Petani bunga kehilangan pasar pernikahan dan hajatan saat pandemi. Sebagian beralih usaha akibat tidak mau merugi terlalu lama.
Oleh
tatang mulyana sinaga
·5 menit baca
Petani bunga di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, bertatih-tatih diterjang gelombang pandemi Covid-19. Sebagian menyerah, membiarkan bunga layu, gugur, dan membusuk karena tak laku. Namun, tak sedikit yang bersiasat dengan beragam cara untuk mereduksi beban akibat hantaman badai Covid-19.
Di bawah rangka bambu tanpa atap, Engkus Junaidi (46) sibuk mencabut gulma yang mengotori kebunnya di Kampung Ciwangun, Desa Cihanjuang Rahayu, Parongpong, Selasa (10/8/2021) sore. Bekas green housebunga mawar itu dialihfungsikan menjadi kebun sayur untuk merintis jalan ekonomi baru saat pandemi.
Lima bulan terakhir, bekas kebun mawar seluas 120 tumbak atau sekitar 1.680 meter persegi ditanami brokoli dan selada. Ia hanya mempertahankan green house seluas 420 meter yang terletak di tengah kebun. Namun, kondisinya tidak terawat. Dinding dan atap green house berbahan plastik banyak yang jebol. Rumput-rumput tumbuh liar. Harum mawar tak lagi merebak di sana.
”Tanamannya (mawar) memang tidak dirawat. Enggak ada uang untuk beli pupuk, obat, dan bayar pekerja. Sengaja dibiarkan karena pasar bunga lagi hancur,” ujarnya.
Sebuah green house sengaja dipertahankan dan tidak diubah menjadi kebun sayur. Tujuannya, jika bisnis bunga membaik, Engkus tidak perlu memulai dari nol karena sudah punya tanaman untuk dijadikan bibit.
Mimpi buruk bisnis mawarnya dimulai pada Agustus 2020 atau lima bulan saat pandemi Covid-19 berjalan. Pengepul yang biasanya datang dua kali dalam sepekan mulai jarang bergerilya ke kebun-kebun warga. ”Saya penasaran dan langsung tanya bandarnya. Ternyata permintaan bunga sedang seret,” ujarnya.
Penurunan permintaan itu disebabkan banyaknya acara pesta pernikahan dan kegiatan lain di gedung dan hotel dibatalkan karena kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Padahal, kegiatan itu yang sering membutuhkan bunga untuk dekorasi.
Engkus dan petani bunga potong lainnya pun merugi. Modal tanam sekitar Rp 7 juta terbuang percuma. Mawar bermekaran, tetapi tidak ada yang membeli.
Tak hanya itu, omzet Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per bulan pun lenyap. ”Covid-19 ini membuat kami sangat menderita. Selama pandemi, saya kehilangan omzet lebih dari Rp 100 juta,” katanya.
Penderitaan itu belum berakhir. Cicilan kredit modal usaha ke dua bank dan kredit sepeda motor ke leasing membuat beban pandemi semakin berlipat.
Pandemi yang berlarut-larut turut menguras tabungan Engkus. Kondisi itu membuatnya semakin terdesak. Maret lalu, ia menjual telepon pintarnya seharga Rp 1,1 juta untuk membayar kredit sepeda motor. ”Ketika itu kondisinya sangat sulit. Terpaksa jual HP (handphone). Dulu mengira pandemi enggak akan lama. Ternyata lebih dari satu tahun, sampai uang simpanan enggak ada lagi,” ujar bapak dua anak itu.
Engkus menyadari, omzet Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per bulan tidak akan datang dalam waktu dekat. Belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir. Justru pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) diperpanjang berjilid-jilid.
Di kondisi sekarang (pandemi), petani enggak bisa pilih-pilih pembeli. Masih ada yang mau menampung saja syukur. (Rudi)
Di tengah ketidakpastian itu, tagihan kredit akan terus membebani. Kondisi ini memaksanya memeras otak untuk mencari jalan keluar. ”Minimal harus bisa cari penghasilan menutupi pembayaran kredit setiap bulan. Pernah ikut tetangga menanam bunga miana dengan modal Rp 1 juta. Sampai sekarang ada 500 polybag belum laku,” katanya.
Kegagalan itu menyadarkan Engkus. Bunga bukan kebutuhan pokok sehingga dikesampingkan saat ekonomi sulit karena pandemi. Sejak pertengahan Maret, dia beralih menjadi petani sayur.
Langkah ini tak mengecewakan. Dalam tiga bulan terakhir, kebun sayurnya menghasilkan Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan. Masih jauh dari keuntungan menjual mawar yang bisa di atas Rp 10 juta per bulan. Namun, pendapatan dari menjual sayur itu cukup membayar cicilan kredit dan kebutuhan hidup sehari-hari.
”Setidaknya enggak terlalu pusing atau jual barang lagi untuk bayar cicilan-cicilan. Sekarang sedang cari jenis sayur lainnya yang cocok ditanam di sini dan bagus harga jualnya,” ujarnya.
Rudi (30), petani mawar di Kampung Ciwangun lainnya, menjalankan siasat berbeda. Ia tetap mempertahankan kebun mawarnya. Namun, penjualan mawar yang sebelumnya ditujukan ke acara pernikahan dialihkan ke rumah duka.
Pengalihan ini membuat harga jual mawar anjlok. Namun, cara ini menjadi langkah darurat untuk menghindari kerugian lebih besar. ”Di kondisi sekarang (pandemi), petani enggak bisa pilih-pilih pembeli. Masih ada yang mau menampung saja syukur,” ujarnya.
Sebelum pandemi, satu kodi mawar (20 tangkai) dijual seharga Rp 40.000-Rp 60.000. Namun, selama pandemi, satu kodi mawar dijual Rp 25.000-Rp 30.000 per kodi.
Dalam sepekan, ia dapat memanen hingga 90 kodi dengan omzet Rp 2,25 juta-Rp Rp 2,7 juta. ”Keuntungan tidak banyak, tetapi bisa menutupi biaya pupuk dan obat tanaman. Yang paling penting, bisnis mawar tetap jalan,” ujarnya.
Petani bunga sebenarnya bisa tetap produktif di tengah pandemi. Walakin, mereka terkendala akses pasar yang menurun drastis. Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah membantu petani mencarikan pembeli agar segera keluar dari situasi sulit. ”Tidak ada kepastian pandemi ini sampai kapan. Kami perlu bantuan agar bisa terus bertahan,” ujarnya.
Beralih tanaman
Tak hanya di Desa Cihanjuang Rahayu, petani tanaman hias di kawasan agrowisata Desa Cihideung, Parongpong, juga terpuruk. Darmawan (32), petani mawar dan anyelir, misalnya, mengaku kehilangan omzet hingga Rp 10 juta per bulan dalam setahun terakhir.
Mayoritas pelanggannya berasal dari luar daerah, seperti Purwakarta, Cirebon, dan DKI Jakarta. Alhasil, pembeli tidak bisa datang saat diberlakukan PSBB dan PPKM dalam mencegah penyebaran Covid-19.
”Pernah ada pelanggan dari Jakarta yang cancel karena disuruh petugas putar arah ketika keluar tol di Bandung. Ada juga yang enggak jadi beli karena uangnya dipakai untuk keperluan lain,” ujarnya.
Sejak enam bulan lalu, ia menanam bibit buah-buahan, seperti jambu, jeruk, dan belimbing. Harga jualnya Rp 25.000-Rp 45.000 per pohon. Dalam sebulan, laku 50-100 pohon.
Darmawan mengintip peluang dari hobi baru sejumlah orang dalam mengisi kekosongan waktu saat pandemi dengan berkebun. Ia menyadari peluang itu setelah melihat sejumlah orang membagikan foto atau cerita di media sosial tentang menanam buah di pekarangan rumah.
”Saya coba memanfaatkan fenomena ini dengan menjual bibitnya. Untungnya enggak sebanyak waktu jualan bunga sebelum pandemi. Namun, minimal ada pendapatan setiap bulan,” ujarnya.
Hampir 1,5 tahun pandemi, petani bunga di Parongpong masih berjuang keluar dari keterpurukan. Mereka bersiasat dengan berbagai ”jurus” agar semerbak bunga yang mengalirkan pundi-pundi rupiah kembali menguar di sana.