Kinerja kepolisian dinanti untuk mengungkap kematian enam ekor gajah sumatera di Aceh Timur dan Aceh Jaya. Seekor gajah ditemukan tanpa kepala, lima lainnya tinggal tulang belulang yang tidak lengkap.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kasus kematian enam ekor gajah sumatra atau elephas maximus sumatrensis di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, belum terungkap. Kinerja aparat kepolisian untuk mengungkap kasus itu dinanti.
Di Kabupaten Aceh Timur seekor gajah jantan, berusia 12 tahun, ditemukan mati tanpa kepala di dalam area perkebunan sawit milik sebuah perusahaan, di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Dalam, Aceh Timur, Minggu, (11/7/2021). Diduga, kepala bersama gading diambil oleh pelaku. Ditemukan dua bungkus plastik berisi racun dalam perut satwa lindung itu.
Adapun di Aceh Jaya, lima ekor gajah itu mati secara bersamaan karena tersengat pagar listrik pada Januari 2020. Saat ditemukan, kelimanya tinggal tulang belulang yang tidak lengkap. Tulang utama seperti rusuk, punggung, dan paha raib. Dua pasang gading dari dua gajah jantan juga tidak ditemukan di lokasi itu (Kompas.id, 18/1/2021).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polisi Resor Aceh Timur Ajun Komisaris Dwi Arys Purwoko, Rabu (4/8/2021), menuturkan, pihaknya telah memeriksa 19 saksi terkait kematian gajah tanpa kepala di Aceh Timur, tetapi tidak ada petunjuk yang mengarah pada pelaku.
”Kasus ini masih dalam penyelidikan. Tidak ada warga atau saksi yang memiliki informasi sebelum dan sesudah penemuan gajah,” ujar Dwi dalam diskusi daring ”Upaya penegakan hukum dan perlindungan gajah sumatera”.
Diskusi ini digelar oleh Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera), Convervation Response Unit (CRU) Aceh, dan Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK).
Dwi mengatakan, kuat dugaan gajah itu dibunuh untuk kepentingan perdagangan ilegal. Sebab, sepasang gading hilang. Akan tetapi, penyidik kesulitan memperoleh informasi.
”Kami telah membentuk tim khusus untuk mengungkapkan kasus ini. Namun, sejauh ini belum ada petunjuk,” kata Dwi.
Jalan di tempat
Sementara proses hukum kasus kematian lima ekor gajah yang tersengat listrik di Desa Tuwi Priya, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya hingga kini juga jalan di tempat. Proses hukum masih tahap penyelidikan, padahal penanganan sudah berjalan 1 tahun 8 bulan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polisi Resor Aceh Jaya Ajun Komisaris Miftahuda Dizha Fezuono menuturkan tidak mudah mengungkap kasus kematian gajah tersebut. Dari pemeriksaan para saksi dugaan pelaku mengarah pada dua orang, mereka adalah warga sipil, berprofesi sebagai petani. Namun, polisi belum berhasil menangkap kedua orang tersebut.
Warga ikut melindungi DPO dari kejaran polisi. (Ajun Komisaris Miftahuda Dizha Fezuono)
”Mereka sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Mereka tidak memenuhi panggilan penyidik. Namun, sulit mencari keberadaan mereka karena tidak ada jejak digital,” ujar Miftahuda.
Penyidik sering mendatangi rumah DPO tersebut, tetapi target tidak pernah ditemukan. Miftahuda beralasan, warga ikut melindungi DPO dari kejaran polisi. Meski demikian, pihaknya berkomitmen menyelesaikan kasus kematian gajah itu.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Ariyanto mengatakan, kasus kematian gajah di Aceh adalah persoalan serius. Kasus-kasus tersebut menjadi sorotan nasional dan internasional. Oleh karena itu, pengungkapan kasus menjadi salah satu capaian dalam upaya perlindungan.
Data BKSDA Aceh menunjukkan, sejak 2016 hingga 2020, sebanyak 42 gajah di Aceh mati. Penyebab kematian 57 persen karena konflik, 33 persen mati alami, dan 10 persen karena perburuan. Adapun populasi gajah di Aceh saat ini lebih kurang sekitar 539 ekor.
”Kami mendukung kerja penyidik kepolisian mengungkap kasus itu. Ini persoalan nasional dan internasional,” kata Agus.
Agus mengatakan gerakan perlindungan gajah harus dilakukan bersama-sama dan bersungguh-sungguh. Masalah paling serius saat ini adalah 80 persen populasi gajah di Aceh berada di luar kawasan konservasi. Akibatnya konflik perebutan ruang antara gajah dan manusia masif.
Tiga kabupaten dengan jumlah konflik tertinggi adalah Aceh Jaya, Pidie, dan Aceh Timur. Sebagai gambaran, pada 2021, di tiga kabupaten itu terjadi peristiwa kematian gajah.
Adapun konflik gajah dan manusia terjadi sebanyak 486 kali depanjang 2016–2021. Dampaknya bukan hanya gajah yang mati, manusia juga menjadi korban.
Pada Sabtu, 3 Juli 2021, misalnya, seorang warga Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, tewas diamuk gajah, saat berusaha menghalau gajah masuk ke kawasan perkebunan.
Menurut Agus, pemulihan habitat, pembuatan parit pembatas, dan penyesuaian tanaman pertanian, adalah solusi mencegah konflik satwa.
Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera Subhan mengatakan, perlindungan harusnya difokuskan pada pencegahan, sedangkan penegakan hukum adalah bagian hilir. ”Jangan menunggu gajah mati baru semua memberikan perhatian. Harusnya kita perkuat pada pencegahan dan mitigasi konflik,” kata Subhan.
Subhan mengajak para pihak di Aceh dan nasional untuk bergerak bersama melindungi gajah sumatra. ”Jika tidak sungguh-sungguh suatu saat gajah sumatra akan punah,” kata Subhan.