Denai Lama, Desa Wisata di Deli Serdang Beromzet Rp 560 Juta Per Bulan
Empat tahun lalu, ekonomi Desa Denai Lama hanya ditopang pertanian sawah. Kini, desa itu menjadi desa wisata yang menyejahterakan ratusan keluarga. Diharapkan kondisi ini dapat terus bertahan meski diterpa badai pandemi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Empat tahun lalu, ekonomi Desa Denai Lama di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, hanya ditopang pertanian sawah. Kini, desa itu menjadi desa wisata yang menyejahterakan ratusan keluarga dengan omzet sekitar Rp 560 juta setiap bulan. Kabar baik ini diharap dapat terus berlanjut meskipun pandemi di Indonesia sekarang tengah mengganas kembali.
Suasana Desa Denai Lama terasa menenangkan dengan hamparan sawah yang hijau, Rabu (9/6/2021). Warga bersama perangkat desa sedang sibuk mempersiapkan acara kunjungan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno dan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi.
Desa yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Bandara Kualanamu itu dikunjungi karena menjadi salah satu kandidat kuat Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021. Pariwisata di desa itu memang sangat maju dalam empat tahun belakangan ini. Sejumlah destinasi berbasis agrowisata, edukasi, kesenian, dan kebudayaan dibangun di desa itu.
”Saat ini pariwisata menghidupi sekitar 120 keluarga secara langsung. Warga menjadi pedagang, usaha kuliner, perajin, seniman, dan penyedia jasa wisata," kata Kepala Desa Denai Lama Parnu.
Sebelumnya keluarga kami hanya petani sawah. Pariwisata di desa kami sangat membantu ekonomi keluarga (Tukini)
Sebelum tahun 2017, tutur Parnu, ekonomi Denai Lama hanya bergantung pada sawah. Ia bersama warganya, Irwanto (42), lalu menggagas desa wisata untuk meningkatkan ekonomi desa. Ketika itu, banyak warga yang ragu karena desa itu tidak dikenal orang. Namun, Parnu yakin pariwisata desa itu bisa berkembang dengan modal suasana desa yang asri, hamparan sawah, hasil kerajinan tangan, dan terutama kegiatan kesenian yang sudah maju di Sanggar Lingkaran yang digagas Irwanto.
Mereka lalu membangun sejumlah destinasi yakni Agrowisata Palo Naga, Kafe Baca, serta pusat kerajinan piring lidi, batik pewarna alami, dan kain ecoprint. Destinasi-destinasi itu dikelola oleh badan usaha milik desa (Bumdes) yang kini dipimpin Irwanto.
Destinasi pertama yang dibangun di desa itu adalah Agrowisata Palo Naga yang merupakan pusat kuliner dan pertunjukan seni di tengah hamparan sawah. Dari jalan utama desa, wisatawan berjalan kaki sekitar 500 meter dengan pemandangan hamparan sawah yang hijau. Di pintu masuk pusat kuliner itu, wisatawan bisa menukarkan uang dengan koin kayu senilai Rp 2.000 per keping.
Di agrowisata itu, wisatawan dapat membeli berbagai jenis kuliner, suvenir, dan produk lainnya dengan koin tersebut. Di sana terdapat puluhan pedagang kuliner yang menjual berbagai jenis makanan seperti nasi bakar, mi, getuk, tiwul, dan berbagai jajanan lainnya.
Makanan itu bisa dinikmati di tempat makan yang telah disediakan dengan latar pemandangan sawah yang indah. Di akhir pekan, para seniman dari Sanggar Lingkaran juga tampil dengan tarian, musik tradisional, dan pertunjukan cerita rakyat. Nama Palo Naga sendiri diambil dari cerita rakyat di desa itu yang berkisah tentang awal mula desa berdiri sejak tahun 1950.
Tukini (47), pedagang nasi bakar di agrowisata itu, mengatakan, ia bisa menjual 400 porsi nasi bakar setiap pekan dengan harga Rp 8.000 per porsi. Dengan omzet sekitar Rp 3,2 juta per pekan, ekonomi keluarganya pun semakin baik. Hal yang sama juga dirasakan pedagang lainnya.
"Sebelumnya keluarga kami hanya petani sawah. Pariwisata di desa kami sangat membantu ekonomi keluarga," kata Tukini.
Destinasi lainnya yakni Kafe Baca yang menyatu dengan Sanggar Lingkaran. Suasana kafe sangat asri. Meja dan kursi hampir semuanya terbuat dari bambu dan kayu yang berada di bawah pepohonan rindang. Di sana terdapat beberapa rak buku yang sebagian besar bertema kuliner, seni, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan pariwisata. Kafe itu menyediakan menu-menu seperti minuman kopi, teh, jus, dan berbagai jenis makanan.
Sanggar Lingkaran juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Pekerja di kafe itu juga merupakan anak-anak sanggar. Di kafe itu, pengunjung juga bisa menyaksikan anak-anak desa belajar musik, tari tradisional, atau pertunjukan teater. Para pengunjung juga bisa ikut belajar berkesenian.
Setiap akhir pekan, anak sanggar juga tampil di kafe itu. Anak-anak sanggar yang tampil di kafe atau di agrowisata kini juga mendapat honor dari Bumdes. Grup musik Melayu dengan alat musik tradisional seperti rebana, akordeon, dan biola juga menemani wisatawan di kafe.
"Di kafe ini tidak disediakan Wi-Fi karena kami ingin mengajak pengunjuk pada suasana hangat untuk membaca buku, mengobrol, bersilaturahmi, dan menikmati kesenian," kata Irwanto.
Perajin
Suvenir di desa wisata Denai Lama semuanya diproduksi oleh warganya. Melihat minat wisatawan yang semakin besar, mereka belajar membuat berbagai jenis kerajinan tangan.
Sri Wahyuni (35) bersama beberapa orang anggota kelompoknya membuat piring dari anyaman lidi sawit. Mereka pun bisa menjual piring anyaman tiga lusin per pekan dengan harga Rp 120.000 per lusin. "Ini salah satu suvenir favorit yang dibeli wisatawan. Kami masih berusaha meningkatkan produksi agar bisa memenuhi permintaan," katanya,
Selain itu, ada juga Juliana (47), perajin batik pewarna alami dan kain ecoprint. Awalnya kain yang ia hasilkan hanya dibeli oleh wisatawan. Setelah dipasarkan lewat media sosial dan dipromosikan oleh pengunjung, produksinya pun kini bisa dijual ke masyarakat umum.
Juliana menjual kain produksinya dengan harga Rp 750.000 hingga Rp 1,5 juta per lembar. "Saat ini saya bisa menjual 40 lembar kain per bulan," katanya.
Bupati Deli Serdang Ashari Tambunan mengatakan, Desa Denai Lama sangat berpotensi untuk dikembangkan karena sangat dekat dengan Bandara Kualanamu. "Kualanamu merupakan pintu masuk wisatawan ke Sumut. Ke depan, desa ini menargetkan kunjungan para wisatawan yang hendak ke Danau Toba atau destinasi lainnya," katanya.
Ashari mengatakan, kunjungan ke Denai Lama terus meningkat. Namun, mereka masih membatasi jumlah pengunjung karena masih pandemi Covid-19. Protokol kesehatan pun diterapkan secara ketat di semua destinasi.
Menurut Sandiaga, konsep wisata Desa Denai Lama yang memadukan agrowisata, edukasi, kebudayaan, dan kampanye membaca sangat bagus untuk dikembangkan. "Konsep ekonominya juga sangat berkeadilan, yakni menghidupkan ekonomi masyarakat desa yang seluas-luasnya," ujar Sandiaga.
Sandiaga menyebut, ada sekitar 500 desa wisata yang akan dikembangkan secara nasional. Desa Denai Lama pun menjadi salah satu contoh konsep wisata berkeadilan yang perekonomiannya bisa dinikmati langsung oleh masyarakatnya.
Saat ini, ketika pandemi mengganas kembali di Indonesia, bisa jadi aktivitas wisata di Denai Lama turut terganggu. Diharapkan daya lenting warga desa untuk bertahan tetap kuat laksana baja. Bantuan dan dukungan dari pemerintah daerah serta pusat juga diharap tak putus agar Denai Lama terus berkibar menyejahterakan warganya.