Sintren, Pesan Kehidupan dari Pantura Jawa untuk Rakyat dan Penguasa
Kesenian sintren yang bernuansa magis tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan. Tari sintren mencerminkan kehidupan manusia.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Seorang remaja perempuan duduk bersimpuh. Di hadapannya, sang dalang membakar kemenyan dengan mulut komat-komat. Diiringi tabuhan bonang dan alat musik lainnya, dua pesinden bersenandung: turun-turun sintren, sintrene widadari….
Tubuh si gadis diselimuti sarung. Tali tambang kemudian melilit leher hingga mata kakinya. Ikatannya kencang, sulit dilepas tanpa bantuan orang lain. Pawang selanjutnya memanjatkan mantra dan mendekatkan kemenyan ke wajah si putri. Perempuan lugu itu pingsan.
Dalam keadaan tak berdaya itu, ia dibaringkan di atas tikar yang kemudian membungkus tubuhnya. Dia diperlakukan seperti orang meninggal. Dalang lalu mendekatkan tikar itu dengan kurungan ayam yang sudah dilapisi kain batik. Tidak ada cahaya di dalamnya, gelap.
Sesekali, dalang mengitari kurungan sambil membawa pedupaan, tempat kemenyan dibakar. Asapnya mengepul ke mana-mana, menguatkan aroma mistis. Dua perempuan penari berlenggak-lenggok mengelilingi kurungan itu sembari melempar kembang.
Dalam babak berikutnya, dalang melepas kurungan itu. Menakjubkan, si gadis telah berubah wujud. Ia mengenakan pakaian penari, mahkota, selendang, hingga kacamata hitam. Entah bagaimana ia lepas dari jeratan tali. Sajiannya mirip sajian sulap ternama yang digelar di Jakarta hingga Las Vegas, Amerika Serikat. Mengikuti irama gamelan, ia lantas menari dengan tangan gemulai.
Selanjutnya, penonton menjuruskan koin atau uang kertas. Warga menyebutnya sawer. Uniknya, ketika uang itu menyentuh tubuh, si penari pingsan. Dua orang yang berjaga di belakang sigap menangkap si gadis.
Sang dalang yang memegang pedupaan kemudian mengusap wajah si putri. Maskot sintren itu pun sadar dan menari lagi. Saat terkena koin, ia kembali lunglai. Begitu seterusnya hingga atraksi berakhir dengan rasa penasaran penonton.
Inilah sintren, kesenian rakyat yang dianggap magis di wilayah pesisir utara Jawa, seperti Indramayu, Cirebon, dan Pekalongan. Video cuplilkan sintren itu diputar dalam siaran langsung Hari Jadi Ke-652 Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (10/8/2021).
Konon, kesenian ini bermula dari percintaan Sulasih dan R Sulandono, putra Bupati Mataram Bahurekso. Bahurekso tidak merestui hubungan itu. Sulandono kemudian diberikan sapu tangan dan diminta bertapa. Sementara Sulasih diperintahkan menari di setiap acara bersih desa.
Ketika bulan purnama, Sulandono turun menyaksikan Sulasih yang seperti kesurupan saat menari. Kemasukan pada penari inilah yang dikenal dengan sintren. Sulandono lalu melemparkan sapu tangan yang menyebabkan Sulasih pingsan.
”Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya mewujudkan cita-citanya untuk bersatu,” tulis Puji Dwi Darmoko, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pemalang dalam artikelnya ”Kesenian Sintren dalam Tarikan Tradisi dan Modernitas”.
Elang Herry Komarahadi, dalang sintren, mengatakan, sintren lahir dari kreativitas masyarakat pesisir yang menanti nelayan pulang melaut. ”Pada saat terang bulan, sintren dimainkan. Mungkin dulu penerangan tidak ada. Tapi, sekarang, sintren dimainkan di mana saja untuk penyebaran kesenian tradisional,” ujarnya.
Suci
Budayawan Cirebon, Abidin Aslich, menilai, sintren menjadi kesenian yang menonjol dalam sisi simbolik. Mulai dari maskot sintren yang masih suci, belum terjamah laki-laki. ”Ini melambangkan manusia lahir ke dunia itu putih bersih, tanpa dosa,” ucapnya.
Berikutnya, tali yang mengikat gadis diibaratkan bahwa manusia hidup terikat oleh norma, aturan, dan pranata sosial. Harapannya, terjadi keadaban sosial. Maskot sintren kemudian dikurung yang bermakna setiap insan berada di dalam makrokosmos, alam semesta.
Lalu, saat kurungan dibuka, gadis itu berubah wujud dengan pakaian megah. ”Ini bermakna, dia berhasil, berjaya, menyiasati kungkungan itu. Jadi, Tuhan memberikan akal budi kepada manusia. Siapa yang menyiasati kehidupan, dia berhasil,” ungkapnya.
Akan tetapi, saat berada di puncak kesuksesan, mata maskot sintren tertutup kaca mata hitam. Dulu, bertudung kain hitam. ”Ini tidak mengurangi maknanya, bahwa ketika orang jaya, tertutup matanya. Lupa daratan,” ujarnya.
Penari yang berjoget juga diumpamakan sebagai euforia seseorang yang berhasil. Pada titik inilah iman orang diuji. Itu sebabnya, ada babak penari sintren dilempari uang dan jatuh. Ini menggambarkan manusia sering tak sadarkan diri oleh iming-iming duniawi.
Sintren itu, semua orang yang jatuh karena godaan. Bisa karena takhta, uang, materi, dan seterusnya.
”Begitu banyak contoh orang yang ketika berada pada puncak kejayaan itu jatuh. Misalnya, karena godaan uang, suap, dan sebagainya,” kata mantan Kepala Dinas Budaya, Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kota Cirebon itu.
Lalu, siapakah sintren itu? ”Sintren itu, semua orang yang tidak mampu menahan godaan. Semua orang yang jatuh karena godaan. Bisa karena takhta, uang, materi, dan seterusnya,” ungkapnya.
Di era ini, nilai-nilai sintren terasa membumi saat pandemi Covid-19 datang. Tidak sedikit orang yang mempunyai kuasa justru sibuk menimbun harta. Korupsi pejabat negara saat pandemi menjadi contohnya. Mereka lupa kalau suatu saat bakal kembali kepada-Nya tanpa harta.
Hal itu terlihat pada episode terakhir sajian itu. Maskot sintren kembali dikurung. Ketika dibuka, ia kembali dengan pakaian semula, tanpa aksesori. ”Ini melambangkan manusia ketika sudah selesai hidupnya, ia kembali ke liang lahat. Tidak membawa apa pun, kecuali amal ibadah,” lanjutnya.
Sayangnya, kesenian rakyat sarat makna ini dalam status hampir punah. Jangan-jangan, surutnya seni pertunjukan ini searah dengan maraknya korupsi di Tanah Air. Mereka jatuh karena tidak mampu menahan ragam tantangan, seperti penari sintren yang pingsan saat dilempar uang.