Perlu Otoritas Khusus untuk Percepat Konektivitas di Papua
Presiden Jokowi telah memberi perhatian penuh bagi pembangunan di Papua, salah satunya akses transportasi. Namun, kebijakan ini dapat terwujud dengan baik apabila semua sektor proaktif untuk terlibat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Pemerintah pusat, terutama pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, dinilai memberikan perhatian penuh terhadap pembangunan di Papua dan Papua Barat, termasuk soal akses transportasi. Sayangnya, kebijakan akselerasi pembangunan transportasi belum sepenuhnya didukung para pemangku kepentingan. Muncul usulan pembentukan otoritas khusus untuk mempercepat akselerasi tersebut.
Usulan itu disampaikan pemerhati pembangunan Papua yang juga akademisi pada Universitas Cenderawasih Jayapura, Laus Deo Calvin Rumayom, dalam diskusi webinar yang digelar Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Vox Point Indonesia pada Selasa (27/7/2021). Webinar mengangkat tema ”Transportasi Ujung Tombak Pembangunan Papua”.
Pembicara lainnya dalam diskusi itu adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno, Bupati Pegunungan Bintang Spei Yan Bidana, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Papua Thomas Sondegau, dan Wakil Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia Moses Morin.
Laus, yang pernah bertugas di Kantor Staf Presiden itu, mengatakan, pemerintah pusat, terutama pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014 hingga saat ini), sangat memberikan perhatian yang besar bagi masyarakat di tanah Papua yang terdiri atas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Pada 2020, misalnya, Jokowi mempertegas komitmennya dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua dan Papua Barat. Konektivitas antardaerah menjadi salah satu kunci yang selalu ditekankan Presiden Jokowi.
Kementerian Perhubungan sebagai salah satu sektor telah mengoperasionalkan program tol laut di Papua. Saat ini, sejumlah wilayah terpencil di Papua sudah disinggahi kapal tol laut yang mengangkut penumpang dan barang.
Tujuan utama tol laut adalah mengangkut barang dari Pulau Jawa langsung ke Papua. Angkutan tol laut diberi subsidi oleh pemerintah dengan tujuan agar harga jual barang di Papua tidak lagi semahal dulu. Barang yang diangkut tol laut meliputi bahan pokok dan barang penting seperti bahan bangunan.
Dalam catatan Kompas, di sejumlah daerah, harga masih tetap tinggi akibat monopoli angkutan oleh pengusaha tertentu. Di sisi lain, pemerintah daerah setempat dan Kementerian Perdagangan tidak mengawasi harga jual barang tol laut. Tujuan tol laut pun tidak tercapai.
Kemudian, lanjut Laus, tidak semua wilayah di Papua disinggahi tol laut. Beberapa wilayah pedalaman pun belum tersambung dengan jalan darat. Di sini perlu peran pemerintah daerah dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk membuka akses.
Sementara itu, tantangan lain yang sering dialami adalah masalah keamanan sehingga diperlukan keterlibatan aparat keamanan, tokoh agama, pemerintah daerah, serta Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. ”Banyak sektor yang terlibat sehingga diperlukan otoritas khusus untuk pengendalian transportasi di Papua,” ucap Laus.
Untuk rute dari Jayapura ke Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang, butuh biaya sewa hingga Rp 51 juta.
Bupati Pegunungan Bintang Spei Yan Bidana menuturkan, wilayah Pegunungan Tengah Papua belum mendapatkan manfaat dari tol laut. Mereka juga masih kesulitan akses udara dan darat. Butuh biaya besar untuk sewa pesawat. Untuk rute dari Jayapura ke Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang, butuh biaya sewa hingga Rp 51 juta.
Ia berharap agar jalan darat dari Jayapura ke Pegunungan Bintang bisa tersambung. Saat ini, tersisa lebih kurang 197 kilometer lagi. Terlepas dari masih banyaknya infrastruktur yang masih harus dibangun, Spei mengapresiasi komitmen dan kerja keras pemerintah pusat bagi Papua.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Papua Thomas Sondegau menyinggung tentang pembangunan proyek infrastruktur di Papua yang lebih banyak menggunakan kontraktor dari luar Papua. Padahal, kontraktor dimaksud tidak memiliki alat kerja di Papua.
Kondisi itu menghambat jalannya pekerjaan di sana. Lebih dari itu, kehadiran proyek tidak memberdayakan pengusaha dan masyarakat lokal. ”Jadi, uang dari pusat tidak berputar di Papua, tetapi kembali lagi ke luar Papua,” ujarnya. Keluhan Thomas ini diperkuat oleh Wakil Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia Moses Morin.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada awal diskusi mengemukakan komitmen pemerintah pusat untuk membangun Papua. Budi mengajak semua pihak agar proaktif dalam mendorong kenektivitas. Secara khusus, Budi menyinggung pemerintah daerah. ”Memang kita belum lihat upaya pemda yang maksimal,” ujarnya.
Pengamat transportasi dari Djoko Setijowarno mengapresiasi kerja pemerintah dalam membangun tanah Papua. Ia menyebutkan sejumlah proyek infrastruktur di Papua, seperti jalan Trans-Papua yang mencapai 3.498 kilometer. Saat ini tinggal tersisa 827 kilometer yang perlu dibangun.