Titik Panas Mulai Bermunculan di Nusa Tenggara Timur
Sebaran titik panas (hot spot) mulai bermunculan di Nusa Tenggara Timur.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebaran titik panas (hot spot) mulai bermunculan di Nusa Tenggara Timur. Titik panas tersebut penanda awal adanya kebakaran. Tiga penyebab terjadi kebakaran di NTT.
Kepala Stasiun Metereologi El Tari Kupang Agung Sudiono Abadi di Kupang, Kamis (15/7/2021), mengatakan, berdasarkan analisis peta sebaran titik panas, hasil pantauan satelit Terra, Aqua, Suomi NPP, dan NOAA20 oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, terdapat empat sebaran titik panas di Nusa Tenggara Timur (NTT). Titik panas itu muncul pada Rabu (14/7/2021) pukul 15.00 Wita sampai dengan Kamis (15/7/2021) pukul 07.00 Wita.
Titik panas terdeteksi di Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Kecamatan Fatuleu di Kabupaten Kupang, Kecamatan Kota Komba di Manggarai Timur, dan Kecamatan Wolomeze Kabupaten Ngada. Setiap titik panas memiliki luasan 100 hektar.
”Titik panas ini sebagai indikator kebakaran hutan atau lahan, yang terdeteksi dari suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi, dibandingkan suhu di sekitarnya, berdasarkan ambang batas suhu tertentu, terpantau satelit,” kata Sudiono.
Data yang digunakan BMKG selama ini untuk mendeteksi titik panas adalah Terra dan Aqua karena resolusi spasialnya mencapai 1.000 meter. Akurasi dari dua satelit ini mendekati 100 persen.
Titik panas penanda kebakaran ditandai dengan adanya titik panas yang bergerombol. Kekeringan dan embusan angin kencang bisa juga menyebarkan titik panas. Jika ada titik panas yang berulang, dimungkinkan sedang terjadi kebakaran di wilayah itu.
Penyebab titik panas salah satunya pengaruh El nino yang menyebabkan kemarau panjang sehingga tanaman menjadi sangat kering. Pembukaan lahan pertanian atau perkebunan menjadi faktor lainnya. Biasanya warga untuk menghemat biaya, waktu, dan tenaga memilih membakar hutan sebagai cara paling murah untuk menghasilkan lahan yang bisa segera ditanami. Selain itu, penyebab kebakaran karena ketidaksengajaan seperti membuang puntung rokok atau menyisakan bara api seusai memasak di kebun.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumba, Umbu Manurara mengatakan, kebakaran hutan ini sudah berlangsung setiap tahun. Mestinya pemda memiliki strategi bagaimana menekan kebakaran itu. Tahun 2019, NTT memegang rekor dengan titik panas terbanyak dan kasus kebakaran terluas di Indonesia.
”NTT daerah kepulauan, dengan kondisi hutan sebagian besar didominasi padang savana. Tetapi terkesan pemerintah membiarkan kasus itu berlangsung setiap tahun dengan alasan, peternak mencari rumput segar, dan membuka lahan baru. Lalu membiarkan kebakaran berlangsung,” kata Manurara.
Kondisi hutan di NTT sudah sangat buruk setelah diterjang Badai Seroja, 3-5 April 2021. Pohon-pohon tumbang, longsor, dan terjadi lahan kritis di sebagian besar wilayah. Kerusakan hutan seperti ini seharusnya direhabilitasi kembali oleh pemerintah bersama masyarakat, bukan membiarkan hutan terbakar lagi.
Potensi kebakaran di kawasan itu masih tinggi karena kemarau masih berlangsung lima bulan lagi. Sejumlah sumber mata air hilang akibat kekeringan itu. ”BMKG bulan lalu menyebutkan ada 17 kabupaten di NTT sedang dilanda kekeringan ekstrem. Pemda tahu hal itu, tetapi diam saja,” kata Manurara.
Ia mengimbau warga agar membuang kebiasaan buruk selama ini, yakni kelalaian menggunakan api di dalam atau di sekitar hutan. Selalu siaga menjaga hutan dan lahan guna mengurangi dampak kebakaran dan jangan membuang puntung rokok di dalam semak atau ilalang kering. Dampak dari kebakaran hutan adalah masyarakat sendiri.