Daya Tahan dan Tantangan Masyarakat Adat Kala Pandemi
Pandemi Covid-19 membuka mata publik pada eksistensi masyarakat adat. Tatanan kehidupan masyarakat adat menjadi sorotan sebagai pelajaran untuk dapat bertahan di tengah pandemi.
Oleh
Dedy Afrianto/Litbang Kompas
·4 menit baca
Masyarakat adat mendadak menjadi perhatian publik saat tersebarnya informasi tentang masyarakat Baduy yang tidak memiliki kasus positif Covid-19 sepanjang pandemi. Informasi ini tersebar setelah tenaga kesehatan dari pemerintah setempat memastikan belum menemukan kasus positif Covid-19 di kalangan masyarakat Baduy hingga awal tahun ini.
Terciptanya kondisi ini bukannya tanpa sebab. Pada awal pandemi, wilayah Baduy segera ditutup bagi orang luar. Bahkan, tokoh adat setempat juga meminta warga yang berada di luar desa untuk kembali. Masyarakat Baduy juga sempat dilarang untuk bepergian, khususnya pada wilayah yang berpotensi tinggi terkait penyebaran Covid-19. Respons kebijakan yang cepat dari tokoh adat dan kepatuhan masyarakat Baduy menjadi salah satu kunci pencegahan penularan Covid-19 di wilayah ini.
Sejak awal pandemi, komunitas adat pada sejumlah wilayah di Indonesia memang telah melakukan sejumlah langkah antisipasi. Menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beragam langkah antisipasi dilakukan, seperti pembatasan keluar dan masuk wilayah hingga menjaga ketahanan pangan.
Upaya pembatasan akses salah satunya dilakukan oleh komunitas adat Enggros di Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua. Akses keluar dan masuk menuju wilayah adat ditutup pada awal pandemi untuk menekan potensi munculnya kasus positif Covid-19.
Sementara dari aspek ketahanan pangan, kesadaran bersama juga telah dimiliki oleh sejumlah komunitas adat. Salah satunya komunitas adat Babakan Baru di Rejang Lebong, Bengkulu, yang menyimpan hasil panen padi sebagai cadangan pangan bersama. Keputusan ini tentu menjadi modal sosial untuk menjaga ketahanan pangan bersama selama pandemi.
Gerak cepat yang dilakukan oleh sejumlah komunitas adat boleh jadi tidak terlepas dari serangkaian pengalaman dan memori kolektif yang dirawat secara turun-temurun terkait penanggulangan bencana. Catatan sejarah merekam bahwa masyarakat adat di masa lampau juga tidak terlepas dari persoalan wabah penyakit menular.
Memori kolektif ini salah satunya dirawat oleh para tokoh adat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Saat pandemi influenza melanda dunia tahun 1918, pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkirakan 10 persen dari populasi di wilayah ini meninggal (Brown, 1987).
Priyanto Wibowo dkk, dalam buku berjudul Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, menuliskan, memori kolektif tentang pandemi influenza ini masih dirawat oleh pemuka adat di Tana Toraja. Orang Toraja mengenal penyakit ini dengan sebutan Raa’ba Biang atau yang berarti pohon, dahan, atau ilalang yang berjatuhan. Tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun inilah yang menjadi bekal bagi masyarakat adat untuk bergerak dalam menyikapi beragam penyakit menular.
Tantangan
Ragam kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi salah satu modal untuk mengatasi pandemi Covid-19 di akar rumput. Apalagi, Indonesia memiliki banyak komunitas adat yang semestinya dapat menjadi salah satu gerbang penanggulangan pandemi di daerah.
Jika merujuk catatan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hingga tahun 2020 terdapat 2.061 komunitas adat. Terbanyak di Pulau Jawa sebanyak 531 komunitas.
Provinsi Jawa Barat menjadi daerah dengan jumlah komunitas adat terbanyak di Indonesia, yakni 206 komunitas. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, seperti Bali (187), Sulawesi Utara (152), Sumatera Barat (126), dan Jawa Timur (120).
Banyaknya komunitas adat juga berbanding lurus dengan banyaknya jumlah desa adat. Kemendikbudristek mencatat terdapat 488 desa adat di Indonesia. Bali menjadi wilayah dengan jumlah desa adat terbanyak (138).
Salah satu pembelajaran kearifan lokal dapat dipetik dari Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang turut terdampak pandemi seiring dengan menurunnya geliat pariwisata. Meski demikian, kebiasaan masyarakat adat untuk memiliki lumbung pangan menjadi solusi bertahan hidup di tengah lesunya perekonomian dan menekan laju penularan wabah.
Di tengah beragam kearifan lokal yang dimiliki, tantangan yang tidak mudah juga dihadapi oleh masyarakat adat untuk tetap bertahan selama pandemi, terutama dari sisi akses fasilitas kesehatan.
Menurut catatan AMAN, sebagian masyarakat adat bermukim di wilayah yang jauh dari fasilitas kesehatan. Akibatnya, riwayat kesehatan yang dimiliki oleh masyarakat adat tidak sepenuhnya terpantau. Upaya tes Covid-19 juga masih belum berjalan baik pada sejumlah wilayah sehingga jumlah masyarakat adat terpapar masih belum diketahui secara pasti di sejumlah daerah.
Sisi kesehatan lainnya yang perlu dicermati adalah akses vaksinasi. Apalagi, sebagian masyarakat adat juga hidup di kawasan wisata sehingga berpotensi bertemu dengan banyak orang dari berbagai wilayah.
Namun, dari sekitar 20 juta jiwa masyarakat adat yang menjadi anggota AMAN, hingga 21 Juli 2021 baru sekitar 20.000 jiwa yang menerima vaksinasi tahap pertama. Jumlah ini masih sekitar 4,3 persen dari total 468.963 masyarakat adat anggota AMAN yang telah mendaftar dalam program vaksinasi.
Bagaimanapun masyarakat adat adalah bagian yang tidak kalah penting untuk memperoleh perhatian dalam kebijakan penanggulangan pandemi. Program inklusif sangat dibutuhkan untuk terus merawat kesehatan dan daya tahan masyarakat adat.