Menjaga Kawasan Adat di Sekeliling Toba
Kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan Surat Keputusan tentang Penyelesaian Permasalahan di Lingkungan Danau Toba, memunculkan harapan pada penyelesaian konflik lahan.
Rabu (27/7/2021), ratusan petani dan anggota komunitas adat berdemo di kantor DPRD Tapanuli Utara. Demo merupakan puncak-puncak gunung es konflik tanah adat yang tumpang tindih dengan konsesi perusahaan swasta selama bertahun-tahun.
Selain ke kantor DPRD, massa juga berdemo di Kantor Bupati Tapanuli Utara dan Kantor Pusat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), gereja sebagian besar warga di Toba. Warga bahkan membuat aksi teatrikal yang menggambarkan mereka kesulitan mendapatkan rumput makanan kerbau, berkurangnya sumber air minum, dan habisnya hutan alam karena tergusur hutan tanaman industri.
Perwujudan reforma agraria sejati dan pengembalikan tanah-tanah adat kepada masyarakat menjadi salah satu tuntutan warga berdemonstrasi.
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak melaporkan setidaknya ada empat jenis konflik lahan yang terjadi di Toba, yakni tumpang tindih lahan adat dengan kawasan konsesi perusahaan, hutan negara, proyek pariwisata prioritas, dan proyek lumbung pangan.
Hingga Juni 2021, terdapat 20 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 20 huta (kampung) di empat kabupaten kawasan Danau Toba, yakni Humbang Hasundutan, Toba, Tapanuli Utara, dan Simalungun yang berkonflik dengan perusahaan. Total lahan yang berkonflik mencapai 20.754 hektar.
Selain itu, ada tujuh komunitas masyarakat adat lainnya dari Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba, dan Kabupaten Samosir, yang tumpang tindih dengan dengan kawasan hutan negara. Sebagian besar tanah adat ke tujuh komunitas ini, mulai dari perkampungan, persawahan, perladangan, tempat penggembalaan ternak dan pemakaman, masuk dalam kawasan hutan. Diperkirakan lebih dari 3.447 hektar lahan yang tumpang tindih.
Selain itu, konflik lahan di sektor pariwisata akibat proyek destinasi superpremium Danau Toba mencapai 833 hektar dan konflik lahan akibat pengembangan program lumbung pangan (food estate) di Humbang Hasundutan mencapai 3.015 hektar.
Puluhan orang telah menjadi korban konflik yang terjadi. Sejak 2013, KSPPM dan Aman Tano Batak mencatat sedikitnya 50 warga di Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir, dan Simalungun harus berhadapan dengan hukum akibat mempertahankan tanahnya.
Namun, di lapangan konflik yang terjadi diyakini lebih banyak karena banyak pula keluarga yang tidak terdata di KSPPM ataupun AMAN Tano Batak.
Baca juga : Pendidikan Tanggap Bencana di Kawasan Danau Toba
Konflik muncul karena kepemilikan tanah di pantai Barat Sumatera Utara yang sekarang merupakan bagian dari Kabupaten Toba, Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Simalungun, hingga Tapanuli Tengah adalah kepemilikan komunal berdasarkan kepercayaan. Hal itu membuat tumpang tindih lahan pun kerap terjadi.
Teritori
Dalam tradisi agraris Batak Toba, marga identik dengan teritori. Nainggolan, misalnya, adalah sebuah kecamatan di Pulau Samosir, Sihotang adalah sebuah wilayah di dataran Sumatera bagian Kabupaten Samosir, Silalahi adalah nama kawasan di Humbang Hasundutan.
Awalnya, hanya ada dua marga besar di tanah Batak, yakni Lontung dan Sumba, anak Si Raja Batak. Penggalian arkeologi Balai Arkeologi Medan di Sianjur Mula-Mula, tempat pertama yang diyakini sebagai permukiman Si Raja Batak menunjukkan kawasan itu sudah dihuni sekitar 1.000 tahun lalu.
Marga-marga menyebar bermigrasi membangun huta-huta (kampung) baru dan beranak pinak. Sebanyak 325 marga terbentuk di Toba pada abad ke-19 seperti ditulis Sitor Situmorang dalam buku Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX.
Marga pembuka kampung akan mencari lahan yang datar untuk permukiman. Permukiman berupa kumpulan rumah menghadap halaman besar yang dikelilingi tembok batu atau tanah yang di atasnya ditanami pohon bambu berduri.
Di luar perkampungan, kawasan ditata untuk mendukung kehidupan warganya, yakni lahan persawahan, kawasan penggembalaan ternak, tombak/hutan tanaman keras yang bisa diambil hasilnya termasuk tanaman khas Sumatera kemenyan dan kayu bakar.
Selain itu ada harangan/hutan belantara tempat sumber air berhulu dan tempat mengambil kayu untuk membangun rumah. Seluruh kawasan itu menjadi milik komunal penghuni kampung.
Huta sebagai satuan permukiman masyarakat Batak merupakan suatu unit genealogis dan teritori. (Bungaran Antonius Simanjuntak)
Kumpulan huta membentuk horja, sebuah kesatuan komunal berdasarkan teritori. Sekumpulan horja membentuk bius, kawasan yang mengelola sistem pengairan yang sama dalam sebuah daerah otonom.
Sebelum masuk misionaris zending (1864) dan sebelum dikuasai Belanda (1878), Sitor mengatakan, Toba sudah terbagi dalam 150 bius yang mengakui kepemimpinan spiritual Sisingamangaraja. Pemerintahan bius memudar saat Sisingamangaraja XII dikalahkan.
Belanda mengganti sistem pemerintahan dengan kenagarian, gabungan beberapa bius dan membentuk karesidenan. Di masa pemerintahan Indonesia, pola itu dihapus menjadi desa, kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Namun, hukum kepemilikan tanah tetap berjalan secara tradisional berdasarkan kesepakatan bersama tanpa bukti kepemilikan tertulis.
Setidaknya ada empat kategori kepemilikan tanah di Toba, yakni tanah parjolo atau tanah marga, tanah adat atau tanah beberapa marga yang tinggal di satu kawasan, tanah oppu atau tanah kakek buyut, tanah opung atau tanah warisan yang bisa menjadi hak pribadi yang bisa disertifikatkan.
Kepemilikan lahan komunal biasanya ditandai dengan tugu-tugu marga, bentuk modern dari hariara atau pohon sebagai penanda kawasan.
”Huta sebagai satuan permukiman masyarakat Batak merupakan suatu unit genealogis dan teritori,” kata Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Medan Bungaran Antonius Simanjuntak dalam buku Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun. Oleh karena itu, pengalihan tanah-tanah milik keluarga merupakan tanggung jawab bersama seluruh keluarga.
Maka, ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengeluarkan SK.352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tentang Penyelesaian Permasalahan Hutan Adat dan Pencemaran Limbah Industri di Lingkungan Danau Toba, muncul harapan akan penyelesaian tanah adat.
Di dalam SK juga dicantumkan daftar hutan adat di lingkungan Danau Toba untuk penyelesaian. Total ada 22 titik di Kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, dan Samosir seluas 25.727 hektar. Sebanyak 10.384 hektar di antaranya di dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sisanya adalah kawasan yang berkonflik dengan lembaga lain.
Ketua AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah Menteri Siti Nurbaya yang serius menyelesaikan konflik dengan menerbitkan SK No 352/2021 itu. Pihaknya berharap tim bekerja independen melihat persoalan yang telah berlangsung selama 30 tahun.
Roganda mengatakan, data yang ada dalam SK memang data lama yang mereka ajukan. ”Kami berharap tim bisa mengakomodasi data terbaru yang ada pada kami,” kata Roganda.
Terkait terbitnya SK pihak PT TPL belum memberikan keterangan. Manajer Komunikasi Perusahaan PT TPL Norma Hutajulu belum membalas pesan yang dikirimkan Kompas akhir pekan lalu. Dalam beberapa kesempatan, pihak perusahaan menyatakan menjalankan pekerjaan sesuai wilayah konsesi. Mereka menyesalkan konflik masih yang terjadi sampai saat ini.
Baca juga : Tim Penyelesaian Konflik di Danau Toba Dibentuk
Konflik kepemilikan lahan masyarakat adat bukan cerita baru. Di tengah pola-pola komunikasi para pihak yang masih terus diperbaiki, mengurai masalah kepemilikan lahan masyarakat adat masih menyedot energi besar. Namun, mengurai kekusutan persoalan lahan di Toba bukanlah tidak mungkin dilakukan. Demi kesejahteraan bersama, sepatutnya inisiatif baik yang sudah ada terus dilanjutkan sebelum para pihak penentu kebijakan berganti, yang bisa menjadi masalah baru. Semoga.