Satelit Mendeteksi 22 Titik Panas di NTT dalam Dua Pekan Terakhir
Satelit Terra dan Agua dan tiga satelit lain mendeteksi 22 titik panas dalam dua pekan terakhir. Titik panas terbanyak di Kabupaten Kupang akibat angin kencang, suhu panas, dan hutan savana kering.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Satelit Terra dan Agua dan tiga satelit lain mendeteksi 22 titik panas dalam dua pekan terakhir. Titik panas terbanyak di Kabupaten Kupang. Angin kencang, suhu panas, dan hutan savana kering berpengaruh terhadap penyebaran titik panas itu.
Luasan titik panas sesuai hasil tangkapan satelit 1 kilometer persegi atau 100 hektar. Kemunculan titik panas ini selalu terjadi setiap musim kemarau, bahkan NTT mencapai kasus kebakaran tertinggi nasional 2019, tetapi belum tampak keseriusan pemda menekan kasus ini.
Titik panas terakhir terpantau 1-2 Juli 2020 di Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka. Sebaran terbanyak di Kabupaten Kupang, antara lain di Kecamatan Fatuleu Barat dan Kecamatan Amfoang Timur. (Agung Sudiono)
Kepala Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) El Tari Kupang Agung Sudiono, di Kupang, Kamis (2/7/2020), mengatakan, hot spot atau titik panas yang dimaksud adalah area yang memiliki suhu permukaan relatif lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya berdasarkan ambang batas suhu tertentu yang dipantau satelit. Titik panas terpantau satelit saat iklim kering, dan tidak ada curah hujan.
Berdasarkan pantauan satelit Terra, Aqua, SNPP, NOAA-20, dan Landsat-8 terbaca Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional sejak 19 Juni sampai dengan 2 Juli 2020 ada sebanyak 22 titik hot spot.
”Titik panas terakhir terpantau pada 1-2 Juli 2020 di Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka. Sebaran terbanyak di Kabupaten Kupang, antara lain, di Kecamatan Fatuleu Barat dan Kecamatan Amfoang Timur,” kata Sudiono.
Sebaran hot spot kedua di Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Alor masing-masing tiga titik. Di Sumba Timur terdapat tiga lokasi di Kecamatan Pandawai. Sementara di Kabupaten Alor terdapat di Kecamatan Pembantu Pantar dengan dua titik dan Alor Barat Laut satu titik.
Luas sebaran satu titik hot spot mencapai 1 kilometer per segi atau 100 hektar. Dengan demikian, 22 titik sebaran hot spot ini sekitar 2.200 hektar. Bisa saja lebih dari itu, tetapi tertutup awan atau kabut sehingga tidak terpantau satelit.
Selalu terjadi
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia NTT Umbu Wulang mengatakan, titik panas ini tidak berbeda dengan titik kebakaran. Kasus ini selalu terjadi setiap musim kemarau tiba di NTT dan menjadi pemandangan rutin tahunan oleh para pengambil kebijakan.
Bahkan, pada 2019, NTT merupakan daerah yang luas kebakaran hutan mencapai 71.712 hektar dari total 135.749 hektar di Indonesia. Kondisi ini belum juga memantik kesadaran pejabat daerah untuk bertindak tegas menekan atau menghentikan kebakaran hutan.
Kebakaran itu terjadi pada musim kemarau, yang disertai angin kencang, sehingga api cepat menjalar mengikuti rumput padang savana yang ada. Api segera menghilang setelah rumput habis dilalap. Kebakaran itu tidak menyebabkan polusi udara seperti di provinsi lain.
Penyebab kebakaran, antara lain, kebiasaan berburu hewan, membakar untuk mendapatkan rumput hijau sebagai pakan ternak, sikap iseng, mendapatkan kayu bakar, dan membuka lahan pertanian baru. Hal-hal ini mestinya dengan gampang diatasi pemda dengan mengerahkan camat, ketua RT/RW, dan kepala desa untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak lagi membakar hutan.
Semisal pakan ternak disediakan oleh pemda, membuka lahan baru tidak perlu bakar hutan. Upaya lain ialah melarang masyarakat menggunakan kayu bakar untuk memasak, kecuali kompor minyak tanah, serta sosialisasi tentang fungsi hutan bagi lingkungan dan iklim secara keseluruhan.
”Jika perlu, pemda mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan membakar hutan dengan sanksi hukum bagi pelaku pembakaran,” ujar Umbu.
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora mengatakan, kebakaran hutan di Kecamatan Pandawai sampai lebih dari 300 hektar diduga karena masyarakat ingin mengusir belalang kembara di wilayah itu. Belalang tahun ini kembali menyerang Sumba Timur. Adapun asal muasal belalang dari Kecamatan Pandawai.
Selain itu, kebakaran itu juga terjadi karena setelah kebakaran, tumbuh rumput hijau. Ini sering dimanfaatkan peternak melepaskan ternak di hutan untuk mengonsumsi pakan itu. Memasuki musim kemarau, ternak kesulitan pakan. Bobot ternak sapi, kerbau, dan kuda merosot jauh dari 300 kg sampai 100 kg karena jarang mendapatkan asupan makanan yang memadai.
”Sudah ada sosialisasi di masyarakat soal fungsi hutan dan larangan membakar hutan, tetapi hal ini sulit dihindari. Tiba-tiba saja api muncul di satu lokasi tertentu, jauh dari pemukiman warga. Pelakunya pun tidak diketahui,” katanya.