaknya dua tahun terakhir, Manado, ibu kota Sulawesi Utara, hanya mengalami sekali banjir rob, yaitu pada awal tahun ini, tepatnya Minggu (17/1/2021). Kala itu, wilayah bisnis di lahan reklamasi, terutama Manado Townsquare dan kawasan Megamas, kebanjiran oleh air laut. Air laut bahkan meluber hingga Boulevard Piere Tendean, Kecamatan Sario.
Kendati demikian, rob bukan semata disebabkan oleh kenaikan muka air laut hingga melebihi tinggi daratan di sepanjang pantai barat Manado, melainkan cuaca ekstrem. Saat itu, angin kencang menyebabkan gelombang meninggi di Laut Sulawesi. Air laut pun memukul dinding lahan reklamasi hingga menyebabkan kerusakan infrastruktur.
Koordinator Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Maritim Bitung Ricky Daniel Aror mengatakan, peristiwa itu terjadi bersamaan dengan air laut yang sedang pasang maksimum. Air di Teluk Manado kala itu 230 sentimeter lebih tinggi dari rata-rata tinggi muka air laut. Arah gelombang pun tegak lurus dengan garis pantai.
Bersamaan dengan itu, hujan deras melanda Manado selama sepekan penuh akibat fenomena La Nina. Banjir pun tak terhindarkan. ”Penyebab banjir memang beberapa cuaca ekstrem, mulai dari La Nina, pusat tekanan rendah, dan pasang air laut,” kata Ricky.
Selebihnya, banjir rob nyaris tak pernah ditemui di Manado. Kendati begitu, ancaman tetap ada. Menurut kajian Kompas berdasarkan data Climate Central pada 2021, 3,4 persen dari luas Kota Manado rentan tergenang banjir rob. Artinya, 7,4 persen dari sekitar 400.000 penduduk Manado sangat mungkin terdampak.
Rob bukan semata disebabkan oleh kenaikan muka air laut hingga melebihi tinggi daratan di sepanjang pantai barat Manado, melainkan cuaca ekstrem.
Kerentanan Manado terhadap banjir rob pun tergolong rendah. Manado lebih rentan tergenang banjir akibat hujan berintensitas lebat dengan curah hujan lebih dari 100 milimeter. Kota Tinutuan pun hampir pasti dilanda banjir setiap awal tahun, antara Januari dan Februari.
Kini, Wali Kota Manado Andrei Angouw yang mulai menjabat pada Mei 2021 lalu kerap turun langsung ke lapangan untuk meninjau banjir. Beberapa penyebab banjir mulai teridentifikasi, seperti drainase yang tersumbat. Di samping itu, pemkot juga memperlebar dan mengeruk dasar sungai.
Menurut Andrei, hal ini efektif untuk mengurangi luapan air ke jalanan kota. ”Satu hal yang masih perlu diingatkan lagi adalah kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan,” kata Andrei.
Pada saat yang sama, ancaman banjir yang lebih mungkin menyerang Manado adalah banjir bandang dari hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano. Kepala Badan Perencanaan Penelitian Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Manado Liny Tambajong mengatakan, pada 2014, luasan banjir mencapai 653,41 hektar.
Pada 2019, luasannya berkurang signifikan menjadi 45,88 hektar saja karena sudah ada pelebaran sungai menjadi 30 meter. Namun, pada 2021, luasan banjir meningkat hingga 58 persen dari 2014 menjadi 377,87 hektar.
Menurut Liny, hal yang mendesak dilakukan saat ini adalah penertiban bangunan di sepanjang sempadan sungai. Selain itu, sedimentasi dan pengerukan perlu diteruskan. Proyek ini dijalankan oleh Balai Wilayah Sungai Sulawesi I (BWSS I).
Ini diwujudkan dalam tanggul-tanggul normalisasi di beberapa sungai di Manado, terutama yang rawan banjir, seperti di daerah Tikala, Sario, dan Tondano. Proyek ini tengah berlangsung, salah satunya di mulut Sungai Sario dengan dana lebih dari Rp 2 triliun hingga 2024.