Tolak Dirawat, Warga Lombok Tengah Meninggal Saat Isolasi Mandiri
Kematian warga yang tengah menjalani isolasi mandiri terus terjadi. Salah satunya, seorang warga asal Sepakek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Ia menjalani isolasi setelah hasil tes antigennya reaktif.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Penolakan tawaran perawatan bagi warga terkonfirmasi positif Covid-19 di Nusa Tenggara Barat berujung kematian. Selain menyelamatkan nyawa, perawatan bagi pasien bergejala diharapkan bisa menekan penularan kepada orang di sekitarnya.
Pada Jumat (30/7/2021) dini hari, Munahar (53), warga Desa Sepakek, Pringgarata, Lombok Tengah, meninggal di rumahnya dengan status reaktif Covid-19 berdasarkan tes usap antigen. Jenazah Munahar dimakamkan pada Jumat sore dengan protokol Covid-19.
Budi Hartono dari Satuan Tugas Tim Covid-19 Kecamatan dan Puskesmas Pringgarata mengatakan, almarhum tengah menjalani isolasi mandiri. Dia dinyatakan reaktif sejak tiga hari sebelumnya. Saat datang ke puskesmas, Munahar mengalami sesak napas karena memiliki komorbid asma.
Budi mengatakan, puskesmas menawarkan perawatan bagi Munahar. Namun, tawaran itu ditolak keluarga. Mereka memilih membawanya pulang ke rumah. ”Selama isolasi mandiri, tim Puskesmas Pringgarata dua kali datang untuk menelusuri riwayat kontak terdekat Munahar,” ujarnya.
Salah satu sesi pemeriksaan kontak erat dilakukan pada Kamis (29/7/2021). Petugas kesehatan mendapat penolakan dari pihak keluarga. Sejumlah anggota keluarga bahkan dibiarkan bepergian meski belum diperiksa.
Setelah mendapat penjelaskan, keluarga besar akhirnya bersedia diperiksa. Seluruh anggota keluarga yang sedang tidak berada di rumah diminta pulang. Dari pemeriksaan, tidak ada anggota keluarga Munahar yang reaktif.
Dokter sekaligus anggota Tim Satgas Penanganan Covid-19 Puskesmas Pringgarata, Sri Nurhayati, mengatakan, pasien tanpa gejala harus tetap menjalani isolasi mandiri. Sementara warga bergejala ringan harus menjalani pengobatan dan mendapat pengawasan petugas kesehatan.
”Sementara yang berat, silakan dirujuk ke rumah sakit. Tetapi, kami banyak yang menolak dirujuk. Padahal, hal itu akan mempermudah penyebaran di masyarakat,” lanjutnya.
Menurut Sri, penolakan selain karena stigma juga kekhawatiran pasien terkait kebutuhan sehari-hari mereka. ”Oleh karena itu, penanganan pasien tidak bisa ke dokter atau tenaga kesehatan saja. Tetapi lintas sektor, mulai dari dusun yang paling dekat, lalu desa, hingga kecamatan. Termasuk di dalamnya TNI dan polisi,” tuturnya.
Di samping itu, kata Sri, seiring dengan meningkatnya kasus Covid-19, protokol kesehatan harus semakin disiplin diterapkan. Apalagi, ada varian Delta yang mudah sekali menyebar dan menginfeksi orang lain.
”Bagi yang sehat, tetap prokes. Bagi yang sudah terpapar atau terkena Covid-19, juga tetap prokes,” kata Sri.
Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalillah menegaskan pentingnya protokol kesehatan. ”Pemerintah terus menggalakkan prokes. Tetapi apabila tidak diikuti ketaatan kita bersama, semua upaya pemerintah itu akan sia-sia,” ucapnya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan NTB, kematian pasien Covid-19 terus bertambah. Pada Kamis, 29 Juli, tercatat enam orang meninggal sehingga totalnya mencapai 681 orang.
Pasien meninggal terbanyak berada di Kota Mataram, yakni 179 orang. Mataram juga mendominasi kasus aktif, yakni 683 orang. Setelah Mataram, kasus meninggal tinggi terjadi di Lombok Barat (114 orang) dan Sumbawa (103 orang).
Di tengah bertambahnya kasus kematian, vaksinasi Covid-19 di NTB masih rendah. Hingga 29 Juli, cakupan vaksin di NTB baru mencapai 595.323 orang atau 15,22 persen dari target 3,9 juta orang.
Salah satu pemicu rendahnya vaksinasi adalah tersendatnya pasokan vaksin. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB Lalu Hamzi Fikri mengatakan, pasokan vaksin dari pusat diharapkan baru lancar pada Agustus hingga September.