Lemah-Kuat Strategi Daerah di Pantura Jabar Hadapi Gempuran Covid-19
Kota Cirebon disebut menjadi yang terbaik di Jawa Barat dalam memetakan tes dan pertumbuhan kasus. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar kasus baru benar-benar bisa ditekan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Di Jawa Barat bagian timur, Kota Cirebon masih unggul dalam penanganan Covid-19. Tidak hanya cakupan tes yang tinggi, pemerintah daerah berpenduduk lebih kurang 340.000 jiwa ini juga terbilang terbuka soal krisis. Namun, unggul di satu sisi, Kota Cirebon masih harus banyak belajar dari daerah tetangganya di pantura.
Ketika Presiden Joko Widodo mengklaim penurunan kasus Covid-19, Selasa (20/7/2021) malam, lonjakan kasus positif di Kota Cirebon malah mencapai 311 orang. Angka ini yang tertinggi sejak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, awal Juli lalu.
Alih-alih mengumumkan penyebaran Covid-19 terkendali, pemkot justru memaparkan fakta risiko virus tak kasat mata tersebut. Angka kepositifan (positivity rate), misalnya, dalam sepekan terakhir mencapai sekitar 79 persen. Bahkan, pekan sebelumnya menyentuh 82,5 persen.
”Artinya, di antara 10 orang yang dites, ada 8 orang berpotensi positif Covid-19,” kata Sekretaris Daerah Kota Cirebon Agus Mulyadi, saat menerima audiensi Aliansi Masyarakat Cirebon Melawan, Senin (19/7/2021). Pertemuan itu membahas protes warga terkait PPKM darurat.
Sebenarnya, lanjut Agus, cara menurunkan kasus Covid-19 gampang: kurangi tesnya. Namun, langkah itu malah memperburuk penanganan pandemi. Sebab, orang tidak menyadari dirinya tertular sehingga semakin memperluas gerak virus. Berkurang di atas kertas tapi merajelela menghancurkan kehidupan orang-orang tersayang.
Oleh karena itu, pihaknya mengetes hingga 800 orang per hari. Ini melebihi target tes 684 orang per hari. Kota Cirebon menjadi daerah dengan cakupan tes tertinggi di Jabar timur, mengungguli daerah tetangga seperti Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
Kota Cirebon juga satu-satunya daerah di Jabar yang memenuhi target tes selama 3-13 Juli. Bahkan, kota seluas 37 kilometer persegi itu menduduki peringkat ketujuh se-nasional untuk cakupan tes tertinggi.
Agus mengakui, berbagai pencapaian itu tidak menggambarkan penyebaran virus sebenarnya. Sebab, masih ada kasus yang belum tercatat.
”Ada keengganan masyarakat untuk tes Covid-19 karena takut dicovidkan,” ungkapnya.
Meski demikian, kendala itu bukan berarti tidak melakukan tes. Seperti yang diungkapkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, banyak daerah tidak membuka data tes atau bahkan tidak mengetes sesuai target agar kasus Covid-19 tidak melonjak. Harapannya, daerah itu disebut zona hijau dan dinilai sukses menjinakkan pandemi.
”Kita tidak akan melihat lagi dari (zona) merah, kuning, hijaunya berdasarkan kasus terkonfirmasi, tetapi positivity rate. Testingnya harus banyak,” kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Senin (5/7/2021).
Kota Cirebon termasuk daerah yang tidak ‘mempermainkan’ data tes. Sejak awal, data tersebut dibuka di https://covid19.cirebonkota.go.id/. Semua bisa mengaksesnya.
Indramayu dan Cirebon juga menampilkan data serupa di laman penanganan Covid-19 tapi Kuningan dan Majalengka hingga kini tidak membuka data tes hariannya. Rentan menimbulkan kebingungan, hal serupa terjadi di banyak daerah lainnya di Jabar.
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis bahkan terang-terangan mengungkapkan parahnya penyebaran virus korona baru di daerahnya. ”Pasien kesulitan cari obat, ruang isolasi, dan antre di rumah sakit. Bahkan, ada yang belum tertangani sudah meninggal,” ujarnya.
Hingga awal pekan ini, dari 510 tempat tidur isolasi Covid-19 di 11 rumah sakit di Kota Cirebon, okupansinya mencapai 78 persen atau terisi 396 unit. Ini lebih tinggi dibandingkan batas ideal keterisian ruang isolasi, yakni 60 persen.
Berbagai kondisi itu, lanjutnya, bisa diatasi antara lain melalui PPKM darurat. Namun, pembatasan mobilitas warga itu diprotes karena menghambat perekonomian warga. Bahkan, adu mulut antara warga dan petugas tidak terhindarkan.
Mohon maaf kalau masyarakat Cirebon merasa kecewa, tersakiti. Tapi, ini pil pahit untuk sembuh.
”Mohon maaf kalau masyarakat Cirebon merasa kecewa, tersakiti. Tapi, ini pil pahit untuk sembuh,” katanya.
Ungkapan itu ia sampaikan sepekan sebelum Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir meminta maaf atas penanganan Covid-19.
Azis mengakui kerap ditegur pemerintah provinsi dan pusat terkait pengendalian pandemi. ”Cirebon dulu dianggap ngeyel karena tidak sesuai aturan. Misalnya, pedagang harus tutup jam 6 sore, tapi saya izinkan sampai jam 8 malam,” ujarnya.
Akan tetapi, kompensasi itu tak lagi bisa ia berikan saat PPKM darurat. ”Saya lihat ada data yang tidak menguntungkan. Pasien kesulitan ruangan isolasi. Nakes (tenaga kesehatan) kewalahan. Mereka semua marah juga ke kami,” kata Azis, yang juga penyintas Covid-19.
Demi meringankan beban warga terdampak pandemi, pihaknya menyalurkan 6.525 paket sembako kepada 2.175 rumah tangga. Sebanyak 1.000 paket makanan juga diberikan kepada warga yang menjalani isolasi mandiri. Kota Cirebon menjadi daerah pertama di Jabar timur yang melakukan hal tersebut.
Belum sempurna
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kabupaten Cirebon Sartono berdalih, penanganan Covid-19 di Kota Cirebon lebih mudah karena penduduknya sedikit dan banyak rumah sakit. Sebagai perbandingan, penduduk kota hampir 7 kali lipat warga kabupaten.
Target tes harian Kabupaten Cirebon mencapai 4.728 orang. ”Tidak mungkin kami periksa sebanyak itu. Kami tidak menutupi kasus, tapi ini di luar kapasitas laboratorium kami yang hanya 1.500 per hari,” ungkap Sartono.
Apalagi, banyak nakes kewalahan dan terpapar Covid-19. Belum lagi, penolakan sejumlah warga menjalani tes. ”Mereka datang ketika merasa ada gejala. Padahal, tidak setiap hari puskesmas melakukan tes,” ujarnya.
Meskipun juara dalam tes, Kota Cirebon juga tidak sempurna menurunkan mobilitas warga yang tercatat hanya kurang dari 10 persen. Sebagai pusat perekonomian di Jabar, kota ini bisa dikunjungi hingga lebih dari 3 kali lipat jumlah penduduknya.
Dalam hal ini, Cirebon masih ”kalah” oleh Indramayu yang mampu menurunkan pergerakan warganya lebih dari 22 persen. Daerah berpenduduk 1,8 juta jiwa ini bahkan menduduki peringkat ketiga daerah yang paling besar menurunkan mobilitas penduduk selama PPKM darurat.
”Terima kasih atas partisipasi masyarakat Indramayu yang telah menunjukkan bahwa wong Dermayu bisa tertib, disiplin, dan mendukung kebijakan pemerintah,” kata Bupati Indramayu Nina Agustina. Meski demikian, ia meminta masyarakat tidak lengah sedikit pun.
Upaya daerah di Jabar timur dalam dalam mengendalikan Covid-19 patut diapresiasi. Ada yang lemah di satu sisi tetapi kuat di sektor lainnya.
Sayangnya, seperti kata Azis, belum ada kebijakan terpadu antardaerah. Padahal, warga Indramayu, misalnya, ada yang dirawat di Cirebon. Begitu pun sebaliknya. Mobilitas warga antardaerah juga terjadi.
Ingat, virus korona tidak punya waktu untuk bertanya darimana orang itu berasal. Dia akan menyerang semua orang yang lengah, tak peduli asal usulnya.