Pelaku Perjalanan di NTT Menganggap Kewajiban Tes PCR Terlalu Membebani
Sejumlah warga Nusa Tenggara Timur yang melakukan perjalanan menilai kewajiban tes ”polymerase chain reaction” atau PCR sebagai syarat perjalanan sangat membebani masyarakat. Mereka menilai, hal itu sebaiknya ditiadakan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Masyarakat Nusa Tenggara Timur yang melakukan perjalanan ke luar daerah meminta kewajiban tes polymerase chain reaction atau PCR sebagai syarat perjalanan ditiadakan karena membebani warga. Ketentuan memperlihatkan surat tugas dinas dari lembaga tertentu juga merepotkan pelaku perjalanan.
Mary Angela Wawo (52), warga Kupang, di Kupang, Selasa (20/7/2021), mengatakan, dirinya sudah antre tiga hari di UPT Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas) NTT untuk mendapatkan kesempatan tes PCR. Setiap hari, Labkesmas NTT memeriksa 40-50 pelaku perjalanan dengan biaya Rp 700.000 per orang.
Wawo meminta kepada pemerintah agar kewajiban tes PCR sebagai syarat pelaku perjalanan di tengah pandemi ini dihentikan. ”Kami sudah susah, dibebani dengan aturan dan biaya tes PCR yang tinggi,” katanya. Dia berencana ke Surabaya untuk mendampingi anaknya yang kini menjalani isolasi mandiri di kamar kos.
Wawo telah mendapatkan hasil tes PCR dan dinyatakan negatif Covid-19. Akan tetapi, persyaratan itu belum meloloskan dirinya untuk naik pesawat ke Surabaya. Ia gagal berangkat karena di Bandara El Tari, Kupang, petugas validasi calon penumpang meminta surat tugas perjalanan dinas.
Jika bukan perjalanan dinas, calon penumpang wajib memiliki surat keterangan dari lurah atau kepala desa tempat tinggal. Jika tidak memiliki surat keterangan itu, pelaku perjalanan pun ditolak berangkat.
Wawo terpaksa menunda keberangkatan hari itu. Ia memutuskan berangkat keesokan hari setelah mengurus surat dari lurah. Tiketnya tidak hangus, tetapi dia harus menambah biaya Rp 500.000 lagi.
Kami sudah susah, dibebani dengan aturan dan biaya tes PCR yang tinggi.
Ia menilai persyaratan soal surat dinas atau surat dari lurah atau kepala desa itu belum pernah disosialisasikan kepada masyarakat. ”Saya baru tahu di bandara bahwa ada syarat itu lagi,” katanya. Selain itu, ia masih harus menunjukkan sertifikat vaksin, sertifikat Indonesia Health Alert Card (eHAC), dan KTP.
Pengalaman buruk juga dialami Markus Masan Tapo (41), warga Liliba, Kupang. Hasil tes PCR-nya dinyatakan positif, sementara ia sudah membeli tiket pesawat Kupang-Jakarta Rp 1,5 juta. ”Kerugian saya berlipat ganda, yakni biaya PCR di RS Siloam Rp 1,7 juta, ditambah tiket Rp 1,5 juta, sehingga total kerugian Rp 3,2 juta,” kata Tapo yang mengatakan ke Jakarta karena ada urusan mendesak.
Keluhan serupa tidak hanya menyangkut perjalanan antarprovinsi. Perjalanan laut, darat, dan udara antarkabupaten/kota di NTT pun dikeluhkan warga terkait persyaratan tes antigen Covid-19.
Magdalena Tuto (32), warga Lewoleba, Lembata, misalnya, menyebutkan, tarif tes antigen untuk perjalanan dengan feri ke Kupang adalah Rp 265.000 per orang, sementara Lewoleba-Larantuka Rp 100.000. Namun, warga dari Pulau Adonara, Flores Timur, saat naik feri di pulau itu menuju Kupang tidak menjalani tes antigen. Penerapan syarat perjalanan berbeda-beda di setiap kabupaten.
”Di dalam feri, petugas tidak memeriksa hasil tes antigen itu, juga begitu tiba di Dermaga Bolok di Kupang. Mereka hanya memeriksa tiket perjalanan senilai Rp 150.000 per penumpang yang dibeli di dermaga. Lalu apa manfaatnya tes antigen itu,” ucapnya.
Agus Tukan (46), warga kelahiran Flores Timur yang memiliki kartu tanda penduduk Kota Sorong, Papua Barat, sedang menjalani liburan sekolah bersama empat anak dan seorang istri di Kupang. Tukan beristri warga Sorong. Suami istri itu bersama dua anak mereka memiliki KTP Sorong, sementara dua anak yang lain memiliki kartu pelajar.
Mereka mengaku sulit mendapatkan kesempatan melakukan tes PCR di Kupang. Enam rumah sakit yang ditetapkan pemerintah berhak melakukan tes PCR telah didatangi, tetapi sulit mendapatkan kesempatan karena mereka beralasan sedang menangani pasien Covid-19.
Keenam rumah sakit yang didatangi Tukan adalah RSUD Prof Yohannes, RSU Bhayangkara, RST Wirasakti, RS Siloam, Laboratorium Prodia Kupang, dan UPT Labkesmas NTT. Selain dari keenam rumah sakit dan laboratorium ini, hasil pemeriksaan PCR dari laboratorium lain ditolak petugas validasi di Bandara Kupang.
Biaya pemeriksaan PCR itu berkisar Rp 700.000-Rp 1,7 juta per orang. Tarif paling murah di UPT Labkesmas NTT senilai Rp 700.000 per orang dan paling mahal di RS Siloam, yakni Rp 1,7 juta.
Di RS Siloam ada tiga kategori biaya. Tarif Rp 1,7 juta untuk pemeriksaan hari itu dan hasilnya dapat diketahui hari itu juga. Tarif Rp 1,2 juta untuk hasil pemeriksaan yang diambil keesokan hari, dan biaya Rp 900.000 per orang untuk hasil tiga hari kemudian.
Ia antre selama tiga hari di UPT Labkesmas NTT untuk mendapatkan hasil PCR itu. Warga NTT diaspora ini pun sudah berhasil lolos ke Surabaya dengan maskapai City Link.
Tukan yang berprofesi sebagai guru SMP itu mengatakan harus mengeluarkan biaya Rp 4,2 juta bagi enam anggota keluarga, belum lagi untuk tiket pesawat dari Kupang ke Sorong sebesar Rp 3 juta per tiket. ”Warga yang melakukan perjalanan pada masa PPKM itu benar-benar sangat mendesak,” ujarnya.
Masalah tidak sampai di situ. Begitu tiba di Bandara Kupang, petugas meminta surat tugas perjalanan dinas dari Dinas Pendidikan Sorong atau surat keterangan dari lurah ataupun kepala desa tempat Tukan berlibur. Untung ia sudah mendapat informasi dari teman sehingga semua kelengkapan perjalanan itu telah dipenuhi sebelum ke Bandara Kupang.
Juru bicara Satgas Covid-19 NTT, Marius Jelamu, mengatakan, persyaratan tes PCR bagi pelaku perjalanan antarprovinsi itu persyaratan nasional di masa PPKM darurat. Soal perbedaan biaya tes PCR, itu merupakan kewenangan setiap rumah sakit atau laboratorium yang memeriksa.