Di tengah situasi pandemi Covid-19, akses orang dengan HIV/AIDS untuk mendapatkan layanan kesehatan menjadi terkendala. Agar layanan tidak terhenti, perlu ada modifikasi layanan dan protokol pengobatan.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar sumber daya kesehatan kini berfokus untuk menangani pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru. Akibatnya, sejumlah akses layanan kesehatan lainnya terhambat, termasuk layanan HIV/AIDS. Modifikasi layanan diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Anggota staf pengajar dari Departemen Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kemal N Siregar, mengatakan, potensi penularan HIV masih tinggi di Indonesia. Bahka, masih ada sekitar 40 persen kasus yang belum terdeteksi.
”Program layanan HIV/AIDS harus tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19. Upaya penemuan kasus, pelayanan tes HIV, dan layanan pengobatan justru harus lebih gencar lagi. Jika tidak target 90-90-90 dalam penanggulangan kasus HIV tidak akan tercapai,” tuturnya di Jakarta, Kamis (11/6/2020).
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia telah menargetkan 90-90-90 dalam penanggulangan HIV/AIDS. Itu artinya, 90 persen kasus HIV bisa terdeteksi, 90 persen dari kasus yang mengetahui statusnya dapat menjalani terapi, dan 90 peren dari kasus yang mendapatkan terapi bisa patuh mengonsumsi obat.
Namun, kodisi di Indonesia masih jauh dari target yang ditetapkan tersebut. Dari jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang diperkirakan 640.334 orang, baru 377.564 kasus yang ditemukan. Selain itu, dari kasus yang telah terdiagnosis, baru 72 persen yang mendapatkan terapi obat antiretroviral (ARV). Jumlah ODHA yang berobat secara rutin pun tercatat masih 47 persen dengan angka putus obat 21 persen.
Program layanan HIV/AIDS harus tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19. Upaya penemuan kasus, pelayanan tes HIV, dan layanan pengobatan justru harus lebih gencar lagi.
Karena itu, Kemal mengatakan, capaian layanan HIV/AIDS bisa menurun jika pelayanan terhenti akibat pandemi. Setidaknya ada tiga strategi utama yang perlu diperhatikan, yakni melindungi tenaga kesehatan dan pasien, menyediakan jaringan layanan HIV yang aman dan berkelanjutan, serta mengoptimalkan fungsi pemantauan di masyarakat.
Yanri Wijayanti, anggota Badan Eksekutif Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes) yang juga anggota staf pengajar Divisi Ilmu Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, menuturkan, situasi pandemi Covid-19 mendorong perlunya modifikasi dalam pelayanan HIV/AIDS. Ini termasuk dalam pemberian ARV yang tidak boleh terhenti pada ODHA.
”Salah satu caranya, bisa dilakukan dengan pemberian obat ARV untuk dua bulan selama stok aman. Dengan begitu, interaksi ODHA ke fasilitas layanan kesehatan bisa diminimalkan. Pasien pun diminta untuk melakukan pendaftaran secara daring maksimal satu hari sebelumnya untuk menghindari adanya penumpukan pasien di rumah sakit,” tuturnya.
Upaya modifikasi layanan HIV/AIDS juga telah berjalan di wilayah DKI Jakarta. Dari data yang dihimpun Dinas Kesehatan DKI Jakarta, layanan HIV/AIDS menurun secara signifikan. Untuk pemeriksaan HIV, terjadi penurunan dari 45.008 orang pada Januari 2020 menjadi 14.141 orang pada Mei 2020. Bahkan, jumlah ini jauh lebih kecil dari periode sebelumnya. Pada Mei 2019 terhitung pemeriksaan terkait HIV mencapai 34.242 orang.
”Penemuan kasus tidak optimal karena program VCT mobile (voluntary counselling and testing mobile/penjangkauan keliling) tidak berjalan selama masa pandemi. Notifikasi pasangan juga tidak optimal karena kunjungan pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan dibatasi. Rumah sakit rujukan untuk HIV pun kini menjadi RS rujukan Covid-19,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dwi Oktavia.
Meski demikian, akses ARV pada ODHA di DKI Jakarta cenderung stabil. Salah satu inovasi yang dilakukan melalui program Jak-anter. Program ini dilakukan dengan memberikan layanan pengiriman obat ARV dari fasilitas pelayanan kesehatan ke tempat tinggal pasien.
Hasil dari program ini cukup baik. Setidaknya sejak mulai dilakukan pada 1 April 2020, jumlah ODHA yang memanfatakan layanan ini terus meningkat, dari 237 ODHA pada 3 April 2020 menjadi 2.329 pada 9 Juni 2020. Melalui layanan ini diharapkan keberlanjutan terapi bisa dipastikan sekaligus mengurangi potensi penularan Covid-19.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, protokol layanan HIV/AIDS telah diterbitkan untuk memastikan layanan kesehatan tidak terhenti. Pandemi Covid-19 mengakibatkan akses layanan terhambat.
Selain jumlah petugas kesehatan yang terbatas karena lebih terfokus pada layanan Covid-19, ketakutan masyarakat untuk datang ke fasilitas pelayanan kesehatan juga menjadi kendala dalam pelayanan HIV/AIDS.
”Dalam protokol layanan HIV/AIDS telah diatur bahwa pelayanan ODHA tetap harus berjalan dengan menerapkan prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi. Pemberian persediaan obat ARV untuk masa dua sampai tiga bulan juga dapat dipertimbangkan bagi ODHA dengan keadaan stabil dengan prioritas ODHA yang tinggal di wilayah episentrum Covid-19,” ungkapnya.