Gajah Mati Tak Lagi Meninggalkan Gading (dan Tulang)
Pepatah lama ”Gajah mati meninggalkan gading”, kini tidak relevan lagi. Sekarang, gajah mati tidak lagi meninggalkan gading. Gajah bahkan tidak lagi meninggalkan tulangnya.
Pepatah lama ”Gajah mati meninggalkan gading”, kini tidak relevan lagi. Sekarang, gajah mati tidak lagi meninggalkan gading. Gajah bahkan tidak lagi meninggalkan tulangnya.
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) justru mati karena gadingnya, diburu oleh jaringan perdagangan satwa lindung. Di pasar gelap harga gading mencapai puluhan juta.
Selama pasar gelap perdagangan satwa masih berjalan, satwa lindung seperti gajah dan harimau masih dalam ancaman perburuan. Pada saat yang sama, deforestasi hutan meningkatkan eskalasi konflik satwa itu dengan manusia di kantong-kantong populasinya.
Kantong terbesar populasi gajah sumatera ada di Provinsi Aceh. Luas hutan Aceh yang mencapai 3 juta hektar menjadi rumah bersama bagi banyak hewan lindung. Selain gajah, terdapat juga harimau, orangutan, badak, rangkong, dan beruang.
Saat ini diperkirakan populasi gajah di Indonesia sekitar 2.000 ekor, sebanyak 539 ekor di antaranya berada di Aceh. Provinsi paling barat Sumatera itu menjadi harapan besar upaya menyelamatkan gajah.
Pembantaian
Namun, keberlangsungan hidup satwa lindung itu, terutama gajah sangat terancam. Mereka terus diburu. Mereka dibunuh dengan aneka cara mulai ditembak, diracun, dijerat, dan disetrum dengan kabel listrik. Sepanjang 2016 hingga awal 2020 ini, atau dalam kurun empat tahun lebih, sebanyak 38 ekor gajah di Aceh mati, Beberapa diantaranya adalah gajah jinak.
Kasus kematian terbaru terjadi di Desa Tuwi Peuriya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya. Lima ekor gajah mati secara bersamaan karena tersengat pagar listrik. Saat ditemukan, kelimanya tinggal tulang belulang yang tidak lengkap. Tulang utama seperti rusuk, punggung, dan paha raib. Dua pasang gading dari dua gajah jantan juga tidak ditemukan di lokasi itu.
Pengendali Ekosistem Hutan Madya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh drh Taing Lubis dalam diskusi bersama Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Kamis (16/1/2020), mengatakan selain gading, tulang gajah pun kini diperjualbelikan.
Koordinator perawatan satwa sitaan dan saksi ahli dalam kasus kejahatan terhadap satwa liar BKSDA Aceh itu menduga sebagian besar tulang dari gajah yang ditemukan mati di Aceh Jaya dibawa pelaku untuk diperjualbelikan. ”Yang tersisa hanya tulang penghubung, tulang utama hilang,” kata Taing.
Dugaan Taing sangat beralasan. Pada Juli 2018, polisi dan BKSDA Aceh menangkap pelaku penjual tulang gajah. Tulang gajah sebanyak 173 potongan diangkut mobil sedan. Polisi menahan lima tersangka. Namun, pengungkapan kasus tidak sampai pada penampung atau pemesan.
Pengungkapan kasus tidak sampai pada penampung atau pemesan.
Penjualan tulang belulang, menurut Taing, adalah sinyal berbahaya bagi keberlangsungan hidup gajah. Dia khawatir, pemburu kini tidak hanya mengincar gajah jantan dewasa untuk mengambil gading, tetapi juga gajah betina, dan anak gajah untuk diambil tulang.
”Ini akan mempercepat kepunahan gajah sumatera,” ujar Taing.
Dalam beberapa kasus gajah yang mati karena terkena jerat, Taing menilai ada keterlibatan jaringan besar di balik itu. Sebab, kabel atau sling yang dipakai sebagai jerat harganya tinggi. ”Warga dikasih jerat dengan kabel yang mahal, kalau warga biasa tidak mampu beli kabel itu,” kata Taing.
Begitu juga dalam kasus gajah yang mati terkena setrum listrik. Pemodal memberikan kabel listrik kepada warga agar dipasang di perkebunan untuk menghalau gajah. Menurut Taing, ini adalah modus untuk menjerat gajah.
Perburuan gajah kini semakin masif. Sasaran bukan hanya liar, tetapi juga gajah jinak. Gajah jantan jinak bernama Bunta di pusat mitigasi konflik satwa di Aceh Timur mati diracun pada Juni 2018. Pelaku memasukkan racun dalam buah kuweni lalu memberikan kepada Bunta. Setelah mati, sepasang gading Bunta diambil.
Pada Juli 2017, seekor gajah jantan di Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, ditembak menggunakan senjata serbu AK 56. Gadingnya diambil untuk diperjualbelikan. Pada Februari 2016, juga di Ketol, seekor gajah mati karena memakan pupuk di kebun warga.
Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Lauser (FKL) Dediansyah mengatakan perburuan terhadap satwa lindung marak di hutan Aceh. Bahkan, kawasan Leuser menjadi ladang perburuan.
FKL yang melakukan patroli rutin dalam kawasan Leuser menemukan menemukan 843 jerat dan perangkap satwa di Leuser pada 2018. FKL juga menemukan 96 bangkai satwa yang diduga mati karena perburuan.
Pada 2017 FKL menemukan 814 jerat satwa. ”Kami berhadapan langsung dengan pemburu di lapangan, mereka sebagian besar orang Aceh, tetapi ada juga dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat,” kata Dediansyah.
Jerat dan perangkap sengaja dipasang oleh pemburu. Bentuk jerat dan perangkap beragam. Ada yang terbuat dari baja sling, papan yang dipasangi paku, dan jeruji besi yang dilas. Satwa lindung yang diburu, kata Dediansyah, di antaranya gajah, harimau, rusa, beruang, rangkong, dan orangutan.
Dediansyah mengatakan, perburuan marak karena penegakan hukum dan perlindungan satwa di dalam kawasan masih lemah. Pemburu dengan mudah masuk ke dalam kawasan dan memburu satwa lindung. ”Permintaan terhadap organ satwa di pasar gelap tinggi sehingga perburuan juga marak. Tanpa penegakan hukum yang tegas, satwa-satwa lindung ini akan punah,” kata Dediansyah.
Habitat rusak
Pemicu lain adalah kerusakan habitat gajah. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi kawasan budidaya membuat gajah kehilangan area jelajah. Dampaknya eskaliasi konflik dengan manusia meningkat. Pada 2016-2019, BKSDA Aceh mencatat jumlah konflik gajah dengan manusia sebanyak 322 kali.
Aktivis Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA), Crisna Akbar menuturkan selama deforestasi tidak dibendung dan hutan yang rusak tidak dipulihkan konflik satwa tidak akan terselesaikan. Crisna menilai selama ini ada pembiaran perusakan hutan.
”Bicara kejahatan terhadap satwa, tidak terlepas dari kejahatan perusakan hutan,” kata Crisna. Crisna mencontohkan perkebunan sawit ilegal di dalam kawasan Leuser di Aceh Tamiang dan dalam kawasan konservasi di Aceh Selatan, tidak ditindak hukum.
Yayasan HAkA mencatat pada 2017 dan 2018 deforestasi tutupan hutan Aceh mencapai 32.891 hektar. Penyebab utama deforestasi adalah alih fungsi hutan menjadi perkebunan, jalan, dan perambahan.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto mengatakan 85 persen populasi gajah di Aceh kini berada di luar kawasan konservasi. Jalur jelajah gajah banyak beralih menjadi perkebunan sawit, seperti di Kecamatan Ranto Peurelak, Juli, Pasie Raya, dan Cot Girek. Kondisi ini menyulitkan BKSDA Aceh dalam membendung konflik gajah liar dengan manusia.
”Frekuensi konflik meningkat. Kematian gajah juga bertambah. Kami butuh dukungan dan kerja sama para pihak,” ujar Agus.
Agus mengatakan beberapa solusi melindungi gajah telah dilakukan seperti pembuatan pagar jelajah, pemasangan GPS Collar untuk memantau pergerakan gajah, dan pengoperasian pusat mitigasi. Saat ini BKSDA Aceh bersama Dinas Kehutanan Aceh sedang membahas rencana pembentukan kawasan ekosistem esensial. Kawasan esensial ini dikelola dengan mengedepankan kepentingan konservasi satwa.
Sekretaris Asosiasi Kepala Desa Kecamatan Pasie Raya, Aceh Jaya, Syarkawi berpendapat pemerintah jangan hanya melindungi gajah, tetapi abai terhadap keadaan warga di kawasan koridor gajah. Syarkawi merasa, warga sering disudutkan saat terjadi konflik dan adanya gajah yang mati. ”Sementara kerugian ekonomi yang warga rasakan tidak dihitung, seharusnya pemerintah memberikan ganti rugi,” ujar Syarkawi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Jaya Iptu Bima Putra Nugraha mengatakan dalam penegakan hukum dalam kasus kematian gajah di Aceh Jaya polisi akan menangkap pelaku utama yang menyebabkan satwa lindung itu mati. Pemilik kebun yang memasang kabel listrik dan warga telah diperiksa. Namun, belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Bima mengatakan tidak tertutup kemungkinan polisi juga mengungkapkan jaringan perdagangan gading dan tulang gajah. Namun, kata Bima, polisi bekerja bertahap.
Pengungkapan kasus kematian lima gajah di Aceh Jaya sampai pada jaringan perdagangan organ satwa, penting. Supaya memberikan gambaran utuh penyebab kematian serta ke mana gading dan tulang diperjualbelikan.
Para pihak mendesak aparat penegak hukum menjatuhi hukuman berat bagi pelaku agar memberikan efek jera. Meski demikian, penegakan hukum harus dibarengi dengan upaya lain, seperti pemulihan habitat, pemberdayaan ekonomi warga sekitar kawasan, dan penetapan kawasan khusus bagi gajah.