Masa PPKM mikro di Kota Kupang nyaris tak beda dengan kondisi sebelumnya. Pelanggaran aturan, terutama oleh banyak pelaku usaha, dibiarkan. PPKM mikro terasa semu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN/KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Empat pria duduk mengelilingi meja dengan jarak tempat duduk kurang dari dua jengkal tangan. Mereka melepas masker, mengobrol sambil tertawa terbahak-bahak di kafe di kawasan Pantai Lasiana, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (20/7/2021). Suasana senja itu seakan tidak sedang dalam masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM mikro pandemi Covid-19.
Di sudut lain kafe, pengunjung yang kebanyakan anak muda bergerombol menyeruput kopi, mengunyah kudapan, merokok, sambil terus mengobrol. Yang lain bernyanyi diiringi gitar. Tanpa masker, tanpa jarak aman minimal 2 meter sebagaimana protokol pencegahan penyebaran Covid-19.
Pengelola kafe sibuk melayani tamu, tak ambil pusing mengingatkan pengunjung. Mereka berburu waktu hingga pengunjung pergi setelah puas menikmati detik-detik tenggelamnya matahari dari pantai yang berjarak sekitar 8 kilometer dari pusat kota itu. Kurang dari tiga jam, mereka meraup rupiah.
Adi Fernando (30), pengunjung lain, kaget dengan suasana di Pantai Lasiana, ikon wisata pantai di Kota Kupang. Ia seperti tak percaya melihat orang-orang yang abai; pengunjung dan pengelola kafe. Seakan Kota Kupang tidak sedang dalam masa PPKM mikro. Seakan tidak sedang dalam pandemi Covid-19.
”Bukannya sekarang di Kupang lagi PPKM mikro? Mengapa mereka tidak patuh dengan protokol kesehatan? Mengapa ini dibiarkan? Mengapa tidak ada petugas yang berpatroli di lokasi wisata ramai seperti ini?” ujarnya terheran-heran. Sambil mengetatkan ikatan masker, ia pun pergi.
Padahal, Wali Kota Kupang Jefirston Riwu Kore lewat surat edaran Nomor 041/HK.443.1/VII/2021 mengumumkan diselenggarakannya PPKM mikro di Kota Kupang mulai 6 Juli hingga 21 Juli 2021. Salah satu poinnya adalah melarang rumah makan atau kafe untuk melayani tamu yang makan di tempat. Pesanan makanan wajib dibawa pulang.
Dari penelusuran Kompas, nyatanya tak hanya di pinggiran yang jauh dari pantauan petugas. Di area pusat Kota Kupang, beberapa kafe tetap beroperasi melayani pelanggan untuk makan atau minum di tempat. Lokasinya tidak jauh dari Kantor Gubernur NTT, di samping jalan umum yang biasa dilewati tim satuan tugas Covid-19 setempat.
”Bisa makan minum di sini, tidak apa-apa,” kata seorang pelayan kafe meyakinkan. Saat disinggung mengenai ancaman sanksi dari petugas pada saat PPKM mikro, pelayan tersebut dengan santai mengatakan, ”Mereka (petugas) tidak berani masuk ke sini. Tidak akan.”
Posisi duduk di kafe itu pun tidak diatur sesuai dengan protokol kesehatan. Ketika pengunjung berkerumun, tak ada teguran dari pengelola kafe. Mereka hanya menegur pengunjung yang melepas masker ketika sedang antre membayar di meja kasir.
Pelanggaran protokol kesehatan juga terjadi di lokasi vaksinasi massal yang digelar di halaman Kejaksaan Tinggi NTT dan Kampus Politeknik Kesehatan Negeri Kupang. Di dua lokasi itu, warga sudah mengantre sejak pukul 01.00 waktu setempat. Mereka berdesakan tanpa jarak aman.
Bahkan, di Politeknik Kesehatan Negeri Kupang, lebih dari 1.000 orang berebut masuk untuk mendapat vaksin yang kuotanya hanya untuk 250 orang. Mereka berdesakan, kemudian mendorong gerbang hingga roboh. PPKM mikro sama sekali tidak berlaku di lokasi yang berada di bawah kendali pemerintah.
Apalagi kondisi di Pasar Inpres Naikoten, yang berada jauh di bawah kontrol pemerintah. Jauh lebih parah. Hampir semua pedagang tidak mengenakan masker. Beberapa dari mereka yang mengenakan masker pun tidak menutupi mulut dan hidung. Masker ditarik hingga ke bawah dagu.
Tak ada petugas yang datang melakukan patroli. Setiap hari pasar dikunjungi hingga belasan ribu orang. Andai kata satu orang yang tanpa sadar terinfeksi Covid-19 masuk ke dalam, dia bisa menularkan virus ke banyak orang. Rantai penyebarannya lebih cepat.
Petugas hanya memasang imbauan menjaga protokol yang tidak lebih dari pajangan biasa tanpa makna. Pasar menjadi kawasan dengan tingkat pelanggaran protokol kesehatan paling tinggi. Idealnya, selama PPKM mikro, perlu dibangun pos polisi di sana. ”Sonde (tidak) ada petugas yang datang ke pasar,” ujar Tomi Riwu, pedagang sayur.
Memang, di beberapa titik di jalanan, petugas masih melakukan patroli di jalanan, tetapi sangat jarang. Di jalanan, banyak pengendara sepeda motor melaju tanpa helm dan tanpa masker. Pengendara agak tertib pada pagi hari karena banyak polisi lalu lintas mengatur arus kendaraan di beberapa ruas jalan. Terkesan mereka lebih takut kepada petugas ketimbang pada bahaya Covid-19.
Kepatuhan gereja
Sepanjang pelaksanaan PPKM mikro, gereja menjadi salah satu pihak yang patuh pada imbauan pemerintah. Semua gereja, baik Kristen Protestan maupun Katolik, tidak menggelar acara kebaktian setiap Minggu. Untuk gereja Katolik, layanan sakramen perkawinan, pembaptisan, dan komunio pertama otomatis dihentikan.
Untuk upacara pernikahan yang karena alasan tertentu tak bisa ditunda, itu dapat dilangsungkan dengan protokol ketat. Hanya keluarga inti yang hadir di dalam gereja. Selesai perayaan di gereja, pihak keluarga dilarang menggelar pesta.
Wakil Wali Kota Kupang Hermanus Man mengakui, masih banyak warga Kota Kupang yang bandel. Tidak menjalankan imbauan pemerintah dalam masa PPKM mikro. Kondisi itu menyebabkan jumlah kasus terus meningkat. Sehari sebelum diberlakukan PPKM mikro, jumlah kasus sebanyak 7.886 dengan kasus aktif 755 orang.
Selama 14 hari PPKM mikro, jumlah kasus meningkat signifikan, yakni 17,46 persen menjadi 9.263 kasus. Sementara untuk kasus aktif lebih mencengangkan, meningkat dari 755 orang menjadi 1.870 atau setara dengan 147,6 persen.
Kondisi pandemi kian mengkhawatirkan. Kasus terus naik dan membawa kematian, sisi kejiwaan masyarakat pun kian tertekan. Contohnya, MG (47), ibu rumah tangga di Kelurahan Liliba, mengalami depresi setelah tahu suaminya dinyatakan positif Covid-19. Ia dilarikan ke rumah sakit jiwa setempat.
Lurah Liliba Viktor Makoni mengatakan, MG mengalami tekanan lantaran kebingungan melakukan isolasi mandiri. Sejauh ini, banyak korban Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka kebingungan.
Beban kesehatan, beban ekonomi, dan beban pikiran kian mengimpit masyarakat. PPKM mikro dengan sejumlah aturan sepertinya belum memberikan efek yang berarti. PPKM mikro di Kota Kupang pun terasa semu.