Maria Berbenah Menjadi Desa Wisata Budaya
Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, diluncurkan sebagai desa wisata budaya. Ikon berupa Uma Lengge atau bangunan tradisional untuk menyimpan hasil pertanian dan budayanya menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Di tengah pandemi, optimisme terus dibangun desa-desa wisata di Nusa Tenggara Barat. Sembari menunggu keadaan membaik, mereka terus berbenah dan menggali potensi yang dimiliki. Salah satunya Desa Wisata Budaya Maria di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima.
Kompleks Uma Lengge di Desa Maria, sekitar 23 kilometer tenggara Kota Bima, tampak ramai pada Minggu (13/6/2021). Kompleks itu terdiri atas 113 bangunan tradisional dengan fungsi sebagai tempat menyimpan bahan pangan dan hasil pertanian lain.
Semua orang terlihat sibuk dan antusias. Mulai dari pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, hingga para pemuda setempat. Juga ibu-ibu yang sejak pagi telah rapi dalam balutan rimpu, sebuah cara berpakaian masyarakat Bima-Dompu dengan sarung khas yang ditenun.
Di depan gerbang Uma Lengge, kesibukan terlihat di sekretariat badan usaha milik desa (BUMDes) ”Maria Maju”. Sejumlah laki-laki mulai meracik kopi untuk disuguhkan ke tamu. Sementara yang perempuan menata beraneka kain tenun kerajinan masyarakat Maria.
Baca juga: Warisan Tradisi Uma Lengge
Di salah satu Uma Lengge, Ketua Adat Desa Maria Hasan Abubakar (83) duduk bersila sembari menyiapkan diri untuk prosesi penyambutan. Ia tampak rapi dengan sambolo atau ikat kepala dari kain tenun, jas, dan celana berwana putih yang dibungkus dengan tembe nggoli (kain tenun) berwarna kuning serta sabuk dari kain. Sebuah keris diselipkan di pinggangnya.
”Nanti, saya akan menyambut kedatangan para tamu dari pintu masuk Uma Lengge. Saya juga akan menyerahkan ini,” katanya menunjuk pada empat jilid buku berisi profil desa dan proposal.
Sekitar 10 meter arah selatan tempat Hasan tengah duduk, kelompok ibu-ibu mulai berlatih tarian menumbuk padi dengan alu dan lesung. Terdengar suara ketukan berirama saat ujung alu menyentuh bagian dalam lesung. Suara itu menjadi pengiring untuk salah seorang dari mereka yang mendendangkan pantun-pantun dalam bahasa Bima.
Lihat juga: Menengok Desa Wisata Budaya Maria
Sementara di Uma Lengge lain, para ibu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah juga sama sibuknya. Mereka menyiapkan produk mulai dari kain tenun, kerajinan, hingga peralatan menenun. Proses menenun akan ditampilkan ke tamu.
Nanti saya akan menyambut kedatangan para tamu dari pintu masuk Uma Lengge. (Hasan Abubakar)
Meriahnya suasana di Uma Lengge, Desa Maria, hari itu tidak lepas dari kunjungan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Kedatangan Sandiaga salah satunya dalam rangka meresmikan Maria sebagai Desa Wisata Budaya dan mempromosikan Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021.
Baca juga: Sensasi Pantai Merah Jambu di Bima
Acara peresmian berjalan lancar. Walakin, banyaknya undangan ditambah warga yang antusias membuat protokol kesehatan sulit diterapkan, seperti jaga jarak. Tidak sedikit juga warga yang datang tanpa masker.
Persoalan ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Maria dan desa-desa lain yang ingin menggaet wisatawan di tengah pandemi. Penerapan prosedur clean, health, safety, and enviroment (CHSE) atau kebersihan, kesehatan, keamanan, dan keberlangsungan lingkungan hidup sepatutnya menjadi napas pengembangan pariwisata.
Potensi wisata
Semua hal yang ditampilkan selama kunjungan Sandiaga ke Maria adalah potensi wisata yang dimiliki desa dengan penduduk sekitar 3.200 jiwa tersebut. Maria memang tengah bersemangat mengembangkan desa wisata. Budaya menjadi andalan mereka.
Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata ”Pelopor” Desa Maria Mukhlis Abdul Aziz, inisiasi untuk menjadikan Maria sebagai desa wisata telah dimulai sejak 2009. Kekuatan budaya yang melekat dan menjadi keseharian warga, disadari para pemuda sebagai potensi wisata.
Baca juga: Penetapan Koridor Bebas Covid-19 di Bali Berdampak Positif dan Menggairahkan Pariwisata Lombok
”Maria dengan sejarahnya sudah terstruktur dari awal. Menurut para tetua, desa ini erat kaitannya dengan terbentuknya kerajaan di Bima. Bahkan, salah satunya petinggi Maria adalah abdi kerajaan. Mental itu yang tertanam hingga sekarang,” kata Mukhlis.
Generasi muda di sana merasa wajib melestarikan budaya itu. Maka, sejak 2009, mereka mulai menggali tradisi-tradisi yang ada di Maria, termasuk yang terancam hilang, seperti kesenian.
Mereka bertemu dengan para tetua, lalu menjadikan mereka pelatih atau guru. Pendekatan itu sekaligus untuk mendapatkan restu dari mereka.
”Lalu, kami melatih anak-anak muda kesenian tersebut. Selain pelestarian, ini sekaligus menumbuhkan rasa bangga mereka terhadap tradisi-tradisi tersebut,” kata Mukhlis.
Beberapa tahun berjalan, pada 2017, Maria menggelar Festival Uma Lengge pertama. Tidak hanya kesenian di Maria dan Wawo, tetapi semua kesenian di Kabupaten Bima juga ditampilkan.
”Setelah berjalan selama tiga tahun, pada 2020 dan 2021, festival tidak bisa kami selenggarakan karena merebaknya pandemi,” kata Mukhlis.
Meski demikian, semangat untuk mengembangkan Desa Wisata tidak luntur. Apalagi pada 2019 Gubernur NTB menetapkan Maria sebagai salah satu desa wisata.
Baca juga: Desa Wisata Jadi Tonggak Kebangkitan Ekonomi Indonesia
Potensi yang dimiliki, termasuk kompleks Uma Lengge, menjadi daya tarik Maria. Kompleks tersebut memiliki dua jenis bangunan, yakni Uma Lengge dan Uma Jompa.
Secara fungsi, keduanya sama-sama digunakan sebagai lumbung padi, termasuk menyimpan bahan makanan lain, seperti jagung, jewawut, kacang-kacangan, dan biji-bijian lain.
Perbedaan keduanya pada struktur. Uma Lengge berbentuk kerucut beratap ilalang. Sementara Uma Jompa memiliki dinding papan kayu dengan atap genteng atau seng.
Sebelumnya, Uma Jompa juga berbentuk Uma Lengge. Namun, karena rusak dan sulitnya mendapat ilalang sebagai atap, maka diganti dengan genteng atau seng.
Uma Lengge awalnya berfungsi sebagai tempat menyimpan gabah sekaligus tempat tinggal. Saat itu, Uma Lengge dibagi dalam tiga bagian dengan fungsi masing-masing. Bagian terbawah (kolong) untuk dapur, bagian tengah untuk tidur atau menerima tamu, sementara bagian ketiga untuk menyimpan padi dan hasil pertanian lain.
Namun, sejak kebakaran yang melanda Uma Lengge beberapa puluh tahun silam dan mengakibatkan hilangnya cadangan pangan, Uma Lengge dipisahkan dari tempat tinggal warga ke lokasi tersendiri seperti saat ini.
”Pemisahan bertujuan untuk menjaga dari bencana, seperti kebakaran. Jika kebakaran terjadi, meski tempat tinggal terbakar bersama perabot rumah, cadangan pangan tetap terjaga,” kata Hasan.
Sandiaga, dalam kunjungannya, berjanji akan mengupayakan revitalisasi Uma Lengge bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia juga menjanjikan pembenahan fasilitas, seperti jaringan internet serta dukungan untuk konten kreatif dan desa wisata digital.
Menurut Mukhlis, Uma Lengge saat ini menjadi ikon sekaligus pusat kegiatan wisata di Maria. Selain berbagai event, seperti Festival Uma Lengge, tradisi memasukkan hasil panen ke Uma Lengge, sejak Februari 2020, kompleks itu juga menjadi tempat pelaksanaan sekolah adat.
Di sekolah yang berlangsung dua kali seminggu, yakni pada Rabu dan Jumat itu, warga, khususnya pelajar, belajar menari, bahasa Bima, hingga sejarah dan budaya Maria. Kegiatan itu juga terbuka bagi wisatawan yang sedang berkunjung ke Maria.
Selain itu, Maria juga memiliki potensi lain berupa air terjun, kolam pemandian, hingga areal persawahan yang mirip Ubud, Bali.
Semua potensi itu bisa dijangkau wisatawan dengan mudah. Baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Apalagi Maria berada di Lintas Bima-Sape yang digunakan wisatawan menuju ke Pelabuhan Sape jika hendak menyeberang ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Saling mendukung
Di tengah merebaknya pandemi dan terpukulnya pariwisata, berbagai pihak di Maria, menurut Mukhlis, saling mendukung untuk mengembangkan pariwisata. Itu menjadi modal besar untuk terus bergerak dalam situasi yang sulit.
Sekarang, banyak yang belajar menenun karena melihat pariwisata berkembang di Maria. (Nurjanah)
Hasan Abubakar juga mengatakan hal itu. Pada dasarnya, tokoh adat juga mendukung pengembangan pariwisata di Maria. Asalkan, tetap dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Warga lain, termasuk pelaku ekonomi kreatif, juga ikut mendukung. Misalnya, dengan regenerasi penenun di desa Maria. ”Sekarang, banyak yang belajar menenun karena melihat pariwisata berkembang di Maria,” kata Nurjanah (58), pelatih tenun yang telah 20 tahun menenun.
Para pengelola BUMDes ”Maria Maju” juga bersemangat untuk mengembangkan Desa Wisata Budaya Maria. Ketua BUMDes ”Maria Maju” Nasaruddin mengatakan, selama satu tahun terakhir, unit usaha yang mereka jalankan adalah perdagangan umum, terutama bahan bangunan. Namun, mulai tahun ini, mereka menambah unit usaha baru, yakni ekonomi kreatif, sebagai dukungan terhadap pengembangan pariwisata di Maria.
”Kami akan berdayakan masyarakat untuk mengisi unit usaha ekonomi kreatif. Tentu dengan karya-karya mereka. Apalagi sekarang sudah ada gerai untuk itu,” kata Nasaruddin.
Maria memiliki potensi besar untuk menjadi ikon baru dalam dunia pariwisata. Apalagi dengan posisinya yang diapit dua kawasan ekonomi khusus (KEK), Mandalika di Lombok dan Labuan Bajo, NTT. Peluang itu selayaknya ditangkap demi pelestarian budaya dan peningkatan kesejahteraan warga.