Industri Makanan di Sumbar Terkendala Fluktuasi Harga Bahan Baku
Prospek usaha keripik sanjai masih sangat bagus jika negara pulih dari wabah Covid-19 dan pariwisata kembali menggeliat.
PADANG, KOMPAS — Stabilitas harga bahan baku serta ketersediaannya saat ini masih menjadi kendala bagi industri kecil menengah yang memproduksi makanan halal di Sumatera Barat. Pemasaran di tengah situasi pandemi Covid-19 juga menjadi tantangan bagi pelaku industri kecil menengah ini.
Ida Nursanti, pemilik usaha rendang Siti Nurbaya Food, di Padang, Jumat (2/7/2021), menuturkan, bahan baku utama rendang, seperti daging sapi, harganya relatif stabil dan tidak sulit didapat. Namun, bahan-bahan lain, seperti cabai merah, bawang merah, dan bawang putih sering mengalami fluktuasi harga.
”Harganya tidak menentu. Cabai, misalnya, tiba-tiba bisa naik sangat tinggi, hingga Rp 100.000 per kilogram. Begitu pula bawang merah dan bawang putih. Akhirnya, berdampak pada ongkos produksi. Sementara, harga produk kami tidak bisa dinaikkan begitu saja,” kata Ida, Jumat siang.
Baca juga: Sertifikasi Halal Perlu Diperbaiki agar Indonesia Tak Sekadar Jadi Pasar
Sebagai antisipasi, Ida akhirnya memperhitungkan harga produk berdasarkan rata-rata rentang kenaikan harga bahan baku. Jika pun harus menaikkan harga produk, itu dilakukan secara berkala agar konsumen tidak kaget.
Harga bahan baku yang tidak stabil itu, kata Ida, tidak baik bagi industri. Pelaku industri ini membutuhkan kepastian harga atau setidaknya kestabilan harga. Ia mengakui, industri mestinya punya kontrak dengan penyedia bahan baku agar mendapatkan harga yang stabil.
”Namun, masalahnya, industri kami masih skala kecil. Jadi, harapan kami, pemerintah bisa mengendalikan harga agar tidak terlalu berfluktuasi,” ujar Ida, yang juga menjabat Ketua Koperasi Wanita Ikatan Ahli Boga Indonesia (Ikaboga) Padang.
Hal senada diungkapkan oleh Widodo (50), pemilik usaha Keripik Balado Salsabila. Untuk bahan baku utama, seperti ubi kayu dan pisang, ia tidak kesulitan mendapatkannya. Harga ubi kayu dan pisang pun relatif stabil karena ia bisa menjalin relasi yang baik dengan petani. Namun, untuk bahan baku lain, seperti cabai dan gula, seringkali harganya berfluktuasi dan stoknya pun langka.
”Cabai harganya berfluktuasi meskipun tidak sampai berdampak ke harga produk. Keuntungan tipis tidak apa-apa. Stok gula juga sering langka. Tapi saya berteman baik dengan pedagang gula, jadi jika ada tanda-tanda stok gula langka, saya bisa antisipasi,” kata Widodo.
Walaupun relatif bisa diantisipasi, Widodo tetap berharap pemerintah bisa menjamin kestabilan harga dan ketersediaan bahan baku. Kedua hal itu dirasakan sangat berdampak pada keberlanjutan industri makanan halal.
Tantangan pemasaran
Pemasaran juga menjadi tantangan lainnya bagi pelaku industri makanan halal. Pandemi Covid-19 membuat pelaku industri yang awalnya mengandalkan penjualan langsung dengan konsumen wisatawan harus beralih ke sistem daring. Masalahnya, belum semua pelaku industri cakap dan mempunyai tim yang fokus menggarap pasar daring.
Pandemi Covid-19, membuat pelaku industri yang awalnya mengandalkan penjualan langsung dengan konsumen wisatawan harus beralih ke sistem daring. Masalahnya, belum semua pelaku industri cakap dan mempunyai tim yang fokus menggarap pasar daring.
Siti Nurbaya Food, kata Ida, memang sudah punya tim pemasaran daring. Mereka menjual produk melalui media sosial, seperti Facebook, WhatsApp, dan Twitter serta platform e-dagang (lokapasar), seperti Shopee dan Bukalapak. Namun, karena masih baru dan otodidak, kemampuan timnya masih terbatas sehingga penjualan belum signifikan seperti penjualan luring sebelum pandemi.
Baca juga: Perlu Strategi agar Produk Halal Jadi Tuan di Negeri Sendiri
Selain itu, pandemi Covid-19, juga membuat persaingan semakin ketat. Ida melihat, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di masa pandemi, membuat orang terdampak beralih ke usaha kuliner, termasuk rendang. Mereka memproduksi sendiri di rumah dan menjual sendiri kepada teman-teman atau tetangga. ”Istilahnya, membeli galeh (galas) kawan," ujarnya.
Tantangan lainnya, kata Ida, bahan baku dan percetakan untuk kemasan produk terbaru yang masih terbatas di Sumbar, khususnya Padang. Dampaknya, industri masih memasok dan mencetak kemasan produk dari kota di Pulau Jawa. Ia berharap, bahan baku dan percetakan kemasan produk terbaru, menarik, dan murah tersedia di Sumbar sehingga ongkos produksi bisa dikurangi.
Sementara itu, Keripik Balado Salsabila belum punya tim pemasaran daring. Tugas pemasaran, termasuk daring, masih diemban oleh Widodo. Ia memasarkan sendiri produknya melalui media sosial dan grup percakapan, baik kepada konsumen maupun kepada pengecer (reseller) di luar kota. Adapun untuk platform e-dagang, Widodo belum menggarapnya secara serius karena tidak punya tim yang fokus pada pemasaran daring.
”Ada keinginan menggarap serius pasar daring. SDM-nya sedang disiapkan. Nanti anak saya yang akan mengelola, dia baru wisuda. Kalau saya, kemampuan tidak sampai, begitu pula istri saya. Istri cuma tamat SD, sedangkan saya tidak tamat SD,” kata Widodo.
Terdampak pandemi
Pandemi Covid-19 mengguncang Siti Nurbaya Food yang mulai memproduksi rendang dan dendeng kemasan sejak 2010. Sebelum pandemi, Ida bisa mengolah 400-600 kilogram daging sapi dengan omzet produk hingga Rp 150 juta-Rp 200 juta dalam sebulan. Di masa pandemi ini, omzet menurun sampai hampir separuhnya.
Ida memang tidak sampai melakukan PHK. Meskipun begitu, ia mesti mengurangi hari kerja pegawai yang biasanya satu bulan menjadi 15 hari saja.
Baca juga: Penjualan Keripik Sanjai di Padang Mulai Merangkak Naik
Ida berpandangan, dengan kondisi saat ini, IKM sulit untuk mengandalkan sektor pariwisata seperti masa sebelum pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, ke depan, produk diharapkannya tidak hanya berfungsi sebagai oleh-oleh, melainkan makanan yang untuk konsumsi harian masyarakat.
”Dulu banya orang bawa produk kami ke luar kota, bahkan luar negeri, untuk oleh-oleh. Sekarang, kami mesti meyakinkan konsumen setidaknya mengonsumsi produk kami minimal dua kali sebulan. Kami adakan promosi dan diskon harga. Selain itu, kami tetap konsisten terhadap kualitas produk,” ujar Ida.
Pandemi Covid-19 juga berdampak besar pada Keripik Balado Salsabila. Sebelum Covid-19 merebak, IKM yang memproduksi keripik sanjai, keripik balado, dan berbagai olahan ubi kayu dan pisang lainnya ini sedang naik daun. Dalam sehari, Widodo bisa memproduksi 1.000 bungkus keripik kemasan 250 gram dengan omzet Rp 10 juta.
Selama ini, pendekatan yang dilakukan Widodo untuk memasarkan produknya adalah melalui akses ke berbagai kalangan, seperti kelompok pesepeda, kelompok memancing, dan kelompok wisatawan lainnya. Sekarang, akibat pandemi Covid-19, hal itu sulit dilakukan.
Selama ini, pendekatan yang dilakukan Widodo untuk memasarkan produknya adalah melalui akses ke berbagai kalangan, seperti kelompok pesepeda, kelompok memancing, dan kelompok wisatawan lainnya. Sekarang, akibat pandemi Covid-19, hal itu sulit dilakukan.
”Sekarang rata-rata cuma 250-500 bungkus sehari. Turun lebih dari separuh dibanding biasanya. Produksi kami berkaitan dengan pariwisata, baik dari dalam maupun luar provinsi. Sekarang, lebih banyak mengandalkan penjualan daring,” ujarnya.
Untungnya, Widodo masih bisa mempertahankan 10 pegawainya di tengah kondisi yang sulit tanpa mengurangi gaji. Ia meyakini, prospek usaha keripik sanjai masih sangat bagus jika negara pulih dari wabah Covid-19 dan pariwisata kembali menggeliat.