Langgar Prokes, Demo Penolakan Revisi Otsus Papua Dibubarkan
Massa di Jayapura menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi 19 pasal Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 untuk Papua dan Papua Barat. Polisi menangkap 23 orang dalam aksi ini karena melanggar protokol kesehatan.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·2 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Unjuk rasa penolakan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 di Jayapura, Rabu (14/7/2021), dibubarkan polisi karena tidak berizin dan melanggar protokol kesehatan. Polisi menangkap 23 peserta aksi.
Massa menggelar aksi di dua lokasi milik Universitas Cenderawasih. Aksi dimulai sekitar pukul 08.00 WIT. Namun, unjuk rasa dibubarkan polisi sekitar pukul 10.00 WIT.
Kepala Polresta Jayapura Komisaris Besar Gustav Urbinas mengatakan, aksi itu tidak berizin. Selain itu, dilakukan di zona merah Covid-19 yang tengah menjalani pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, unjuk rasa ini menyalahi protokol kesehatan.
Gustav menuturkan, aparat sudah membujuk massa menghentikan aksinya. Namun, mereka justru melempar batu ke arah aparat. Akibatnya, 23 orang, termasuk koordinator aksi, ditangkap. Semuanya dibawa dan diperiksa di Markas Polresta Jayapura.
Menanggapi aksi ini, Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal (Pol) Mathius Fakhiri mengatakan, ada aktor-aktor intelektual di balik aksi ini. ”Kami sudah mengetahui oknum-oknum di balik aksi tersebut. Kami akan memanggil mereka untuk diperiksa,” ujar Mathius.
Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua Emanuel Gobay mengatakan, akan menjadi kuasa hukum bagi 23 mahasiswa yang ditahan Polresta Jayapura akibat aksi itu.
Ia menyatakan, tindakan polisi melanggar kebebasan berpendapat menyampaikan pendapat di muka umum secara damai. Hal itu diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar RI 1945.
”Lima orang terluka-luka akibat aksi represif aparat Polresta Jayapura. Padahal, 23 mahasiswa ini menyampaikan pendapatnya secara damai,” kata Emanuel, juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua.
Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, yang juga Wakil Ketua Panitia Khusus Otsus Papua, Yan Mandenas, mengatakan, agenda perubahan UU itu adalah bagian dari kolaborasi pemerintah, DPR, serta DPRP Papua.
Sejak pansus dibentuk, lanjut Yan, pihaknya telah berkonsultasi dengan beragam pihak di Papua dan Papua Barat. Tujuannya, menampung aspirasi seluruh elemen masyarakat.
”Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri, awalnya hanya akan merevisi tiga pasal. Namun, berdasarkan masukan dan pendapat dari pansus, pemerintah menetapkan perubahan terhadap 19 pasal. Tiga pasal usulan pemerintah dan 16 pasal di luar usulan pemerintah,” paparnya.