Revisi Otsus Papua Dinilai Belum Mewakili Aspirasi Masyarakat
DPR Provinsi Papua menilai revisi 19 pasal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus belum mengatasi semua permasalahan di Papua. Banyak pasal yang diusulkan sama sekali tidak direvisi.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana aktivitas di Pasar Sanggeng, Manokwari, Papua Barat, Kamis (15/4/2021).
JAYAPURA, KOMPAS - Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat telah disahkan pada Kamis (15/7/2021). Dewan Perwakilan Rakyat Papua menyatakan revisi tersebut sama sekali belum mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
Ketua Panitia Khusus Otonomi Khusus (Otsus) Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Thomas Sondegau, saat ditemui di Jayapura pada Kamis, mengatakan, revisi 19 pasal belum sesuai dengan harapan masyarakat Papua. Sebab, banyak pasal yang belum dievaluasi pemerintah pusat dan DPR.
Adapun usulan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua yakni revisi 50 persen dari total 79 pasal di UU Otsus. Salah satu pasal yang dinilai belum direvisi adalah bupati dan wakil bupati serta pimpinan legislatif di setiap kabupaten dan kota haruslah orang asli Papua.
"Pasal lainnya yang belum direvisi dalam Undang-Undang Otsus adalah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat untuk mengelola sumber daya alamnya," kata Thomas.
Thomas menegaskan, DPR Papua merasa khawatir revisi Undang-Undang Otsus yang tidak sesuai harapan dapat memicu masalah di tengah masyarakat. Sebab, masyarakat berharap adanya perubahan dari revisi Undang-Undang Otsus yang diusulkan DPR Papua.
"Jangan menyalahkan kami dan pemda setempat apabila terjadi aksi penolakan yang berujung konflik di tengah masyarakat. Sebab, kami telah menyampaikan aspirasi mereka dalam pembahasan revisi regulasi tersebut," tutur Thomas.
Sementara itu, Asisten II Pemerintah Provinsi Papua Muhammad Musaad mengaku, pihaknya menerima revisi 19 pasal meskipun dinilai belum optimal untuk membawa perubahan besar bagi masyarakat Papua. Dalam revisi ini, lanjut Musaad, belum terlihat kebijakan memberikan wewenang bagi pemda di Papua untuk mengelola sumber daya alam miliknya.
Ia mengaku, dengan revisi 19 pasal ini, cukup membawa perubahan bagi Undang-Undang Otsus di tanah Papua. Salah satu perubahan adalah adanya pengangkatan anggota DPR di tingkat kabupaten dan kota dari jalur tokoh-tokoh adat setempat.
KOMPAS/FABIO COSTA
Asisten II Pemprov Papua Muhammad Musaad
"Adanya revisi 19 pasal di Undang-Undang Otsus berkat kontribusi Forum MPR RI For Papua. Forum ini terdiri dari anggota DPR serta DPD yang berasal dari Papua dan Papua Barat," ucap Musaad.
Diketahui DPR telah mengesahkan revisi 19 pasal di Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Revisi terdiri dari tiga pasal usulan pemerintah, yakni Pasal 1, Pasal 34, dan Pasal 76, serta 16 pasal lain di luar usulan pemerintah.
Terkait dana otsus yang sebelumnya sebesar 2 persen, kini menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum. Namun. tidak semuanya berbentuk block grant atau dana hibah seperti di UU Nomor 21/2001, tetapi dibagi menjadi dua bagian, yakni 1 persen block grant dan 1,25 persen specific grant.
Dana otsus sebesar 1 persen itu digunakan untuk pembangunan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pelayanan publik yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua (OAP), penguatan lembaga adat, dan hal-hal lain sesuai prioritas daerah.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun (kiri) memimpin rapat kerja Panitia Khusus revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Sedangkan dana otsus 1,25 persen digunakan untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dari dana 1,15 persen ini, pemda diwajibkan mengalokasikan dana sekurang-kurangnya sebesar 30 persen untuk pendidikan dan 20 persen untuk kesehatan.
Adapun aturan terkait pemekaran di Pasal 76, harus berdasarkan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Revisi juga mengatur tentang pembentukan suatu badan khusus dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan otsus serta pembangunan di wilayah Papua. Badan tersebut bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden serta didukung oleh lembaga kesekretariatan yang berkantor di Papua.
Aturan terkait pengisian jabatan wakil gubernur yang berhalangan tetap, yang dahulu tidak diisi hingga masa jabatan berakhir, kini bisa diisi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Demikian pula penerimaan dalam rangka otsus dari bagi hasil sumber daya alam pertambangan, minyak bumi, dan gas alam yang seharusnya akan berakhir tahun 2026 diperpanjang sampai tahun 2041.
KOMPAS/NINA SUSILO
DPRD kota/kabupaten dari Provinsi Papua dan Papua Barat bertemu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Selasa (24/9/2019).
Selain itu, revisi juga memberikan politik afirmasi kepada OAP dalam hal pengisian jabatan di legislatif. Rekutmen oleh parpol dilakukan dengan memprioritaskan OAP dan dapat meminta pertimbangan dan atau konsultasi kepada MRP. Sementara, dalam pengisian anggota DPRP, tidak boleh berasal dari unsur parpol dan wajib sekurang-kurangnya 30 persen dari unsur perempuan.
Adapun pengawasan terhadap pengelolaan penerimaan dalam rangka otsus dilakukan secara terkoordinasi oleh kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian, pemerintah daerah, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan perguruan tinggi negeri.
Masih kondusif
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri menyatakan, situasi keamanan pada Kamis masih kondusif dari hasil pantauan di 28 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Papua. Tidak ada aksi massa yang menolak revisi Undang-Undang Otsus.
Sebelumnya, aparat kepolisian membubarkan aksi massa yang menggelar unjuk rasa penolakan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus di Jayapura pada Rabu (13/7). Sebanyak 23 mahasiswa sempat ditangkap pihak berwajib.
KOMPAS/HUMAS POLRESTA JAYAPURA
Aparat mengimbau massa untuk menghentikan unjuk rasa penolakan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua di Jayapura, Rabu (14/7/2021).
Mathius menegaskan, pihaknya melarang keras dan tidak akan memberikan izin atas segala unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19. Saat ini, penambahan kasus positif Covid-19 di Papua mencapai rata-rata 244 orang per hari.
"Aksi unjuk rasa di fasilitas publik dapat memicu terjadinya penyebaran Covid-19 secara masif. Lebih baik masyarakat menyampaikan aspirasinya secara daring daripada aksi unjuk rasa yang melanggar protokol kesehatan," kata Mathius.
Ia menambahkan, seluruh jajaran kepolisian di tiga daerah yang rawan serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) telah diinstruksikan untuk meningkatkan kewaspadaan dan patroli di permukiman warga. Ketiga daerah ini adalah Nduga, Puncak, dan Intan Jaya.
Dari catatan Kompas dan data Polda Papua, sejak Januari hingga Juli 2021, KKB telah melakukan 24 serangan di Intan Jaya, Yahukimo, Nduga, Pegunungan Bintang, dan Puncak. Akibat aksi KKB, sembilan aparat keamanan dan 11 warga sipil meninggal. Selain itu, 16 aparat keamanan dan tiga warga terluka karena terkena tembakan.