Bantu Kami Akhiri Hari-hari Melelahkan dan Menyedihkan Ini
Hari-hari pengemudi ambulans dan pemulasaraan jenazah di tengah pandemi ini semakin tidak mudah. Jika tidak bisa membantu, sebaiknya jangan lagi menyusahkan mereka.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri/tatang sinaga
·5 menit baca
Tiga pekan terakhir menjadi hari-hari melelahkan sekaligus menyedihkan bagi Ari Budiman (45). Sopir ambulans Desa Tenjolaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ini harus keliling berbagai rumah sakit demi mendapatkan ruang isolasi pasien Covid-19. Perjuangannya masih berat karena entah kapan kasus baru korona baru ini berhenti mengancam nyawa.
Seperti Jumat (11/6/2021) sore. Ari menancap pedal gas ambulans dari Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, menuju RSUD Soreang. Setelah melintasi sekitar 14 kilometer, upaya mencari kamar bagi pasien Covid-19 tidak membuahkan hasil. Ruang isolasi penuh.
Ari melanjutkan perjalanan sekitar 8 kilometer ke RS Unggul Karsa Medika. Hasilnya, nihil. Melalui grup percakapan sopir ambulans Pacira (Pasirjambu, Ciwidey, dan Rancabali), ia disarankan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Tiba sekitar pukul 21.00, lagi-lagi tak ada ruangan. Keringat di tubuhnya mulai mengering seiring matahari terbenam. Alat pelindung diri membalut badannya, melindunginya dari terpaan angin. Sirene ambulans memecah keheningan malam itu.
Setelah berkeliling lebih dari 30 kilometer, pencariannya terhenti di RS Paru Dr H A Rontisulu pukul 23.30. ”Di IGD (instalasi gawat darurat), masih harus antre. Pasien dapat kamar itu pukul 04.00,” kata Ari mengisahkan pengalamannya, Selasa (29/6/2021).
Akan tetapi, bukan kabar baik yang ia dengar selanjutnya. Beberapa hari setelah mendapatkan perawatan, pasien yang sakit paru-paru tersebut berpulang untuk selamanya. ”Sedih, rasanya perjuangan saya sia-sia. Namun, saya sadar, yang penting sudah berjuang mencarikan rumah sakit,” katanya sembari menghela napas.
Tiga minggu terakhir, hampir setiap hari Ari dan seorang sopir lainnya mengantar warga yang terindikasi positif Covid-19. Selama itu pula, ia kelimpungan mencari ruang isolasi di lima rumah sakit. Jika dihitung, ia menghabiskan 12 jam di jalan.
”Kalau enggak tahan, saya paling tidur di emperan sambil pakai APD,” ucap bapak dua anak ini. Sebelum pulang ke rumah, ia hanya meminta istrinya memasak air panas untuk mandi. Pantang baginya berjumpa keluarga sebelum membersihkan diri.
Sebelum kasus Covid-19 melonjak seperti sekarang, Kepala Seksi Kesejahteraan Desa Tenjolaya ini hanya mengantar warga yang ingin berobat, melahirkan, atau kecelakaan. Sangat jarang ia mengantar pasien tertular virus seperti Covid-19.
Kini, semuanya berubah. Ia tidak paham mengapa virus tak kasatmata itu semakin banyak memakan korban. Sebagai pengantar pasien Covid-19, kekhawatiran terpapar juga menghantuinya.
Terlebih lagi, tidak semua warga jujur terinfeksi virus korona baru. Penderita Covid-19 masih dirundung stigma sebagai pesakitan yang harus dijauhi.
”Saya juga takut bawa virus ke keluarga. Namun, (mengantar pasien) ini risiko dan tanggung jawab. Mudah-mudahan saya selalu sehat supaya bisa membantu masyarakat,” ujar Ari yang telah menerima vaksin Covid-19 lengkap dan rutin meminum vitamin.
Meski demikian, Ari dan sopir ambulans lain belum sepenuhnya terlindungi. APD, misalnya, kian terbatas seiring meningkatnya kasus positif. ”APD di ambulans sekarang kosong. Di puskesmas juga habis,” katanya.
Selama ini, ia juga mengantar pasien secara sukarela, tanpa digaji. Padahal, waktu yang ia habiskan melebihi jam kerja sebagai aparat desa. ”Kalau bisa, kami mengusulkan tunjangan untuk sopir ambulans,” katanya.
Kepala Desa Tenjolaya Ismawanto Soemantri berharap, ada call center khusus untuk rujukan pasien Covid-19 yang bisa diakses langsung oleh desa. ”Jadi, ketika ada kasus, aparat dapat segera mengantarnya. Tidak harus pusing mendatangi rumah sakit untuk memastikan ketersediaan ruang isolasi,” ujarnya.
Terlebih lagi, belum ada tanda-tanda tugas mereka mereda. Hingga Selasa, Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar mencatat, keterisian ruang isolasi di rumah sakit mencapai 91,6 persen. Okupansi ini naik tiga kali lipat dibandingkan dengan 1,5 bulan lalu.
Di RSD Gunung Jati, tim forensik semakin sibuk dua pekan terakhir seiring meningkatnya angka kematian akibat Covid-19. Hingga Selasa siang, misalnya, tim memulasarakan 11 jenazah. ”Ini yang paling tinggi selama pandemi. Dalam 15 hari ini, rata-rata kami menangani lima jenazah per hari,” kata Usman (56), kepala tim forensik.
Sebelumnya, pihaknya paling banyak mengurus dua atau tiga jenazah per hari. Enam petugas juga bergantian bekerja sesuai sifnya. Mereka bisa beristirahat di malam hari.
”Tetapi, sekarang, petugas yang bekerja dari pagi, pulang sore, terus kembali lagi malam. Ada yang tidak libur juga. Kalau ada yang lelah atau sakit, saya enggak izinkan kerja,” kata Usman yang bekerja di RSD Gunung Jati sejak 1985.
Sebenarnya, penanganan jenazah hanya berkisar 30 menit. Namun, proses sebelumnya memakan banyak waktu. Misalnya, petugas menunggu kesepakatan keluarga jenazah terkait tempat pemakamannya.
Belum lagi, ada komplain yang tidak terima jenazah keluarganya positif Covid-19. Padahal, pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 sudah diatur oleh Kementerian Kesehatan. Prosedur tersebut sudah berjalan memasuki tahun kedua pandemi.
”Malam-malam, saya harus ke rumah sakit untuk menjelaskan kepada keluarga bahwa jenazah harus dimakamkan sesuai protokol. Kalau tidak, ada yang mau ambil langsung jenazah,” katanya. Usman pun meminta bantuan polisi untuk ikut menjaga keamanan dari hal tidak diinginkan
Menangani jenazah pasien Covid-19 memang tidak boleh sembarangan. Timnya wajib mengenakan APD lengkap, menyemprotkan disinfektan di ruang jenazah, dan melakukan sterilisasi.
”Kami ketat. Jangan sampai kecolongan (virus korona baru). Alhamdulillah, enggak pernah terpapar. Awalnya, kami takut juga, tetapi sekarang sudah berkurang,” lanjut bapak tiga anak dan satu cucu ini.
Namun, Usman mengaku tidak bisa menyembunyikan kesedihannya setiap kali harus menangani jenazah pasien Covid-19. Virus itu memaksa pasien diisolasi sendiri dan berpulang dalam sunyi, tanpa didampingi keluarga.
Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Keperawatan RSD Gunung Jati Maria Listiawaty mengatakan, sebagian besar pasien Covid-19 yang meninggal karena datang dalam kondisi perburukan. Gejala pasien sesak dan saturasi oksigen jauh bawah 95 persen.
”Bahkan, ada yang 70 persen. Kami sudah mengupayakan sebaik mungkin, bahkan memasang ventilator. Namun, ini sudah di luar kemampuan kami,” ujar Maria.
Lonjakan kasus Covid-19 tidak hanya membuat ruang isolasi penuh, tetapi juga bisa meningkatkan angka kematian pasien karena terlambat ditangani. Perjuangan Ari, Usman, dan tenaga kesehatan lainnya bakal semakin berat. Jika tidak bisa membantu, sebaiknya jangan lagi menyusahkan mereka.