Aturan Prokes Angkutan Darat Masih Galak di Atas Kertas
Beragam aturan protokol kesehatan dibuat untuk menghadapi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Namun, penerapannya masih jauh dari harapan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Di atas kertas, pelaku perjalanan transportasi umum di darat harus menyertakan berbagai persyaratan, mulai dari kartu vaksin hingga hasil tes negatif Covid-19. Namun, di lapangan, beragam siasat dan minimnya pengawasan bisa memicu aturan itu tumpul saat dijalankan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari Kabupaten Indramayu, Ari (29) akhirnya tiba di Terminal Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (15/8/2021) siang. Baru saja turun dari sepeda motor, dua orang langsung mendekatinya. Belakangan, keduanya diketahui adalah calo yang getol menawarkan tiket kepada calon penumpang.
Ari yang pertama kali naik bus di terminal itu lalu membeli tiket bus eksekutif dari mereka seharga Rp 220.000 menuju Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Bus dengan rute Bandung-Semarang-Surabaya itu punya pendingin ruangan, toilet, dan tempat pengisi daya gawai.
”Tadinya mau naik kereta api. Tapi, nanti ada swab (tes usap). Pilek sedikit enggak bisa ikut. Bulan lalu, waktu ke Kepulauan Riau, saya PCR (tes reaksi rantai polimerase) sebelum naik pesawat. Rasanya enggak nyaman banget,” ungkap pekerja proyek konstruksi ini.
Jika naik kereta, ia harus menyiapkan uang tiket Rp 150.000 dan sekitar Rp 85.000 untuk tes usap antigen. Angka ini tidak jauh beda dengan tiket bus yang ia beli, Rp 220.000. ”Makanya, saya naik bus aja. Kalau kartu vaksin dosis pertama sudah ada,” ucapnya.
Perkiraannya benar. Tidak ada pemeriksaan surat vaksin dan hasil tes Covid-19. Penjual karcis tadi mengarahkan Ari dan calon penumpang lain masuk terminal melalui bagian samping, bukan pintu depan.
”Lewat sini supaya enggak ditanyain kartu vaksin. Minggu lalu ada orang Cikampek masuk (dari pintu depan). Ditanyain kartu vaksin, enggak ada. Ya, balik lagi, kasihan,” kata penjual karcis yang tak bermasker itu. Ia juga memastikan tidak ada pemeriksaan hasil tes antigen.
Ini berbeda dengan Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 17 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi. Regulasi ini mewajibkan penumpang memiliki kartu vaksin minimal dosis pertama dan hasil tes negatif Covid-19.
Akan tetapi, pria berbaju biru dengan nama perusahaan otobus di belakangnya itu bersiasat agar calon penumpang tetap bisa naik bus. Asalkan membeli tiket, persyaratan lainn seakan dianggap tidak penting. Aturan saat pandemi jelas sama sekali tidak mengigit saat dihadapkan pada kenyataan banyak orang butuh uang di era ini.
Apalagi, sejak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), aktivitas operasional terminal belum normal. Dua pekan terakhir, misalnya, bus yang beroperasi hanya 55 sampai 81 unit dengan jumlah penumpang paling banyak 168 orang per hari.
Padahal, sebelum pandemi, jumlah penumpang di terminal tipe A itu bisa mencapai 1.500-3.000 orang per hari dengan total sekitar 250 bus. Berada di antara Jabar dan Jateng, Terminal Harjamukti melayani rute ke wilayah timur dan barat atau arah Jakarta.
Siang itu, dari 10 jalur di terminal, hanya tampak enam bus menanti penumpang. Belasan bus lain terparkir di bagian belakang. Mesin bus dinyalakan, tetapi awaknya berpencar. Ada yang mencari penumpang, minum kopi, dan istirahat.
Setelah menunggu sejam, bus berkapasitas 40 kursi itu hanya diisi 15 penumpang. Ini belum termasuk dua kernet dan sopir. Penumpang duduk berjarak. Tepat pukul 11.00, bus mulai bergerak. Namun, bus kembali bergeming saat keluar terminal.
Dua penumpang tujuan Tegal, Jateng, naik. Keduanya tidak mengenakan masker, seperti kernet dan sopir bus. Tak tampak pengumuman agar awak dan penumpang bus menjalankan protokol kesehatan (prokes). Lagi-lagi, tidak ada aparat yang memeriksa soal syarat vaksinasi dan tes Covid-19.
Bus melanjutkan perjalanan dengan total 17 penumpang. Kernet merapat ke penumpang baru, termasuk Ari. Potongan karcis putih tadi kemudian ditukar dengan tiket bus bertuliskan nama perusahaan, rute, dan nomor contact person jika ada kritik serta saran.
Betapa kagetnya Ari ketika mengetahui harga resmi bus dengan rute Cirebon-Ngawi Rp 150.000, lebih murah dibandingkan karcis yang ia beli seharga Rp 220.000. Seorang penumpang tujuan Tegal juga membayar Rp 55.000, padahal harganya Rp 30.000.
”Makanya, jangan beli di calo,” ucap kernet itu.
Tidak protes
Ari merasa ditipu. Begitu pun dengan sejumlah penumpang. Mereka mempertanyakan harga asli tiket bus untuk tujuan daerah tertentu. Namun, tak satu pun yang mendesak alasan kernet tidak mengenakan masker.
Padahal, tak memakai masker di ruangan tertutup berjam-jam bisa meningkatkan potensi penularan virus korona baru yang tak kasatmata. Apalagi, beberapa penumpang sempat melepas masker saat makan kue atau minum.
Koordinator Satuan Pelayanan Terminal Harjamukti, Komarudin, mengingatkan calon penumpang agar menuju ke loket di dalam terminal, bukan melalui orang yang tidak berkepentingan. ”Dulu (orang yang menawarkan tiket di luar loket), banyak. Sekarang sudah sedikit,” ungkapnya.
Komarudin juga memastikan petugas tetap memeriksa dokumen pelaku perjalanan di dalam terminal. ”Orang-orang sudah mengerti harus ada kartu vaksin dan lainnya. (Tes) GeNose C19 juga sudah tidak ada. Padahal, masih ada sisa sekitar 250 (kantong udara),” ujarnya.
Berkaca dari pengalaman Ari dan penumpang lain, penerapan protokol di angkutan umum di jalur darat masih memiliki berbagai celah. Kesadaran warga hingga pengawasan aparat dalam menaati aturan harus dibuktikan, lebih dari sekadar macan kertas. Jika masih terus abai, ujung dari pandemi masih susah ditebak. Selama itu pula daya lenting manusia Indonesia tetap bakal sulit ada.