Mereka bukan orang-orang kaya, melainkan mau berbagi untuk sesama. Orang-orang desa ini menyumbangkan waktu, tenaga, dan pikiran saat yang lain berkesusahan. Sungguh, mereka adalah terang yang menghangatkan.
Oleh
(DIA/WER/COK/IKI/AIN)
·5 menit baca
Mereka bukan orang-orang kaya, melainkan mau berbagi untuk sesama. Orang-orang desa ini menyumbangkan waktu, tenaga, dan pikiran saat yang lain berkesusahan. Sungguh, mereka adalah terang yang menghangatkan.
Negeri ini tidak pernah kehabisan orang-orang baik, bahkan di tengah jerat pandemi yang menyesakkan. Di pelosok desa di Nusantara muncul orang-orang berjiwa sosial tinggi menolong warga (dalam bahasa Bali disebut krama) dengan apa yang mereka punya. Tanpa perlu sorot kamera, tanpa perlu banyak kata.
Efan Puriwanto (29), warga Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya, ia bersama sejumlah pemuda di desanya berhimpun dalam sukarelawan penanganan Covid-19 dengan nama Swadhesi. Sukarelawan Swadhesi adalah sukarelawan tak berbayar. Mereka bukanlah sukarelawan dengan basis siaga bencana. Mereka hanya warga biasa dengan semangat kemanusiaan yang luar biasa.
Pada Juli-Agustus 2021, jumlah kasus terkonfirmasi covid-19 di Desa Pandanlandung meningkat tajam. Hingga akhir Juli 2021, ada 36 warga terpapar. Jumlah kasus meninggal juga banyak, 2-3 orang dalam sehari.
”Rasanya senang bisa menolong sesama. Kami tidak dibayar, tetapi yang akan mengetahui dan membayarnya adalah Yang di Atas,” kata pria yang biasa dipanggil Cembuk itu, Selasa (3/8/2021).
Hal mengejutkan dari Cembuk adalah ia melakoni kegiatan sosial itu di sela-sela pekerjaannya sebagai tukang cat. Pagi hingga siang Cembuk bekerja dan malam hari ia melakoni aktivitas sosialnya.
”Setiap saat kalau ada panggilan tugas, ya langsung berangkat. Kasihan kalau menunda-nunda karena ada orang yang segera butuh mendapat penanganan,” kata Cembuk.
Rasanya senang bisa menolong sesama. Kami tidak dibayar, tetapi yang akan mengetahui dan membayarnya adalah Yang di Atas.
Adapun di Desa Sitirejo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, mereka memiliki tim pemulasaran jenazah. Mereka tidak hanya melayani warga setempat, tetapi juga melayani warga luar desa.
”Kami membantu siapa yang membutuhkan, tidak melihat agama atau asal desanya. Mungkin satu kecamatan, hanya Sitirejo yang punya tim pemulasaran jenazah yang sudah terlatih. Ada beberapa kejadian pasien isolasi mandiri meninggal di rumah, maka tim pemulasaran kami yang bergerak se-kecamatan Wagir,” kata Buwang Suharja, Kepala Desa Sitirejo.
Di Desa Baktiseraga, Buleleng, Bali, seorang dermawan mempersilakan tanahnya dimanfaatkan sebagai kebun desa oleh pemerintah desa. Hasil kebun desa, selain bisa jadi pemasukan desa juga bisa digunakan untuk menolong yang berkesusahan, termasuk saat pandemi seperti sekarang ini. Mereka menjaga krama (warga) desanya dengan berbagai cara.
Perbekel Desa Baktiseraga I Gusti Putu Armada mengatakan, rencana pembuatan kebun desa itu sejak awal mendapat dukungan dan persetujuan dari warga pemilik lahan. Armada menuturkan, pemilik lahan mengizinkan lahannya digunakan sebagai lahan kebun desa secara cuma-cuma karena lahan itu pun saat ini belum digunakan oleh pemiliknya.
”Pemilik lahan mengizinkan lahannya untuk kami kelola sebagai kebun desa demi kepentingan bersama. Sebagai kompensasi karena kami tidak menyewa, kami juga memberikan hasil panen dari kebun kepada pemilik lahan,” kata Armada.
Namun, pemilik lahan sering menolak saat sayur hasil panen kebun diberikan kepadanya. Ia lebih memilih membayar sayur hasil kebun urban farming itu.
”Kebun desa dengan konsep urban farming di Desa Baktiseraga juga menjadi sumber pendapatan tambahan bagi desa. Namun, tidak semua hasil panen dari kebun itu dijual karena sebagian hasil panen juga digunakan desa sebagai tambahan pangan bagi warga desa yang membutuhkan, terlebih warga sedang menghadapi situasi sulit akibat pandemi Covid-19,” kata Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PPK) Desa Baktiseraga Ketut Praba Wijayanti (53).
Warga RW 007, Desa Kalikoa, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, juga menjelma menjadi sukarelawan siaga bencana dengan menyiapkan makanan, bahan pokok, hingga tabung oksigen untuk tetangga yang menjalani isolasi mandiri.
Aksi solidaritas atau sambatan serupa juga dilakukan warga Kelurahan Drajat, Kota Cirebon, Jawa Barat. Untuk menangani warga terpapar Covid-19, dibentuklah posko siaga. Sumbangan mengalir, seperti beras 95 kilogram, vitamin, hingga uang donasi yang mencapai total Rp 11,8 juta. Semuanya swadaya warga. Dana itu antara lain dibelikan makanan bagi warga isoman.
”Kebetulan ada warga yang buka katering. Jadi, kami pesan ke sana sekaligus memberdayakan usahanya. Alhamdulillah dapat potongan harga,” kata Ketua RT 004 Deni Hamzah (40).
Di Cirebon, solidaritas muncul di antara penikmat kopi. Komunitas Sepengopian Cirebon Raya memberikan 150 gelas kopi susu dan 2 kilogram bubuk kopi kepada petugas di posko koordinasi penanganan Covid-19 di Public Safety Center 119, Kota Cirebon, Jawa Barat. Meskipun terdampak Covid-19, para pemilik kedai hingga barista tersebut tetap bersolidaritas dengan memberikan kopi gratis untuk menyemangati petugas di PSC 119.
Solidaritas serupa juga muncul di antara perangkat Desa Siderejo, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh, merelakan gajinya dipotong Rp 50.000 per bulan untuk digunakan membantu warga yang membutuhkan. Dengan sumbangan dari pendapatan mereka itu, diharapkan bisa meringankan warga yang kurang mampu.
Desa Siderejo berada di pusat Kota Langsa sehingga mobilitas warga di sana cukup tinggi sehingga potensi warga terpapar Covid-19 cukup besar. Pemerintah berusaha sekuat tenaga membantu warga dengan berbagai cara.
Masih banyak kisah solidaritas sosial lahir di desa-desa. Tanpa disuruh, tanpa diperintah. Meski perlahan-lahan nilai solidaritas itu mulai tergerus, tetapi secara umum, warga desa masih menganut nilai solidaritas sosial dan kekerabatan sebagai kekuatan.
Sudah sepatutnya, nilai-nilai sosial itu terus kita pupuk agar tidak benar-benar sirna. Caranya, menurut dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Dhanny S Sutopo, adalah dengan terus mengembangkan komunikasi, pemahaman, dan kesetaraan.
”Prinsip masyarakat desa itu sederhana. Komunikasi, saling memahami, dan menjaga nilai-nilai kesetaraan. Itu harus lebih sering dibangun di desa. Bukan hubungan yang sifatnya hierarkis,” kata Dhanny.
Ya, segala upaya dilakukan untuk bertahan dan bangkit dari pandemi. Di tengah guncangan persoalan, sejumlah warga desa mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dengan membantu sesama.
Lao Tzu berkata, jalan surga adalah membantu, bukan menyakiti….