Elang-elang yang tadinya terkurung itu kini telah kembali bebas. Bersama kepak sayapnya yang membelah terpaan angin, teriring harapan kelestarian alam. Perjuangan menyelamatkan satwa berlanjut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
Enos Pontororing sungguh tak mengira dirinya akan berada di kawah Gunung Lokon, Selasa (3/8/2021) siang itu. Ketika menerima undangan untuk menghadiri pelepasliaran empat elang paria atau Milvus migrans di Cagar Alam Gunung Lokon, Asisten II Pemerintah Kota Tomohon itu mengira acara hanya digelar seremonial di tanah lapang di kaki gunung.
Ternyata, dari titik temu di Kelurahan Kakaskasen, Enos yang datang bersama Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tomohon John Kapoh dan beberapa staf diantar dengan mobil ke jalur pendakian Sungai Pasahapen. Dari sana, mereka menyusuri bekas alur lahar ke Kawah Tompaluan di ketinggian 1.140 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Tentu tak mungkin mereka mengurungkan langkah ketika sudah sampai di ”pintu masuk”. Perjalanan di medan berbatu yang relatif landai itu pun tak makan waktu sampai sejam. Alhasil, berpakaian dinas harian dan sepatu pantofel, menanjaklah mereka. ”Perjalanan lumayan melelahkan, tetapi itulah olahraga kami,” Enos berkelakar.
Perwakilan Pemkot Tomohon datang belakangan, sekitar pukul 11.00 Wita. Tiga jam sebelumnya, tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara (BKSDA Sulut) telah mendaki lebih dulu untuk menyiapkan panggung bambu bagi empat elang paria yang akan dilepasliarkan.
Sejam kemudian, tim Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki menyusul. Susah payah dan terengah-engah mereka melewati jalur terjal berbatu di Sungai Pasahapen sambil menjinjing kandang berisi elang. Di dalam sempitnya kandang, keempat elang berbulu coklat dan hitam itu sesekali melompat dan mencoba melebarkan sayapnya.
Ketika lelah, tim BKSDA Sulut dan PPS Tasikoki duduk di batu-batu vulkanik besar untuk mengambil napas. Setidaknya mereka lebih siap dengan sepatu dan sandal gunung. Cuaca yang cerah pun mendukung lancarnya perjalanan mendekat ke sumber aroma belerang Gunung Lokon yang puncaknya setinggi 1.580 mdpl itu.
Hari itu, di tepi Kawah Tompaluan, 440 meter di bawah puncak Lokon, mereka mendapatkan keistimewaan untuk menyaksikan kepak sayap-sayap yang tadinya terkungkung kembali membentang di angkasa. Empat ekor elang paria yang tiga tahun terakhir direhabilitasi di bawah pengawasan BKSDA Sulut mendapatkan kembali haknya untuk berada di alam liar.
Dahulu, keempat burung migran yang juga menetap (resident) di Sulawesi dan Papua itu didomestikasi oleh warga di Sulut, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Padahal, elang paria ditetapkan pemerintah sebagai satwa dilindungi sekalipun risiko kepunahannya rendah dan populasinya cenderung stabil.
Kendati begitu, hukum tetap harus ditegakkan. Askhari Daeng Masikki, kepala BKSDA Sulut, mengatakan, satwa-satwa itu disita dari masyarakat melalui operasi penegakan hukum oleh Balai Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPLHK) Sulawesi.
Keempat elang itu kemudian direhabilitasi di PPS Tasikoki di Minahasa Utara. Satu di antaranya sempat direhabilitasi di kantor BKSDA Sulteng di Palu, tetapi dipindahkan ke PPS Tasikoki pascagempa bumi dan likuefaksi pada 2018.
Cagar Alam Gunung Lokon sebagai tempat yang tepat untuk melepasliarkan elang paria.
”Umumnya, satwa-satwa ini sudah jinak karena dipelihara masyarakat. Karena itu, mereka kami rehabilitasi di PPS Tasikoki untuk mengembalikan sifat-sifat liarnya sebelum kami lepasliarkan,” katanya.
Manajer Program PPS Tasikoki Billy Lolowang menyebut, Cagar Alam (CA) Gunung Lokon sebagai tempat yang tepat untuk melepasliarkan elang paria. Sebab, pernah ada survei Universitas Sam Ratulangi yang menemukan populasi elang ini di Gunung Empung (1.340 mdpl), yang hanya terpisahkan dari Gunung Lokon oleh Kawah Tompaluan.
Rehabilitasi keempat elang itu pun disebut Billy memakan waktu lama. ”Banyak yang bulunya rusak. Kami harus tunggu sampai tumbuh lagi. Kami juga latih mereka terbang di dalam kandang habituasi. Memang tidak sebanding dengan angkasa, tetapi yang penting ada ruang untuk terbang. Mereka juga kami jauhkan dari kontak dengan manusia,” katanya.
Hingga kini, tak ada data yang pasti untuk menunjukkan seberapa marak perburuan dan perdagangan satwa liar di Sulut. Kendati begitu, Sulut dinilai sebagai tempat yang strategis karena menjadi salah satu simpul logistik di wilayah timur Indonesia. Apalagi, Sulawesi dan Maluku berada di sisi dalam garis Wallacea yang mengindikasikan wilayah satwa-satwa endemik nan unik.
Satwa liar pun digandrungi manusia. Sebagian orang merasa senang dan bangga jika mampu mendomestikasi hewan-hewan unik tersebut. Karena itu, Askhari mengatakan, pelepasliaran ini adalah bentuk penyadartahuan kepada masyarakat untuk membiarkan satwa liar tetap berada di habitatnya.
”Satwa liar tidak boleh diburu, ditangkap, diperdagangkan, maupun dipelihara. Mereka lebih bagus hidup di alam bebas. Peran mereka sangat kita butuhkan untuk menjaga ekosistem hutan. Karena itu, undang-undang telah mengatur bahwa satwa liar adalah milik negara untuk dilestarikan,” kata Askhari.
Pada hari yang sama, BKSDA Sulut dan PPS Tasikoki juga melepaskan dua ekor ular sanca kembang (Python reticulatus), tetapi bukan di tepi Kawah Tompaluan. Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Sulut Yakub Ambagau mengatakan, ular itu dilepas di kerapatan hutan di kaki Gunung Lokon agar tidak mengganggu masyarakat yang mendaki gunung.
Bagi Enos yang mewakili Pemkot Tomohon, pemilihan CA Gunung Lokon untuk melepasliarkan satwa-satwa itu adalah suatu kehormatan. Artinya, Tomohon dipilih menjadi salah satu pusat untuk menjaga keseimbangan ekosistem Nusantara. ”Ini adalah langkah awal yang baik untuk meningkatkan kepedulian masyarakat pada lingkungan kita,” katanya.
Kini, elang-elang yang tadinya terkurung telah kembali bebas. Bersama kepak sayapnya yang membelah terpaan angin, teriring harapan kelestarian alam. Para pegiat lingkungan pun melanjutkan perjuangan, menyelamatkan satwa yang kehilangan haknya untuk terus bebas di alam liar.