Polah Pelaku Kesenian Maya, ”PPKM” ala Warga ”Kota Pahlawan”
Kalangan seniman dan budayawan Surabaya, Jawa Timur, masih bernyali untuk berkegiatan pada masa pandemi Covid-19 meski sementara hijrah ke dunia virtual karena hidup tanpa seni adalah mati.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
”Tuku tape, ya, nang Jagir, aku wong sugih tapi rada kentir (Beli tape, ya, di Jagir, aku orang kaya tapi agak gila),” ujar peludruk senior Kartolo (76) dalam episode PPKM (Polah Pikir Kartolo Maneh) di Cak Kartolo Channel, Youtube, Kamis (29/7/2021).
”PPKM” itu unggahan kesembilan dari 12 konten yang sebulan ini mengisi Cak Kartolo Channel, saluran baru bagi Kartolo untuk ekspresi ludruk bagi masyarakat. Di Surabaya, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat lalu level 4 sejak 3 Juli 2021 dan sampai kini masih berlangsung kian menekan pegiat seni budaya untuk berkreasi termasuk Kartolo.
PPKM adalah kebijakan untuk menekan penularan pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) dan atau mutasinya, yakni Alpha, Beta, Gamma, Delta. Pandemi telah menyerang sejak Maret 2020 dan hingga kini belum memperlihatkan tanda mereda. PPKM dilaksanakan sejak pertengahan Januari 2021 yang dalam perjalanan berubah-ubah nama, antara lain menjadi PPKM mikro, penebalan PPKM mikro, darurat, hingga PPKM level 3 dan PPKM level 4.
Belum menghasilkan (uang) sih, tapi minimal wis banyak yang nonton di Youtube
Demi menekan penularan, mobilitas terpaksa dibatasi termasuk larangan kegiatan seni budaya. Seniman budayawan terpaksa memindahkan seluruh daya kreasi ke ruang-ruang bebas penularan, yakni dalam jaringan alias daring (online) atau pasrah menyambut kematian eksistensi. Namun, maestro dunia abad pencerahan Leonardo Da Vinci pernah berujar ”Tubuh indah bisa musnah tetapi karya seni abadi”.
Kalau boleh menukil parikan atau pantun pembuka ”PPKM” itu, kalangan seniman dan budayawan di Surabaya seperti orang kaya tetapi agak gila. Kaya dimaksud penuh dengan ide dan daya kreasi. Menuju gila mungkin salah satunya tertekan hebat karena pandemi tak juga mereda.
Untuk keberlangsungan ekonomi, mereka mungkin bisa mengatasi, tetapi bagaimana menyalurkan gairah seni budaya? Ke-kentir-an memanfaatkan media sosial menjadi jalan keluar bagi kebuntuan Kartolo dan seniman budayawan lainnya.
Untuk produksi konten, Kartolo, kelahiran Pasuruan 2 Juli 1945, didukung tim kreatif, terutama sang istri, Ning Tini, pelawak Pulung Siswantara. Perekaman adegan terkadang di kediaman di Kupang Jaya, jalan raya, atau ruang publik sebatas mendapat izin dari otoritas alias Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Syuting bisa untuk 3-6 cerita. Setiap konten bertema dan berupa video durasi 6-10 menit.
”Belum menghasilkan (uang) sih, tapi minimal wis banyak yang nonton di Youtube. Cak Kartolo wis senang bisa menghibur kembali meski secara materi belum memuaskan,” kata Ning Tini.
Secara terpisah, peludruk senior Meimura meyakini, seniman budayawan harus obah atau bergerak dan memompa karsa untuk terus menghasilkan karya. Jika hanya deprok atau diam bisa cepat pegal linu, encok, tertekan alias penyakitan.
”Bakal aneh lan akeh kena penyakit (bisa aneh dan banyak penyakit),” kata Meimura yang Maret 2021 mulai menggiatkan Sanggar Anak Merdeka Indonesia (Samin) di kampungnya di Gunung Anyar Emas.
Pada masa pandemi, ketika ludruk atau pementasan tradisi tidak bisa manggung, Meimura keliling dari pasar ke pasar untuk sosialisasi protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Melakonkan Besut Rusmini dan berpelantang suara, Meimura berpantun keliling pasar sekaligus membagikan masker.
Warga yang tidak bermasker disindir dengan parikan misalnya maskeran harga mati, gak maskeran isa mati (bermasker harga mati, tak bermasker bisa mati) tetapi kemudian diberi masker sampai alat pelindung dari penularan percikan atau droplet mengandung Covid-19 itu habis.
Dari kediaman, Meimura juga membuat konten-konten pementasan lakon Besut Rusmini untuk diunggah ke akun Instagram @meimura.ragiltheatre. Dari sana jelas pesan yang ingin dibagikan bahwa manusia termasuk seniman budayawan jangan kalah apalagi menyerah terhadap pandemi yang sejauh ini telah mengakibatkan kematian 4,27 juta jiwa manusia bumi.
Menurut Dini Ariati, pemimpin Sanggar Laboratorium Remo, Surabaya, kegiatan secara online alias tatap layar untuk sementara ini menjadi solusi terbaik dalam berlatih tari tradisi untuk tujuan mulia pelestarian. Sebelum pandemi, aktivitas sanggar rutin diadakan di Taman Budaya Jawa Timur. Saat pandemi, kegiatan sempat pindah ke suatu pusat belanja tetapi kemudian dibubarkan.
”Latihan Remo tetap diadakan melalui pertemuan di Zoom secara rutin dengan peserta yang kini lebih banyak daripada sebelum pandemi,” kata Dini. Sebelum pandemi, peserta anak-anak dan terbatas karena ruang gerak di lokasi latihan. Di aplikasi Zoom, peserta yang ingin latihan bisa lebih banyak, tetapi ada kendala yakni memantau gerak tari mereka agar benar atau sesuai pakem.
Dini mengakui, di masa pandemi ketika situasi agak mereda ditandai dengan pelonggaran kebijakan, masih terkadang ada pesanan pementasan tari Remo. ”Suatu waktu beberapa anak kami tampil menari Remo di acara partai yang kemudian didatangi satgas terus acaranya dibubari. Acara bubar bukan karena ada tarinya, tetapi yang datang ada yang tidak maskeran dianggap melanggar prokes jadi, ya, ikut kena tegur,” katanya kemudian terkekeh.
Untuk kegiatan di ruang publik demi perekaman konten, lanjut Dini, juga agak bernegosiasi dengan aparatur. Misalnya, merekam tari Remo di taman yang ditutup kemudian ketahuan dan ditegur aparatur kelurahan/kecamatan. ”Ya kadang engkel-engkelan (berdebat emoh mengalah) biar bisa shooting, tetapi satgas memastikan kami menjalankan protokol kesehatan,” ujarnya.
Di dunia maya atau nyata, aktivitas seni budaya pada prinsipnya menghibur atau obat pereda ”sakit” jiwa-jiwa yang berduka, lara, dan nelangsa karena dampak pandemi. Tawa, haru, bangga, atau intinya gembira setelah melihat tayangan para seniman dan budayawan setidaknya memompa kembali imunitas atau kekebalan biar semangat dan tidak kalah oleh sakit.
Bantuan
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, meneruskan kebijakan untuk menjadikan kalangan seniman budayawan sebagai instruktur bagi masyarakat melalui kegiatan online. Pelatih diberi honor Rp 150.000 per jam dan dalam sepekan kegiatan minimal memakan waktu tujuh jam. Kegiatan dipantau dan pelatih harus selalu melapor sebagai pertanggung jawaban.
Eri melanjutkan, kurun September-Desember 2020 sempat diadakan Parade Seni Budaya secara virtual dengan melibatkan 500 seniman budayawan. Untuk setiap pementasan, seniman budayawan diberikan honor sebagai apresiasi. Acara kolaboratif setiap Sabtu atau Minggu malam itu berupa ludruk, karawitan, teater, musik, tari bertujuan memberikan hiburan sehat bagi warga di rumah. Dengan tetap di rumah, warga diharapkan membatasi mobilitas sehingga menekan potensi penularan.
”Kebijakan itu segera kami wujudkan meski tantangan besar karena situasi pandemi belum mereda,” ujar Eri.
PPKM Level 4 di Surabaya, karena risiko tinggi (zona merah), menurut rencana berlangsung sampai dengan Senin (9/8/2021) ini. Selama PPKM, mobilitas publik dibatasi karena penyekatan lalu lintas di sejumlah ruas jalan utama, penutupan objek wisata, taman, kawasan konservasi, pusat belanja, dan ruang sosial lainnya. Namun, penyekatan dan penutupan sejauh ini gagal membendung gairah ”PPKM” alias polah pelaku kesenian maya.