Mobilitas Warga di Magelang Diawasi hingga Jalan-jalan Tikus
Pengawasan mobilitas warga akan semakin diperketat hingga ke jalan-jalan tikus. Upaya ini dilakukan demi mencegah terjadinya aksi nongkrong dan berkerumun yang masih sering dilakukan warga.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pengawasan terhadap pergerakan masyarakat di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, akan semakin diintensifkan. Tidak hanya ruas jalan utama, pemantauan dan pengendalian akan dilakukan hingga ke ruas-ruas jalan pintas atau jalan tikus.
”Upaya pengawasan, pembatasan, hingga ke jalan-jalan tikus ini diharapkan nantinya bisa menghentikan atau setidaknya menekan aktivitas warga saat ini masih sering berkumpul dan berkerumun di berbagai lokasi,” ujar Sekretaris Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Magelang, Margono, Rabu (7/7/2021).
Saat ini terpantau sedikitnya ada tujuh ruas jalan tikus yang tersebar di sejumlah kecamatan, seperti Kecamatan Borobudur, Muntilan, Salam, dan Mertoyudan. Di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, restoran dan kafe tidak lagi bisa menjadi tempat bertemu atau berkumpul warga karena dua tempat tersebut hanya melayani pembelian untuk dibawa pulang dan beroperasi dalam durasi waktu sangat terbatas.
Kendati demikian, banyak warga tetap berupaya mencari-cari tempat untuk berkumpul. Di Kecamatan Borobudur, misalnya, tempat yang sering kali dituju sebagai lokasi berkerumun atau nongkrong adalah jalan utama menuju Taman Wisata Candi Borobudur, yang kini sudah dihiasi dengan tambahan lampu penerang jalan.
Selama masa PPKM darurat, terhitung sejak 3 Juli hingga Rabu (7/7/2021), Satpol PP Kabupaten Magelang mendata sudah terjadi sebanyak 246 pelanggaran protokol kesehatan dan sebagian besar pelanggaran dalam bentuk aksi berkerumun. Adapun kerumunan tersebut masih terjadi di pasar-pasar tradisional, sekitar pertokoan, di area publik seperti taman kota dan tepi jalan, di fasilitas olahraga, di lokasi hajatan, dan di destinasi wisata.
”Dalam pantauan kami, saat berkerumun, banyak warga tidak memakai masker,” ujar Kepala Seksi Pembinaan dan Pengawasan Penegakan Peraturan Perundang-undangan Daerah Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Magelang Bambang Setiawan.
Selain dilakukan atas inisiatif warga sendiri, menurut dia, kerumunan juga sering kali dipicu perilaku dari pengelola kafe atau rumah makan yang membandel dan masih memberi kesempatan pelanggan untuk makan di tempat.
Selain kerumunan, banyak pelanggaran lainnya dilakukan batasan pukul 20.00. Selain restoran, pelanggaran ini banyak dilakukan oleh pelaku usaha warung kaki lima, yang baru saja mulai berjualan pada sore hari.
”Mereka keberatan karena merasa batasan jam operasional yang diberikan dinilai terlalu singkat,” ujarnya.
Bambang mengatakan, pihaknya memang tidak secara khusus menerapkan sanksi untuk setiap pelanggaran. Namun, untuk pelanggaran yang dilakukan oleh usaha kuliner yang masih membuka layanan makan di tempat, misalnya, Satpol PP akan langsung bertindak tegas dengan membalikkan meja dan kursi.
Ketua Forum Rembug Kluster Pariwisata Borobudur Kirno Prasojo mengatakan, ketentuan perihal jam operasional tersebut makin memberatkan warga karena usaha kuliner sebenarnya menjadi sektor yang juga diterjuni pelaku wisata.
”Karena destinasi wisata harus ditutup, maka saat ini banyak pelaku wisata membuka usaha ataupun bekerja di usaha kuliner milik orang lain. Namun, karena jam operasional dibatasi, maka keuntungan pun tidak optimal dan banyak usaha justru tutup,” ujarnya.