Optimalkan Pendekatan Keluarga dan Komunitas untuk Mengendalikan HIV
Orang dengan HIV memerlukan dukungan dari orang-orang terdekatnya untuk patuh menjalani pengobatan antiretroviral yang bisa berfungsi juga untuk mencegah infeksi baru HIV.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pengendalian HIV di Indonesia masih terkendala oleh sejumlah faktor, seperti minimnya penjangkauan orang dengan HIV, rendahnya cakupan pengobatan, dan stigma. Pendekatan keluarga dan komunitas perlu dioptimalkan untuk mengatasi hal tersebut.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Jawa Barat M Yudi Koharudin mengatakan, pencegahan HIV harus dilakukan dari hulu melalui pendekatan keluarga. Edukasi pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting diberikan kepada anak untuk memahami faktor risiko penularan HIV.
”Akan tetapi, hal itu belum banyak dilakukan karena masih dianggap tabu. Padahal, edukasi lewat keluarga sangat krusial karena berada pada lingkungan terdekat,” ujarnya, di Bandung, akhir pekan lalu.
Yudi menuturkan, pengoptimalan peran keluarga dapat juga dilakukan melalui tokoh agama, masyarakat, dan sekolah. Oleh sebab itu, pengendalian HIV tidak hanya bergantung pada dinas kesehatan.
”Sosialisasi hal ini terus kami lakukan untuk membentuk kesadaran di lingkungan keluarga. Selain itu, dinas pendidikan melalui sekolah-sekolah juga turut melakukannya,” ujarnya.
Ini karena faktor takut kena stigma. Orang dengan HIV cenderung tidak terbuka tanpa difasilitasi. Jadi, peran komunitas sangat penting.
Terkait pengobatan antiretroviral (ARV), Yudi menekankan pentingnya pendekatan komunitas. Sebab, meskipun ARV sudah disediakan di sejumlah rumah sakit di semua kabupaten/kota, belum semua orang dengan HIV tergerak untuk mengaksesnya.
Stigma menjadi salah satu penghambatnya. Oleh sebab itu, dorongan dari komunitas orang dengan HIV dan lembaga swadaya masyarakat pendamping sangat diperlukan.
Yudi mencontohkan, tidak semua orang dengan HIV di Kota Bandung mengakses pengobatan HIV di kota tersebut. Mereka justru mengakses fasilitas kesehatan di daerah lain, seperti Kabupaten Cianjur, karena malu diketahui orang terdekatnya.
”Ini karena faktor takut kena stigma. Orang dengan HIV cenderung tidak terbuka tanpa difasilitasi. Jadi, peran komunitas sangat penting,” ujarnya.
Yudi menambahkan, untuk memperluas cakupan pengobatan, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah LSM dalam menjangkau populasi kunci, seperti wanita pekerja seks, waria, lelaki seks dengan lelaki, dan pengguna napza suntik.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Rumah Cemara Raditya mengatakan, perluasan tes HIV terutama pada populasi kunci sangat penting. Bukan hanya untuk mengantisipasi penularan, melainkan juga agar ditindaklanjuti dengan pengobatan untuk mengendalikan penyakit ini.
Akan tetapi, sering sekali tes tidak maksimal karena stigma dan diskriminasi. ”Stigma terhadap orang dengan HIV masih sangat kuat. Ini salah satu faktor yang membuat takut mengikuti tes. Atau, setelah mengetahui positif (HIV), tidak dilanjutkan ke pengobatan karena malu membuka diri,” jelasnya.
Sebagai organisasi berbasis komunitas, Rumah Cemara mendampingi pengguna napza dan orang dengan HIV. Organisasi yang dibentuk pada 2003 ini berjuang menghapus stigma melalui advokasi, kampanye, dan program dukungan kepada komunitas rentan.
Raditya mengatakan, pihaknya fokus mengikis stigma itu dengan melibatkan orang dengan HIV dalam beragam kegiatan, seperti olahraga dan seni. Cara ini menjadi jalan bagi mereka keluar dari eksklusivitas dan berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya.
”Kuncinya membuka diri. Tunjukkan kontribusi terhadap lingkungan sekitar tanpa harus menggurui,” ucapnya.