Petani Bunga Menembus Sekat melalui ”Online”
Dalam situasi pandemi pemasaran bunga dan tanaman hias dalam jaringan lebih mengena dibanding luar jaringan. Pasar dalam jaringan mampu menembus sekat saat pembeli dan pedagang dipaksa berjarak.
Menempati kios paling ujung di Pasar Sekar Mulyo, Desa Sidomulyo, Kota Batu, Jawa Timur, Yayuk (53) sabar menunggu calon pembeli yang tak kunjung datang, Rabu (4/8/2021), lepas tengah hari. Untuk menghalau penat, sesekali candaan kecil ia lontarkan ke pedagang lain.
Selama hari kerja, pembeli memang tidak sebanyak saat akhir pekan. Apalagi, sejak awal Juli hampir tak ada wisatawan yang berkunjung ke Batu lantaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat yang kemudian bersambung dengan PPKM level 4.
Alhasil, pendapatan pedagang bunga dan tanaman hias merosot tajam. Hal ini tidak hanya terlihat di Pasar Sekar Mulyo yang lokasinya berada di dalam kampung, tetapi juga di kios-kios bunga di sepanjang Jalan Bukit Berbunga yang letaknya lebih mudah terjangkau oleh pengendara. Selama PPKM hampir tak terlihat mobil berplat nomor luar kota berhenti di tepi jalan itu. Sebagian kios juga ditutup .
”Selama PPKM pembeli hanya satu-dua, tetapi akhir pekan kemarin agar ramai. Mereka orang-orang di sekitar Malang sini saja. Kalau tengkulak masih ada yang datang meski agak berkurang juga jumlahnya,” ujarnya.
Dengan harga mulai Rp 5.000 sampai Rp 250.000 per pot, Yayuk mengatakan, jenis keladi-keladian paling banyak diburu pembeli. ”Selain itu, saat ini yang ramai dicari begonia. Sebetulnya semua tanaman laku, tetapi saat ini yang banyak dicari itu. Entah karena apa,” ucapnya.
Sementara tanaman yang harganya sempat melejit dan jadi perbincangan banyak orang beberapa waktu lalu, yakni ”janda bolong” (keluarga monstera), kini pamornya kembali redup. Satu pot kecil janda bolong dengan tinggi sejengkal yang tadinya mencapai ratusan ribu rupiah kini bisa dibawa pulang hanya dengan Rp 35.000-Rp 40.000.
Baca juga: Tradisi Api-api dan Simbolisasi Toleransi
Nasib petani tanaman hias dan bunga di Batu sebenarnya sempat ”bersinar” beberapa bulan lalu. Selama pandemi, bunga banyak dicari. Bahkan, sejumlah obyek wisata andalan di Batu sempat sepi karena sebagian besar wisatawan bergeser ke sentra-sentra bunga dan tanaman hias.
Namun, selama PPKM hanya tengkulak yang bisa diandalkan. Mereka datang dari berbagai daerah menggunakan kendaraan bak terbuka. Dari Batu, bunga dan tanaman hias itu diedarkan ke banyak daerah, seperti Surabaya, Kediri, dan karesidenan Surakarta.
Ridwan (65), salah satu petani dari Desa Gunungsari, mengakui tidak hanya di Batu yang penjualan sepi, tetapi juga di luar daerah. Ridwan biasa mengirim bunga potong ke kota lain, seperti Jakarta dan Bali. Ada beberapa jenis bunga yang biasa dikirim, seperti krisantium dan mawar.
Baca juga: Jalan Panjang Apel Malang
Bagi Ridwan, pandemi menjadi medan untuk menguji kesabaran. Kiriman bunga ke luar kota merosot tajam dan tinggal sekitar 10 persen. Pasalnya, aktivitas masyarakat yang membutuhkan bunga, seperti pesta dan hajatan, tak seramai kondisi normal. Di daerah zona merah penyebaran Covid-19, acara hajatan juga ditiadakan.
”Toko yang biasanya menjadi tujuan pengiriman bunga, seperti di Jakarta, juga banyak yang tutup karena PPKM. Bunga potong yang sekarang diminati, pun, lebih banyak berwarna putih. Untuk tutup peti dan papan bela sungkawa katanya. Jakarta, Semarang, Yogyakarta sekarang banyak yang meminta warna putih,” katanya.
Ridwan sendiri memiliki lahan seluas 2,5 hektar dengan dominasi tanaman mawar yang saat ini tengah diremajakan. Dengan harapan, begitu pandemi selesai, hasil lahan bisa berkembang maksimal berikut pasarnya.
Menurut Ridwan, bisnis bunga bukan masalah ringan. Butuh modal hingga ratusan juta rupiah. ”Rp 100 juta saja tidak cukup untuk modal. Jika sebelum pandemi pihak perbankan yang datang menawarkan kredit. Sekarang sebaliknya, petani yang memburu bank,” ucapnya.
Sidomulyo dan sekitarnya telah puluhan tahun menjadi sentra bunga dan tanaman hias di Batu. Komoditas ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Keberadaan bunga secara perlahan menggantikan apel yang lebih rumit perawatannya. Tahun 2000-an tanaman hias dan bunga makin ramai di kawasan ini yang disertai dengan munculnya varian-varian baru.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020 ada 24 jenis bunga yang dihasilkan di Batu. Bunga itu, antara lain anggrek dengan produksi 1,6 juta tangkai (lebih kecil dari 2018 yang mencapai 2,3 juta), mawar 55,4 juta tangkai (2018 ada 101,1 juta), krisantium 21,9 juta tangkai (2018 ada 38,7 juta), anturium bunga 416.717 (2018 ada 478.774), dan anyelir 209.776 (363.708).
Baca juga: Para Presiden Enggan Datang, Benarkah Tanah Kediri Bertuah
Dedek Setia Santosi (43) salah satunya. Penangkar anggrek di Desa Dadaprejo, Kecamatan Junrejo, ini berhasil menembus pasar dalam dan luar negeri. Namun, selama pandemi pasar dalam negeri yang masih berjaya. Untuk pengiriman keluar negeri terkendala birokrasi.
Dengan merek DD Orchid Nursery, Dedek mengatakan butuh kejelian dalam melihat pasar dalam situasi sekarang. Menurut dia, pemasaran secara langsung (offline) memang terkendala PPKM. Namun, pemasaran secara online terus berjalan. Bahkan, penjualannya secara online cenderung meningkat saat PPKM meski omzetnya tak sebesar offline.
”Penjualan offline memang berkurang tetapi yang online transaksinya meningkat meski tidak terlalu signifikan, paling 5-10 persen peningkatannya dibandingkan sebelum PPKM,” ucapnya.
Dia mencontohkan ada beberapa pedagang di Magelang, Bandung, dan Yogyakarta yang biasa mendatangkan anggrek darinya (offline). Sekali mendatangkan, jumlahnya mencapai ribuan batang. Namun selama PPKM pembelian dari mereka terhenti.
”Sebaliknya pembeli secara online bertambah, termasuk reseller online. Hanya saja, jumlah pembeliannya tidak sebanyak pedagang yang offline yang mencapai ribuan batang tadi,” tuturnya.
Anggrek yang banyak diminati saat ini berada di kisaran Rp 300.000-Rp 750.000 per pohon. Kondisi ini berbeda dengan sebelum dan awal pandemi. Saat itu, orang masih banyak yang membeli anggrek di kisaran harga Rp 5 juta-Rp 20 juta per batang.
”Memang biasanya pembeli kelas kakap datang ke kebun. Mereka ingin melihat langsung, tidak membeli secara online,” kata Dedek yang mengaku punya insiatif khusus, yakni setiap bulan mesti punya produk silangan baru karena konsumen jarang membeli bunga yang sama dua kali.
Baca juga: Pameling Alpukat Jumbo dari Lereng Arjuno
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Setyono Yudo Tyasmoro, mengatakan selama pandemi orang memang menjadi khawatir untuk beraktivitas di luar ruang lantaran kasus Covid-19 yang melonjak. Akhirnya, salah satu cara paling ampuh untuk pemasaran hampir semua produk pertanian adalah melalui sistem online.
”Di era pandemi cara online menjadi solusi penyelesaian, termasuk untuk bunga dan tanaman hias. Karena orang yang di rumah terus juga terkadang stres sehingga butuh hiburan, butuh membeli bunga secara online. Tren seperti ini akan bertahan selama pandemi,” ucapnya.
Menurut Yudo, menjadi keniscayaan bagi petani saat ini untuk melek teknologi. Jika ada yang belum melek, mereka bisa bekerja sama dengan vendor di daerah setempat. Dan si vendor akan melakukan pemasaran dalam jaringan. Cara seperti ini sudah dilakukan sejumlah petani di Batu.