Metode ”Gargle”, Alternatif bagi yang Tak Nyaman Tes Usap
Metode itu menjadi alternatif tes usap nasofaring-orofaring (hidung-tenggorokan) yang merupakan standar utama pengujian PCR. Pengambilan sampel dengan metode ini akan mempermudah tes PCR bagi anak-anak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Di tengah lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, muncul harapan perluasan cakupan tes reaksi berantai polimerase atau PCR. Pengambilan spesimen tes PCR boleh jadi tak akan lagi bergantung tes usap lewat hidung dan tenggorokan. Metode kumur di rongga tenggorokan atau gargle menjadi alternatif lebih nyaman.
Metode itu bisa dilakukan dengan Bio Saliva, yakni produk dikembangkan perusahaan rintisan bioteknologi, Nusantics bekerja sama dengan PT Biofarma. Kerja sama juga dilakukan dengan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro, Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) dan RSUP Dr Kariadi Semarang, Jawa Tengah. Kedua RS itu menjadi tempat uji validasi.
Bio Saliva merupakan alat pengambilan spesimen air liur dengan metode gargle atau berkumur di rongga tenggorokan. Dengan metode itu, pengambilan sampel tak perlu dengan tes usap nasofaring-orofaring (hidung dan tenggorokan), yang merupakan standar utama atau gold standard untuk pengujian PCR.
”Sampel gargle saliva diambil, diekstraksi RNA virusnya, kemudian diproses PCR di laboratorium seperti biasa. Jadi, hanya beda pada (metode) pengambilan sampel,” ujar dokter spesialis mikrobiologi klinik yang juga penanggung jawab penelitian dari Fakultas Kedokteran Undip, Rebriarina Hapsari, Senin (5/7/2021).
Rebriarina menuturkan, metode tersebut diteliti sebagai alternatif tes usap nasofaring-orofaring yang cukup invasif dan dirasa kurang nyaman. Pada sejumlah orang, tes usap sulit dilakukan, salah satunya karena ada sumbatan pada hidung. Begitu juga pada sejumlah anak yang kesulitan saat dites usap.
”Untuk sampel anak-anak yang tidak kooperatif (saat dites usap), kami selalu minta bantuan orangtua dan asisten untuk memegang kepala, lengan, dan atau tungkai. Jika swab tidak dilakukan secara optimal, hasil pun tidak optimal (garbage-in garbage-out). Akan sia-sia. Maka, sebagai alternatif bisa digunakan gargle saliva,” katanya.
Dari pengujian, dengan membandingkan dengan tes usap nasofaring dan orofaring, performa diagnostik Bio Saliva menunjukkan hasil memuaskan. ”Dari RSND sudah selesai dan performanya sangat baik. Kurang lebih sebanding dengan swab nasofaring,” kata Rebriarina.
Dokter spesialis patologi klinik, yang menjadi penanggung jawab penelitian dari RSND, Meita Hendrianingtyas, menuturkan, penelitian itu dilakukan dalam dua tahap, sejak Oktober 2020. Tahap pertama, yakni pengambilan spesimen dari saliva atau air liur secara pasif, seperti cukup dengan meludah. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Setelah itu dilanjutkan tahap II dengan gargle, yang hasilnya ternyata memuaskan.
”Untuk gargle, di RSND (RS Nasional Diponegoro) ada lebih kurang 150 sampel (yang diuji coba), tetapi itu belum ditambahkan dari sampel dari RSDK (RS Dr Kariadi),” lanjut Meita. Kendati menunjukkan hasil baik, ia belum bisa merilis data hasil pengujian secara rinci.
Tata cara
Co-Founder sekaligus Chief Technology Officer (CTO) Nusantics, Revata Utama, saat dihubungi, Senin, menuturkan, pengambilan sampel gargle dengan Bio Saliva dapat dilakukan dengan mudah. Pertama, pastikan pengguna tidak makan atau minum selama 1 jam sebelumnya. Kemudian, tarik napas panjang dan diulang 5 kali, disusul batuk-batuk (mengenakan masker) dengan diulang sebanyak 6 kali.
Setelah itu, buka tabung berwarna biru dan masukkan cairan gargle yang ada di dalamnya ke mulut. Kumur-kumur hingga rongga tenggorokan dan diulang selama 3 kali. Lalu, masukkan cairan dari mulut ke tabung biru dengan menggunakan corong. Juga, tambahkan cairan collection buffer yang ada di tabung merah. Tutup, kemudian kocok-kocok. Selanjutnya, serahkan kepada petugas di laboratorium.
”Dari hasil pengujian, spesimen dalam tabung itu stabil jika disimpan di suhu ruang dan bertahan hingga 30 hari. Berbeda dengan VTM (viral transport medium) yang harus disimpan pada temperatur dingin,” kata Revata.
Ke depan, ia berharap dapat berkolaborasi dengan laboratorium-laboratorium, agar Bio Saliva dapat dikirim ke rumah-rumah dan fasilitas layanan kesehatan yang lokasinya jauh atau terpencil. Dengan demikian, alat itu tak hanya sebagai alternatif bagi yang tak nyaman dites usap, tetapi juga membantu tenaga kesehatan dalam mengambil sampel orang yang hendak dites PCR.
Dirilis terbatas
Dikutip dari Biofarma.co.id, Sabtu (3/7/2021), Biofarma bersama Nusantics telah meluncurkan Bio Saliva secara terbatas, yang dapat mendeteksi hingga angka cycle threshold (CT) value 40 dan diklaim memiliki performa sangat baik untuk CT di bawah 35, dengan sensitivitas hingga 93,57 persen. Adapun tes usap nasofaring-orofaring dengan PCR kit memiliki sensitivitas hingga 95 persen.
”Pastinya masih diperlukan beberapa penambahan sehingga Bio Saliva ini akan semakin sempurna. Maka, harus kita dorong percepatan penyempurnaan produk. Masukan dari berbagai pihak di tahap limited release (rilis terbatas) ini sangat membantu. Kita tidak boleh tertinggal,” ujar Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir.
Disebutkan, ke depan, diharapkan proses pengambilan sampel dengan Bio Saliva dapat dilakukan di area nonmedis dengan pengawasan tenaga kesehatan. Hal itu dapat mengurangi kerumunan dan menghindari kontak. Keunggulan lainnya, pengambilan sampel dalam jumlah sangat besar bisa dilakukan tanpa perlu menambah tenaga medis.
Revata mengemukakan, Bio Saliva ialah pelengkap dari produk yang sebelumnya telah dikembangkan pihaknya, mBioCoV-19, yang merupakan RT-PCR kit untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2. Alat itu pun diproduksi Biofarma. Produk mBioCoV-19 pula yang digunakan selama tahapan uji validasi Bio Saliva.
Adapun mBioCoV-19, kata Revata, juga sudah dipastikan dapat mendeteksi 10 varian Covid-19. ”Mulai dari Alpha (B.117) hingga yang terakhir Lambda (C.37),” tuturnya.
Saat ini tengah dilakukan uji post market Bio Saliva di tiga laboratorium, yakni Lab Mikrobiologi FK Universitas Indonesia, Lab Biomedik Lanjut FK Universitas Padjadjaran, dan Lab Mikrobiologi Klinik FK Universitas Airlangga. ”Ini untuk membantu Kemenkes mengambil data, apakah hasilnya bisa direproduksi atau tidak. Yang sudah keluar di UI, dan performanya kurang lebih sama dengan uji validasi atau memuaskan,” kata Revata.
Per awal Juli 2021, lanjutnya, warga sudah bisa mendaftar untuk tes PCR dengan metode gargle tersebut di Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium (GSI Lab), Jakarta. Diharapkan, dalam waktu dekat bisa juga digunakan di seluruh Indonesia. Adapun Bio Saliva telah mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan pada 1 April 2021, dengan Nomor Kemenkes RI AKD 10302120673.
Tentunya, semua pihak berharap penelitian ini tetap memenuhi standar keamanan penanganan Covid-19. Di tengah munculnya varian baru, ketepatan tes deteksi awal menjadi salah satu kunci pencegahan penularan virus.