Surip tidak berharap bergelimang harta saat melestarikan pat im, musik bernuasa China yang tumbuh di Cirebon, Jawa Barat. Baginya, pat im adalah salah satu simbol keberagaman negeri ini.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Surip (29) setia melestarikan pat im, musik khas China, meskipun bukan keturunan Tionghoa. Warga Cirebon, Jawa Barat, ini tidak peduli cibiran orang dan beban ekonomi yang mengimpit hidupnya. Baginya, keberadaan kesenian berusia lebih dari seabad itu penting. Iramanya mulia, mengalunkan senandung keberagaman.
Dari pelosok Desa Dukuhwidara, Kecamatan Pabedilan, Cirebon, Surip dan empat anggota grupnya menikmati musik pat im yang mereka mainkan, Senin (8/2/2021). Terdengar tiupan terompet. Ada juga senar kong ayan dan teh yan (mirip rebab). Lantunan iramanya kian ramai diiringi tabuhan gambang dan gendang.
Seharusnya, latihan itu untuk persiapan pentas saat Imlek 2572 di Wihara Welas Asih, Cirebon. Hampir setiap tahun mereka duduk melantai beralas tikar di wihara itu sambil membawakan musik pat im ditemani asap dupa pada malam Imlek. Lalu, 15 hari kemudian, mereka meramaikan perayaan Cap Go Meh bersama.
Akan tetapi, Covid-19 membuyarkan semuanya. Pat im, harus absen tahun ini. Untuk sementara, tiada musik khas yang mengiringi jemaah yang datang. ”Kami latihan untuk menghormati Imlek,” kata pimpinan grup Pat Im Langgeng itu.
Surip tidak menyesal batal tampil. Toh, sejak awal dia tidak mengejar rupiah dari musik yang juga dikenal sebagai cokek itu. Bertahun-tahun pentas di Wihara Welas Asih, sekitar 38 kilometer dari rumahnya, tiada patokan tarif. ”Bayar seikhlasnya. Ini sudah perjanjian dengan buyut saya. Alhamdulillah, selalu dapat rezeki lumayan,” ungkapnya.
Lagi pula, pemasukan utama Surip bukan dari meniup terompet di grupnya yang tampil setidaknya tiga kali setahun. Pria lulusan sekolah dasar ini lebih banyak meraup uang jika meniup suling di grup tarling (gitar-suling) dangdut. Sayangnya, penghasilan dari tarling Rp 150.000 – Rp 400.000 sekali pentas lenyap juga karena pandemi. Tahun lalu, empat pentas tarlingnya dibubarkan. Padahal, jika musim hajatan, ia bisa tampil nyaris sebulan penuh.
Hasil dari manggung itu ditabung untuk mengganti alat musiknya yang menua dan mulai berkarat. Tetesan air dari atap rumahnya yang bocor mempercepat keroposnya alat-alat musik itu. Ia gamang membeli alat baru. Selain harga perlengkapan baru yang mencapai jutaan rupiah, rumahnya seluas 50 meter persegi juga sudah sesak diisi sembilan orang.
Padahal, sesuai artinya dalam bahasa China, pat im adalah alat musik yang dimainkan delapan atau sembilan orang. Namun, minimnya regenerasi dan kesulitan membeli alat baru membuat anggota kelompok Surip hanya enam orang.
“Saya siap mengajarkan cokek ini kepada siapa pun. Pokoknya, musik ini jangan sampai punah. Itu pesan buyut saya,” kata Surip yang lebih memilih pentas pat im jika panggilannya bersamaan dengan tarling dangdut.
Saya siap mengajarkan cokek ini kepada siapa pun. Pokoknya, musik ini jangan sampai punah. -- Surip
Dari buyut
Buyut yang ia maksud ialah Wastar Rucita. Wastar merupakan anak Warcita, yang memulai kesenian itu sekitar pertengahan abad ke-19. Warcita mengenal tradisi ini dari Babah Heng Liam, orang Tionghoa asal Semarang yang menetap di Cirebon. Biasanya, pat im hadir dalam pentas potehi, wayang tradisional Tionghoa. Belakangan, pat im berdiri sendiri, bahkan termasuk untuk mengamen di jalanan.
Cokek berkembang saat masa Wastar. Kala itu, ada empat grup serupa yang para anggotanya masih satu darah. Satu grup berisi enam sampai delapan orang. Tidak ada satu pun keturunan Tionghoa. Semuanya juga beragama Islam.
Surip masih ingat, ia mencuri-curi waktu menggesek senar teh yan atau menabuh gambang. Ia belajar dengan melihat grup buyutnya bersama kakeknya latihan. Saking tertariknya dengan musik China itu, ia merengek ikut buyutnya pentas. Namun, dia dilarang. Hingga suatu hari, ketika usianya masih 8 tahun, Surip mulai memainkan teh yan.
Buyutnya kaget. Surip ternyata terampil. Ia pun diajak tampil. “Usia segitu saya sudah manggung. Saya merasa ini sudah titisan. Seolah-olah hati saya langsung bicara,” kata Surip yang mengaku kerap izin tidak masuk sekolah untuk tur ke berbagai kelenteng dari Cirebon, Indramayu, Slawi, hingga Tegal.
Awal 2000, Wastar berpulang di usia hampir 100 tahun. Tidak lama kemudian, kakek Surip, Taryo, juga pergi untuk selamanya. Surip lalu melanggengkan grup Pat Im Langgeng bersama ayahnya, Akmad (65); adiknya, Sehkudin (21); dan keponakannya, Wanto (24), serta Ki Amad (70-an). “Hanya kami yang meneruskan musik pat im di Cirebon,” ucapnya.
Surip mengaku, beberapa kali merasa jenuh ketika panggilan pentas tiada. Pat im kalah tenar dengan kesenian lain, seperti tari topeng yang acap kali tampil dalam acara pemerintahan.
Bahkan, tidak sedikit orang-orang yang mencibirnya. “Orang Jawa kok main musik China? Kamu itu agamanya apa? Kok, masuk kelenteng,” kata Surip menirukan ungkapan orang lain kepadanya.
Mendengar hal itu, ia hanya tersenyum. Baginya, kelompoknya bukan beribadah di kelenteng tetapi menghormati budaya Tionghoa yang merayakan Imlek. Dengan musik, sekat-sekat perbedaan terbuka lebar.
Ketika konflik pecah di Losari, kampungnya, akhir masa Orde Baru, pengurus kelenteng di Tegal meminta grup Pat Im Langgeng berlindung sementara. Mereka diberi tempat menginap dan makanan. Buyut dan kakeknya juga acap kali berobat gratis ke Pak Sutan yang merupakan seorang dokter di kelenteng di Tegal.
Kini, Surip tetap berhubungan baik dengan pengurus kelenteng. “Terus terang, saya kagum dengan Pak Surip dan grupnya yang melestarikan kesenian ini. Ini modal menjaga keberagaman di Cirebon,” ucap Sungkono (78), Sekretaris Wihara Dewi Welas Asih.
Surip dan kelompok Pat Im Langgeng bisa jadi sudah jauh melampui batas-batas kehidupan di negeri ini. Tidak hanya ikut melestarikan kesenian khas China, mereka ikut menyemai indahnya buah keberagaman