Orang dengan HIV tidak tinggal diam saat pandemi Covid-19. Lama lekat dengan stigma, mereka tetap ingin membantu sesama meski tidak semudah yang dibayangkan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat perang lama melawan HIV semakin berat. Namun, pada saat yang sama, solidaritas sesama orang dengan HIV terbangun. Sejumlah orang yang selama ini dirundung stigma HIV justru berada di garis terdepan mendampingi sesama orang dengan HIV yang kesulitan mengakses obat atau terpapar Covid-19.
Dua bulan terakhir, setiap Senin, Rabu, dan Sabtu, DS sibuk bolak-balik sejauh 40 kilometer dari rumahnya ke sebuah rumah sakit di Jawa Barat untuk mengambil obat antiretroviral (ARV) bagi orang dengan HIV, termasuk orang dengan HIV yang positif Covid-19.
”Setiap jadwal pengambilan obat, saya bisa mengantar sampai ke lima atau enam orang,” katanya, Jumat (23/7/2021). Sebelum lonjakan kasus Covid-19 seperti sekarang, orang dengan HIV langsung mengambil obat ke rumah sakit.
Mengendarai sepeda motor, ia sukarela mengirim ARV demi mengurangi potensi mereka yang HIV positif terpapar Covid-19. Apalagi, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat juga membatasi mobilitas warga.
Bahkan, kini, DS turut mengantar ARV kepada orang dengan HIV yang menjalani isolasi mandiri karena terkonfirmasi positif Covid-19. Setidaknya, ada dua orang dengan HIV yang terpapar Covid-19 di daerahnya. Obat itu biasanya ia kaitkan di pagar rumah mereka.
Sebenarnya, ia juga khawatir terjangkit Covid-19. Apalagi, ia belum mendapat vaksin Covid-19. Namun, ia tetap bersedia membantu teman-temannya sesama pengidap HIV. ”Lebih baik, teman-teman di rumah, minum obat. Saya yang bergerak,” katanya.
Dukungan
Sebagai orang dengan HIV, ia paham bahwa orang dengan HIV membutuhkan dukungan yang besar dari orang-orang terdekatnya. Tidak cuma dukungan untuk meminum obat ARV rutin, tetapi juga dukungan untuk menghadapi stigma dari masyarakat.
”Waktu tahu positif (HIV) 2016, saya rasa tidak ada masa depan lagi. Waktu seakan berhenti. Saya sama sekali tidak tahu apa itu HIV,” kenang pria berusia 34 tahun ini dengan suara parau.
Beruntung, teman-temannya tak henti menyemangati. Ia pun menceburkan diri dalam gerakan pendampingan bagi orang dengan HIV. ”Daripada saya kepikiran yang tidak-tidak, lebih baik saya bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.
DS belum siap mengungkap statusnya kepada masyarakat dan keluarganya. Ia tidak yakin lingkungan bisa menerimanya. Padahal, lanjutnya, yang seharusnya dijauhi adalah virusnya, bukan manusianya.
Entah sampai kapan ia menyembunyikan kegalauannya. Namun, ia tidak bakal berhenti mengantarkan obat untuk penyintas. ”Mungkin sampai Covid-19 berakhir. Saya juga berharap ARV tidak terlambat dan penyakit (Covid-19) ini ada obatnya,” katanya.
Transpuan
Berbagai stigma juga tidak menghentikan langkah Kenny Misnain, Ketua Umum Srikandi Panyawangan (SP), komunitas transpuan yang fokus pada pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Kuningan, Jabar, sejak 2013.
Kenny kecewa ketika wajah transpuan ditampilkan di media lekat dengan kriminalitas, nakal, dan patut disalahkan. Tidak jarang, orang-orang memandangnya sinis saat berada di jalan.
Anggapan buruk itu masih sulit dipatahkan meski ada imbauan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk menekan stigma itu. Di Kuningan, misalnya, Wakil Bupati Kuningan Ridho Suganda dalam peringatan Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2020 meminta masyarakat tidak memberikan stigma kepada orang dengan HIV.
”Sebagai manusia, mari menempatkan (orang dengan HIV) sebagai warga yang memiliki hak hidup dan bermasyarakat,” katanya.
Akan tetapi, Kenny tidak mau terus menggerutu. Dia masih ingin berperan, tidak peduli apa kata orang. Apalagi, pandemi ini membutuhkan peran semua pihak untuk meringankan beban sesama. Di usianya yang ke-51 tahun, ia juga ikut mengantarkan ARV kepada orang dengan HIV, termasuk yang terpapar Covid-19.
”Khawatir juga, sih. Yang penting enggak ketemu langsung. Kalau ada uang, saya juga beli vitamin,” kata Kenny yang telah divaksin Covid-19 lengkap.
Setidaknya ada 12 orang dengan HIV dan positif Covid-19 yang sempat ia kirimi obat. Tidak jarang ia menelepon mereka untuk menanyakan keadaannya dan mengajaknya bercanda. Kenny tidak ingin mereka stres.
Sebagai manusia, mari menempatkan (orang dengan HIV) sebagai warga yang memiliki hak hidup dan bermasyarakat.
Bersama komunitas SP, ia juga mendampingi dua transpuan HIV positif. Keduanya berhenti berobat karena masalah biaya. Jaminan kesehatan mereka menunggak meski sempat dibayarkan komunitas.
Meskipun ARV gratis, keduanya harus membayar pendaftaran dan cek laboratorium jika mengakses layanan kesehatan tanpa jaminan BPJS Kesehatan. ”Minimal sekali datang itu Rp 50.000. Ini belum termasuk transportasi,” ujarnya.
Ingat, yang menular itu perilaku seksual, bukan orientasi seksualnya.
Pihaknya telah mengusulkan kepada dinas kesehatan setempat agar pengambilan ARV bisa di puskesmas terdekat, tidak lagi harus ke RS. Ia juga berharap agar iuran BPJS Kesehatan kedua penyintas itu ditanggung pemda.
”Kami juga kesulitan menghubungi keduanya karena HP (ponsel)-nya sudah dijual,” ucapnya. Keduanya merupakan pedagang di Jakarta dan pekerja salon di Kuningan. Mereka termasuk 57 anggota SP yang terdampak pandemi Covid-19.
Bertahan hidup
Sebagian besar transpuan di Kuningan bekerja di salon dan penyelenggara acara pernikahan (wedding organizer). Sektor ini nyaris gulung tikar saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Mereka pun kebanyakan mengandalkan bantuan keluarga demi hidup sehari-hari.
”Alhamdulillah, sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah. Kami sudah kumpulin KTP (kartu tanda penduduk) teman-teman. Tetapi, enggak ada realisasi. Mungkin belum rezeki,” katanya diiringi senyum.
Padahal, SP berkontribusi besar dalam gerakan melawan HIV/AIDS. Sekitar 80 persen anggota SP rutin mengikuti tes HIV. Transpuan, pengguna napza suntik, pekerja seks, serta warga binaan lapas termasuk populasi kunci yang menjadi sasaran tes.
Memang, belum semua pasangan transpuan bersedia menjalani tes. Akan tetapi, ia terus mencoba meyakinkan mereka mengenai pentingnya mencegah infeksi HIV. ”Enam teman kami yang meninggal menjadi bukti nyata bahaya penyakit ini,” katanya.
Akan tetapi, ia mengingatkan, perang melawan HIV jadi tanggung jawab semua pihak. Apalagi, ada 473 kasus HIV/AIDS di Kuningan sejak 2013 hingga 2020. Menuding transpuan penyebar HIV adalah kesalahan besar.
”Ingat, yang menular itu perilaku seksual, bukan orientasi seksual,” ujarnya.
Lama ditekan stigma, orang dengan HIV kini menolong sesamanya. Tidak peduli penyakit yang dideritanya, mereka mau berguna untuk sesama.