Tak Tahan Tekanan Kerja, ABK Lompat ke Laut hingga Terapung 3 Hari
Korban mengaku nekat melompat ke laut karena tak tahan dengan tekanan kerja di kapal penangkapan cumi. Kejadian ini memperpanjang catatan kelam industri kapal perikanan tangkap yang menyerap hampir 2 juta pekerja ini.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Seorang pemuda nekat melompat ke laut karena tak tahan tekanan pekerjaan di atas kapal. Ia ditemukan dalam keadaan selamat setelah terapung dan terbawa arus hingga perairan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (6/8/2021).
Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Kelas A Balikpapan Melkianus Kotta mengatakan, pihaknya mendapat kabar sekitar pukul 11.00 Wita dari sebuah kapal milik Pertamina. Nahkoda kapal, Eliaser B, memberi tahu bahwa timnya menemukan seseorang terapung di Buih Nol Perairan Teluk Balikpapan.
”Tim kemudian berangkat ke lokasi dan mengevakuasi korban. Korban dalam keadaan selamat. Korban kemudian kami serahkan kepada kepolisian dan diperiksa kesehatannya,” ujar Melky di Balikpapan.
Dari hasil pemeriksaan dan wawancara petugas, diketahui korban bernama Triyono (26). Ia berdomisili di Desa Wonokromo, Kecamatan Comal, Pemalang, Jawa Tengah. Pemuda itu bekerja sebagai anak buah kapal di sebuah kapal penangkap cumi.
Namun, ia tak kuat dengan tekanan kerja di atas kapal. Akhirnya ia nekat untuk melompat ke laut. ”Korban melompat di perairan Kalimantan Selatan sejak tiga hari lalu. Keputusan melompat karena mengalami tekanan pekerjaan,” ujar Kepala Seksi Operasi dan Siaga Basarnas Balikpapan Octavianto.
Ia menjelaskan, korban bertahan mengapung di laut selama tiga hari dua malam. Saat ditemukan, korban mengenakan jaket pelampung oranye dalam keadaan lemas dan rambut basah. Awak kapal Pertamina, yang melihat korban pertama kali, langsung menolong korban.
Korban melompat di perairan Kalimantan Selatan sejak tiga hari lalu. Keputusan melompat karena mengalami tekanan pekerjaan.
Selama menunggu evakuasi dari Basarnas, awak kapal Pertamina memberi pertolongan pertama. Setelah korban mengganti pakaian yang dikenakan dengan baju kering, pihak kapal memberinya makan dan minum.
Sekitar pukul 16.00 Wita, korban dibawa petugas menepi di Pelabuhan Semayang Balikpapan. Korban kemudian diserahkan kepada Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan Semayang untuk diperiksa kesehatannya. Dari laporan yang Octavianto terima pada pukul 17.45 Wita, korban dalam keadaan baik.
”Saturasi oksigen baik dan tidak ada penumpukan cairan di paru-parunya. Tidak ada keluhan juga dari korban. Sementara, korban akan dirawat oleh kerabat yang berdomisili di Kecamatan Balikpapan Selatan,” katanya.
Kejadian ini memperpanjang catatan kelam industri kapal perikanan tangkap yang menyerap hampir 2 juta pekerja. Penyerapan pekerja yang tergolong tinggi ini belum sejalan dengan perlindungan yang diperoleh awak kapal perikanan (Kompas, 5/5/2021).
Data Fishers Centre menunjukkan, hampir 70 persen dari total awak kapal perikanan belum memiliki kontrak kerja. Di sisi lain, masih terus ditemukan pelanggaran hak-hak pekerja kapal perikanan, indikasi kerja paksa, hingga perdagangan orang.
Sepanjang 2020, tercatat 103 awak kapal menjadi korban kerja paksa dan perdagangan orang pada 40 kapal ikan dalam dan luar negeri. Dari 103 orang itu, 26 orang meninggal di kapal ikan asal China, 3 orang hilang, sedangkan 74 orang selamat. Mayoritas dari 40 kapal tersebut merupakan kapal ikan luar negeri.
Selain rentan mengalami kekerasan, anak buah kapal juga terjerat sistem pengupahan tidak layak. SAFE Seas Project mencatat, upah awak kapal perikanan dari perusahaan pemilik kapal masih ditemukan jauh di bawah upah minimum provinsi.
Bahkan, ditemukan upah harian awak kapal hanya Rp 30.000 per hari. Sistem upah bagi hasil juga menempatkan buruh nelayan atau anak buah kapal di posisi marjinal. Ketika hasil tangkapan tidak menutup biaya operasional melaut, nelayan menanggung beban kerugian biaya melaut (Kompas, 5/5/2021).