Mendamba Kembang-kembang Bandungan Kembali Bermekaran
Petani bunga di kawasan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, meratap karena perdagangan bunga lesu sejak pandemi dan berlanjut dengan PPKM. Harga bunga pun anjlok. Mereka bahkan membuang bunga karena tak laku.
Oleh
GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·5 menit baca
Bandungan, daerah sejuk di lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah, terus semerbak oleh wangi warna-warni bunga yang ditanam petani setempat. Namun, lebih dari setahun ini, mekarnya bunga tak dirasakan petani. Mereka hanya bisa bertahan di tengah lesunya penjualan kembang.
Karjono (45), petani bunga di Dusun Ngasem, Desa Jetis, Kecamatan Bandungan, Minggu (8/8/2021), menyirami hamparan tanaman bunga krisan di salah satu rumah kaca (green house) miliknya dengan air selang. Pagi itu, beberapa putik mulai terlihat, tanda sebentar lagi bunga mekar. Dalam hati, ia berharap, musim ini tak lagi membabati bunga-bunga krisan karena tak laku dijual.
”Saya biasa jual bunga ke daerah Yogyakarta dan Surakarta. Namun, beberapa musim bunga terakhir, banyak bunga enggak laku dan akhirnya terpaksa saya babati dan dibuang,” tutur Karjono.
Semestinya, bulan-bulan ini, bunga krisan memiliki harga jual bagus. Namun, sejak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), banyak pesanan dibatalkan karena bunga tidak dapat dikirim.
Sulitnya penjualan memicu harga bunga di Bandungan anjlok. Padahal, daerah itu merupakan salah satu pemasok utama bunga segar di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika biasanya harga standar satu ikat bunga krisan Rp 15.000-Rp 20.000, kini di pasaran hanya laku Rp 2.000-Rp 3.000.
Karjono dan petani bunga di Bandungan pun merugi. Sementara penjualan bibit bunga yang sebelum pandemi juga marak kini pun sepi.
Hal serupa dirasakan Fiat (43), petani bunga lain di Dusun Ngasem, Bandungan. Saat ditemui di salah satu kebun bunganya, ia tampak sedang membabat habis sisa bunga pikok yang mati karena tak terjual. Adapun bunga yang laku, harganya anjlok tak tanggung-tanggung. Jika semula satu ikat bunga pikok putih dihargai Rp 5.000-Rp 7.000 per ikat, kini hanya Rp 1.000-Rp 2.000.
Meski begitu, ia tak berniat untuk berganti jenis tanaman yang dibudidayakan. ”Belum ada niat berganti tanaman karena saat ini pun banyak yang tidak laku. Sayur ya tidak laku, cabai juga tidak laku karena pandemi,” kata Fiat.
Untuk mengurangi kerugian, Fiat terpaksa mengetuk hati sejumlah tetangga agar mau membeli bunganya, sekadar untuk hiasan rumah. Namun, tak banyak yang laku.
Bunga hias
Penurunan omzet juga dirasakan pada penjualan bunga hias. Arif, pedagang bunga hias di Bandungan, mengaku penjualan turun sekitar 60 persen. Jika sebelum pandemi bunga hias di kiosnya bisa terjual setidaknya 50 pot per pekan, kini hanya laku maksimal 20 pot.
”Dulu banyak penjual yang membeli dari sini. Namun, gara-gara PPKM tidak bisa mengambil barang dari sini,” ujarnya.
Menurut Arif, pembeli bunga hias biasanya datang dari Jepara, Demak, Semarang, Kudus, dan Sragen. Mereka biasanya liburan ke Bandungan, yang juga salah satu destinasi wisata andalan di Kabupaten Semarang. Sambil jalan-jalan, mereka biasa mampir membeli bunga. Namun, sejak PPKM, pariwisata sepi.
Dulu banyak penjual yang membeli dari sini. Namun, gara-gara PPKM tidak bisa mengambil barang dari sini. (Arif)
Penjualan daring coba dilakukan Aji Suripto (37), penjual bunga hias lain di Bandungan. Ia mencoba berinovasi dengan menjual bunga di platform penjualan daring. Harga jual per batang dipatok Rp 5.000. Sementara jika membeli satu pot dihargai Rp 15.000. Satu pot kira-kira berisi lima tangkai bunga.
”Penjualan daring mulai lumayan. Tetapi tetap enggak bisa mengganti omzet kondisi normal. Ini hanya sekadar upaya bertahan saja,” ujarnya.
Kendala utama yang dihadapi petani bunga di Bandungan sejak pandemi melanda yakni soal distribusi hasil panen. Rusilah (50), petani bunga di Dusun Ngawinan, Bandungan, menuturkan, pada kondisi normal, ia memasok bunga ke Kudus dan Kopeng (Kabupaten Semarang). Namun, akibat kebijakan pembatasan mobilitas, ia hanya bisa menjual ke pedagang bunga terdekat.
”Jika tidak laku, akhirnya dibuang. Bunga yang sudah mekar kira-kira bertahan 15 hari. Jadi rugi banyak kalau tidak terjual. Belum banyak pembeli dari kalangan masyarakat yang gemar berkebun,” tutur Rusilah yang mengeluh omzetnya anjlok hingga 75 persen selama masa PPKM.
Tak hanya bunga segar, penjualan tanaman bunga dalam pot juga lesu. Padahal, cuaca saat ini, kata Rusilan, sangat baik untuk proses penanaman bunga. Biasanya, Juli hingga September, kawasan Bandungan ramai dikunjungi pelancong dari luar kota.
Selain berwisata, mereka selalu memborong bunga hias dalam pot untuk berkebun di rumah. Namun, saat ini, jangankan wisatawan luar kota, kunjungan orang-orang sekitar sangat jarang. Jika ada, mereka biasanya anak-anak muda yang jalan-jalan tanpa membeli oleh-oleh, termasuk bunga.
Suratman, pengurus Kelompok Tani Bunga Potong Sri Rejeki Bandungan, mengungkapkan, Bandungan terkenal sebagai pemasok bunga krisan unggul di Jawa Tengah, DIY, bahkan hingga Jawa Timur. Namun, kebanyakan bunga krisan saat ini hanya dibuang atau berakhir di tempat pembakaran karena tak laku.
Di kelompok taninya, kata Suratman, rata-rata penurunan omzet para anggota berkisar 50-80 persen. Meski terdampak pandemi, sejauh ini belum ada bantuan pemerintah yang menjangkau petani bunga.
Sebagian petani bunga akhirnya beralih menanam komoditas lain yang lebih mudah laku meski hanya dijual di pasar terdekat, seperti cabai, tomat, dan sayuran lain. Sementara pembelian bunga untuk kematian tak signifikan. Bahkan, menurut Suratman, komoditas itu masih kalah dengan pesanan bunga dekorasi hajatan pengantin. Namun, setelah hajatan dilarang di masa PPKM, permintaan bunga dekorasi pun lesu.
Menurut Suratman, beberapa petani, terutama yang punya anak remaja dan notabene memahami teknologi, sudah coba menawarkan bunga melalui platform daring, tetapi tidak banyak. Sebab, sebelum pandemi, petani bahkan sudah kewalahan memenuhi permintaan para pedagang luar kota di Pasar Bandungan.
Kelompok Tani Sri Rejeki sebenarnya pernah memanfaatkan kebun bunga sebagai obyek wisata, tetapi karena PPKM akhirnya ditutup. ”Yang bisa kami lakukan untuk para anggota yaitu memberi pinjaman modal. Karena kelompok kami sudah membentuk koperasi, kalau ada yang butuh modal, anggota bisa pinjam. Sistem koperasi tidak berorientasi bisnis. Yang penting petani sejahtera,” kata Suratman.
Bupati Semarang Ngesti Nugraha mengaku sangat prihatin dengan kondisi petani sayur dan bunga di Bandungan. Ia sudah mencoba membuat kebijakan membantu masyarakat terdampak, salah satunya bantuan sosial. Selain itu, ada kebijakan kelonggaran 25 persen untuk kegiatan perekonomian masyarakat.
”Kami sudah membagikan paket bahan pokok. Selain bantuan bagi pekerja seni yang menggelar pentas virtual, kami juga melonggarkan aktivitas pasar. Harapannya, kegiatan perekonomian terus berjalan. Tempat wisata dan hiburan belum bisa dibuka,” ujar Ngesti.
Petani bunga Bandungan hanya bisa bersabar hingga destinasi wisata dibuka bertahap dan pembatasan mobilitas dilonggarkan. Terlebih, sebagian penjualan mereka bertumpu pada aktivitas turisme di lereng Ungaran tersebut. Siasat saat ini hanya sekadar untuk bertahan hingga bunga-bunga Bandungan memekarkan lagi penghidupan mereka.