Ratusan Ribu Buruh Sawit di Kalteng Belum Vaksinasi Covid-19
Masa pandemi, buruh di Kalimantan Tengah kian kesulitan. Tak hanya akses kesehatan, tetapi juga kebutuhan pokok. Pemerintah dan perusahaan perlu memikirkan nasib buruh. Hingga kini, mereka juga belum divaksin.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ratusan ribu buruh di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah belum divaksin karena terbentur kebijakan dan menunggu vaksin gotong royong yang tidak kunjung datang. Kebijakan pembatasan kegiatan juga membuat mereka kesulitan mendapat kebutuhan pokok.
Sekretaris Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi) Provinsi Kalteng Dianto Arifin mengungkapkan, kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM juga berlaku di dalam area perkebunan. Setiap perusahaan memiliki kebijakan masing-masing dalam melaksanakan aturan itu.
Dianto menjelaskan, dalam kebijakan PPKM di area perusahaan, buruh yang masuk-keluar perusahaan harus meminta surat izin dari perusahaan. Adapun untuk keluar daerah, setiap buruh wajib melakukan uji usap atau antigen atas biaya sendiri.
Buruh yang memiliki gejala, lanjut Dianto, harus langsung memeriksakan diri di fasilitas kesehatan, lagi-lagi dengan biaya sendiri. Dia mengatakan, hal itu tidak mudah bagi pekerja, apalagi tidak ada kenaikan gaji ataupun tunjangan saat pandemi. Ia berharap perusahaan bisa menanggung biaya pemeriksaan jika ada yang terindikasi terpapar virus.
”Kebutuhan pokok di sini harganya dua kali lipat, jadi tidak terjangkau, sedangkan untuk keluar area perkebunan sulit sekali karena banyak kebijakan,” ujar Dianto saat dihubungi dari Palangkaraya, Jumat (13/8/2021).
Dianto menambahkan, selain persoalan kebutuhan pokok, hingga sekarang dia dan pekerja lainnya juga belum mendapatkan vaksin. Beberapa kali pihaknya menemui manajemen perusahaan untuk menanyakan hal tersebut, tetapi sampai sekarang belum ada kejelasan.
”Banyak manajemen perusahaan yang meminta buruh dan stafnya mengikuti vaksin dari pemerintah. Sepertinya tidak ada upaya dalam mempercepat atau memeroleh vaksin yang akan diberikan kepada buruh,” kata Dianto.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Kalteng Halind Ardi menjelaskan, kebutuhan pokok disediakan perusahaan melalui koperasi, tetapi buruh tetap harus membeli. Harga yang lebih mahal, kata dia, menjadi konsekuensi dari situasi pandemi. ”Namun, kami memastikan kebutuhan pokok tetap tersedia di area perkebunan,” ujarnya.
Terkait vaksin, lanjut Halind, pihaknya sudah mendaftar untuk mengikuti vaksin gotong royong. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan. Ia berharap vaksin dari pemerintah bisa dilaksanakan juga di area perkebunan untuk lebih kurang 350.000 buruh di perkebunan sawit di Kalteng.
”Ada perusahaan yang meminta buruhnya ikut vaksin di luar kebun, tetapi tidak semua mendapatkannya. Kami bersedia membayar. Kalau gratis, juga bersyukur. Namun, kami mengharapkan perlakuan sama, di dalam atau di luar wilayah perkebunan,” tutur Halind.
Halind menambahkan, pihaknya berupaya agar tenaga kerja di wilayah perkebunan terpenuhi hak-haknya termasuk kesehatan. ”Kami punya fasilitas kesehatan di dalam area, harusnya bisa dimanfaatkan untuk pemberian vaksin dan selama ini juga digunakan untuk penanganan pasien, termasuk yang Covid-19,” katanya.
Sebelumnya, Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) melihat kondisi buruh perekbunan sawit semakin memburuk di masa pandemi. Koordinator TPOLS Rizal Assalam mengungkapkan, terdapat tiga aspek utama, yakni perlindungan kesehatan, jaminan pendapatan dan pekerjaan, serta akses terhadap kebutuhan pokok, yang harus dibenahi.
”Pandemi membuat kerentanan ini dialami semua buruh sawit di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Rizal mengungkapkan, keterisolasian di area perkebunan sawit tidak lantas membuat buruh terbebas dari risiko terpapar. Sepanjang Juli 2021 saja, Sawit Watch menerima laporan 150 kasus buruh sawit terpapar virus mematikan tersebut di Kalimantan dan Papua.
”Ini perlu menjadi perhatian semua pihak, baik perusahaan maupun pemerintah,” kata Rizal.