Umpatan, makian, protes, dan segala tuntutan pasien isolasi mandiri Covid-19 ataupun warga desa yang terkena karantina menjadi bagian dari pekerjaan perangkat desa.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
Lebih dari setahun pandemi Covid-19 menghadirkan suka duka bagi desa. Saat ini, desa menjadi benteng penanganan Covid-19. Merekalah yang kini diharuskan mengurus warganya, mulai dari pembatasan sosial hingga mengawasi isolasi mandiri di rumah.
Perangkat desa tidak saja harus mengurus fisik dan finansial desa, tetapi juga emosi pribadi. Dalam bekerja, caci maki dari warga juga terjadi, gara-gara dianggap ”memenjara” warga yang harus isolasi mandiri.
”Saya pernah dimaki dan diteriaki. Ini karena mereka merasa kebijakan sayalah yang membuat mereka terpenjara di rumah,” kata Sekretaris Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Achmad Bagus Sadewa (24), Rabu (30/6/2021).
Bagus bisa saja marah dan membiarkan warganya, tidak mengurusinya lagi. Namun, itu tidak bisa dilakukannya. ”Harus sabar memang meski menguras tenaga, hati, dan pikiran,” katanya.
Saat itu, di desa itu ada satu keluarga terkofirmasi Covid-19. Keluarga tersebut pedagang telur ayam. Setiap hari, mereka mendistribusikan telur ayam ke pedagang. Gara-gara wajib isolasi mandiri, telur-telur ayam tersebut terancam busuk.
”Mungkin saat itu orangnya emosi karena jualannya terancam busuk. Desa akhirnya membantu menjualkan 20 peti telur ayam milik keluarga tersebut,” kata Bagus. Desa mengeluarkan kas Rp 5 juta untuk membeli semua telur itu. Masing-masing peti berisi 10 kilogram dengan harga Rp 25.000 per kg.
”Kami akhirnya bisa menjual kembali seluruh telur itu, tetapi dengan harga total Rp 4 juta. Akhirnya pemdes tombok (tekor) Rp 1 juta. Tapi tidak apa-apa, itu untuk warga yang diisolasi,” kata Bagus.
Selain dimaki dan tekor, pemerintah desa pada awal-awal pandemi juga harus menghadapi permintaan aneka makanan yang diinginkan warga isolasi mandiri. ”Mereka menyebut buah harus berasal dari toko buah ternama di sini. Tidak mau buah dari pasar. Ini karena mereka menganggap, selama diisolasi, mereka dapat jatah uang dari puskesmas,” kata Bagus.
Rino Ekananda (28), petugas logistik di Desa Pandanlandung juga harus melayani warga. Ia membelikan pembalut dan boneka untuk anak dari pasien isolasi mandiri.
Semua dilakoninya dengan sukacita. ”Anggap saja ini ladang ibadah atau ladang amal bagi saya. Dengan begitu, tidak terasa berat meskipun sering di antara mereka kirim pesan dan memaki-maki merasa tidak dilayani dengan baik. He-he-he..,” katanya.
Masa-masa terberat mengurus pasien terkonfirmasi Covid-19 muncul tahun lalu, pada masa awal pandemi. Saat itu, yang isolasi mandiri belum patuh dan selalu ingin keluar rumah sehingga ada petugas jaga di rumah mereka. ”Tapi kini warga mulai terbiasa sehingga tugas pengawasan bisa diserahkan ke RT,” kata Rino.
Kisah melayani warga terkonfirmasi Covid-19 juga dibagikan oleh Kepala Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Wahyudi. Ia membagikan cerita warga meminta dibuatkan bubur, hingga minta dibelikan pembalut bersayap.
Ia mengaku hal itu tidak mengganggunya sebab bagian dari liku-likunya selama mengurusi pasien Covid-19 yang isolasi di desa. ”Pokokedinikmati mawon (pokoknya dinikmati saja),” kata Wahyudi.
Sejak lahirnya pemberlakuaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), desa menjadi penanggung jawab utama dalam penanganan Covid-19. Desa dan kelurahan didorong membentuk kampung-kampung Tangguh (termasuk menyediakan ruang isolasi bagi warganya yang terkonfirmasi Covid-19). Kondisi finansial desa sangat menentukan.
Desa Pandanlandung, misalnya, untuk setiap pasien isolasi selama 14 hari butuh biaya sekitar Rp 500.000. Sebanyak 32 orang pernah diisolasi di desa tersebut. Saat ini, mereka tengah mengisolasi satu keluarga dengan empat anggota keluarga.
Setidaknya, hingga kini desa tersebut sudah menghabiskan Rp 30 juta-Rp 50 juta. ”Ini termasuk anggaran untuk operasional satgas, tetapi belum termasuk BLT Dana Desa dan kegiatan lain,” kata Bagus.
Kelelahan
Di Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, salah satu dusun melakukan lockdown lokal, yakni Dusun Rowotrate. Karantina lokal berlangsung 20 Juni hingga 3 Juli besok.
Penutupan wilayah itu dilakukan setelah muncul kluster Covid-19 dari hajatan pernikahan. Kasus mencuat setelah ada beberapa orang meninggal yang kemudian diketahui terkonfirmasi Covid-19.
Seiring penutupan dusun itu, satgas desa bersama Taruna Siaga Bencana (Tagana) dan tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Sibat) PMI membuat dapur umum untuk 700-an warga dusun. Dapur umum dibantu warga sekitar.
Dari hari ke hari, jumlah pasien terkonfirmasi Covid-19 di sana terus muncul. Korban meninggal juga bertambah. Rabu lalu, Sekretaris Desa Sitiarjo, Yudi (58), meninggal. Jenazah dimakamkan dengan protokol kesehatan penanganan Covid-19.
Hingga kini belum diketahui penyebab sekdes meninggal. Yang pasti, menyebabkan warga semakin ketakutan. Akibatnya, jumlah warga desa yang membantu di dapur umum berkurang drastis.
”Hanya tersisa empat Tagana dan Sibat PMI. Padahal, sebelumnya 30-an warga desa turut membantu memasak bergantian. Tenaga yang tersisa di dapur umum ini kewalahan dan rentan drop karena kelelahan,” kata Syaiful Arief, relawan Tagana.
Kekhawatiran satgas desa tersebut cukup beralasan. Sebab, mereka harus memasak makanan untuk 700-an orang yang diisolasi, sebanyak 3 kali (untuk sarapan, makan siang, dan makan malam). ”Kami berharap ada bantuan personel dari satgas kabupaten untuk membantu menangani dapur umum di sini,” kata Syaiful.
Ketakutan warga itu kian memuncak seiring ditutupnya Pasar Desa Sitiarjo. Hal itu dilakukan untuk menutup penyebarluasan Covid-19. Penutupan dilakukan hingga 4 Juli 2021 dan bisa diperpanjang.
Bantuan TNI
Menanggapi hal itu, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto mengatakan bahwa berbagai upaya sudah dilakukan untuk mangatasi Covid-19 di Desa Sitiarjo. Pemkab Malang bahkan meminta dukungan dari TNI, tepatnya Kesehatan Kodam V/Brawijaya.
”Oleh karena tenaga kesehatan kami juga banyak yang kena Covid-19, kami meminta dukungan Kesehatan Kodam V/Brawijaya untuk membantu penanganan di sana,” ucapnya.
Bentuk bantuan adalah tenaga kesehatan, personel lapangan, dan ambulans. Di Sitiarjo, dua sopir ambulans terpapar Covid-19. ”Itu sebabnya kami sekarang dapat dukungan tenaga untuk ambulans dari Kesdam,” kata Didik. Desa Sitiarjo adalah desa di Malang Selatan, tak jauh dari pantai-pantai selatan Malang.
Tenaga kesehatan itu, menurut Didik, akan membantu perawatan pasien di Puskesmas Sitiarjo. Nantinya, pelayanan puskemas dilakukan dengan sistem gantian jaga.
Selain itu, dalam 2-3 hari ini, Pemkab Malang akan memberikan bantuan beras kepada keluarga di Dusun Rowotrate. Setiap keluarga akan mendapat bantuan beras 10 kg karena warganya tidak bisa beraktivitas. ”Kami tetap mengirim bantuan makan jadi dua kali sehari,” kata Didik.
Seperti halnya para perangkat desa yang menerima keluhan warga, hampir setiap saat Didik menerima keluhan dan masukan dari berbagai pihak mengenai warganya yang terkonfirmasi Covid-19. ”Ayo kita terapkan protokol kesehatan ketat agar korban tidak terus berjatuhan,” ujarnya.
Tidak mudah memang bertahan dalam pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari setahun. Bukan hanya menggerogoti fisik, virus korona ini juga menguras emosi.