Desa Tolak Kendur Hadapi Korona
Pandemi Covid-19 menebar cemas hingga ke pelosok desa. Kepanikan terjadi karena tak diimbangi persiapan memadai. Belajar dari kegagapan itu, sejumlah desa di Jawa Barat ”keras kepala” ingin terus belajar tanggap melawan.
Pandemi Covid-19 menebar cemas hingga ke pelosok desa. Kepanikan terjadi karena tidak diimbangi persiapan memadai. Belajar dari kegagapan itu, sejumlah desa di Jawa Barat ”keras kepala” ingin terus belajar tanggap melawannya.
Pertengahan Maret 2020, warga Desa Tenjolaya, Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dilanda kepanikan. Seorang warga demam tinggi. Ia dicurigai terjangkit Covid-19.
Dugaan menguat karena suami warga itu baru pulang dari DKI Jakarta, zona merah penyebaran korona. Namun, setelah menjalani tes cepat Covid-19 di puskesmas, hasilnya nonreaktif. Kecurigaan warga tidak terbukti. Kejadian itu menunjukkan kegagapan warga, sekaligus memberikan pelajaran penting.
”Baru gejala (Covid-19) saja sudah bingung. Dari situ tercetus menyediakan rumah isolasi untuk menampung warga yang reaktif tes cepat,” ujar Kepala Desa Tenjolaya Ismawanto Somantri, Rabu (24/6/2020).
Baca juga : Meja Makan, Ruang Rindu Kehangatan Itu Datang Lagi
Pemerintah desa menyewa rumah warga yang tidak berpenghuni untuk menjadi rumah isolasi. Rumah dengan dua kamar itu diproyeksikan menjadi tempat isolasi sementara bagi pasien Covid-19.
Belum ada pasien yang diisolasi di rumah itu. Namun, perangkat desa sudah bersiap menghadapi risiko terburuk jika korona menyerang desa.
”Jika ada warga yang diisolasi, kami akan menyediakan kebutuhan makanannya. Alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan juga disiapkan,” ujar Ismawanto.
Desa Tenjolaya berjarak 37 kilometer dari Kota Bandung, ibu kota Jabar. Luasnya sekitar 3.661 hektar. Terletak di lereng perbukitan di selatan Bandung, lahan di desa ini didominasi oleh hutan, kebun teh, dan lahan pertanian.
Kontur itu pernah memicu bencana alam longsor besar tahun 2010. Lebih dari 30 orang tewas akibat kejadian tersebut. Namun, hal itu juga memberi potensi wisata besar. Hamparan kebun teh di Tenjolaya perlahan menjadi daya tarik wisatawan. Apalagi, Tenjolaya dekat dengan kawasan wisata Ciwidey yang lebih dulu tenar.
Akan tetapi, karena dekat Ciwidey, Desa Tenjolaya kini sangat dekat dengan ancaman Covid-19. Apalagi, lebih dari 100 warganya bekerja di luar daerah sehingga berpotensi membawa virus korona ke desa.
Jika ada warga yang diisolasi, kami akan menyediakan kebutuhan makanannya. Alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan juga disiapkan.
Ismawanto mengaku khawatir dengan dibukanya destinasi wisata karena akan mengundang wisatawan dari luar daerah. Padahal, wisata bisa menjadi pemasukan bagi warga setempat.
Oleh karena itu, dia bersama warga membangun benteng pertahanan mencegah penularan Covid-19. Usahanya macam-macam, mulai dari membagikan 28.000 masker, menyemprotkan disinfektan di rumah-rumah warga, dan menyediakan 34 fasilitas cuci tangan.
Selain itu, warga yang pulang kampung dari zona merah diwajibkan menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Mereka akan dipantau oleh petugas puskesmas dan RW setempat.
Meskipun berstatus zona hijau karena belum ditemukan kasus Covid-19, Ismawanto tak ingin warganya terlena pada ancaman virus korona. Sebab, jika benteng pertahanan itu jebol, perekonomian warga akan terganggu. Apalagi penapisan di desa itu masih rendah.
”Baru empat warga yang ikut tes cepat. Kami terkendala anggaran karena biayanya tidak murah,” ujarnya.
Penduduk Desa Tenjolaya berjumlah 14.000 jiwa. Sebagian besar di antaranya bekerja sebagai petani. Salah satu produk andalannya adalah sayuran organik dengan produksi 1,25 ton per hari.
Sayur organik dari desa ini dikirim ke sejumlah daerah, di antaranya kawasan Bandung Raya dan Jabodetabek. Petani sayur bekerja sama dengan PT Kotak Jiwa Sejahtera dalam mengelola lahan pertanian organik dan pengemasan hasil panen.
Nana (37), petani sayur organik, mengatakan, ekonomi warga sangat bergantung pada penjualan hasil panen sayuran. Dia berharap semua pihak tak meremehkan penularan Covid-19 agar masa depan desa tak lantas berantakan.
”Harus sama-sama saling menjaga. Pakai masker dan rajin cuci tangan. Jangan sampai virus korona mengganggu produksi dan pemasaran panen sayur di desa ini,” ujarnya.
Bupati Bandung Dadang M Naser mengapresiasi langkah antisipasi penyebaran Covid-19 di Tenjolaya sehingga dinobatkan menjadi Desa Tangguh Covid-19. Namun, dia tetap mengingatkan warga selalu mematuhi protokol kesehatan di masa adaptasi kebiasaan baru.
”Selama vaksinnya belum ditemukan, kita akan hidup dalam ancaman Covid-19. Jadi, jaga pola hidup sehat untuk meningkatkan imunitas tubuh,” ujarnya.
Baca juga : Membenahi Data Desa
Lumbung pangan
Gairah melawan korona juga datang dari RW 008 Simaja Selatan, Kelurahan Drajat, Kota Cirebon. Ketika pembatasan sosial berskala besar dilonggarkan, warga di sana menolak kendur mencegah penyebaran Covid-19.
Warga memperketat akses keluar masuk kampung, menyiapkan tempat cuci tangan, membangun lumbung pangan, hingga menyediakan ruangan isolasi.
Dari 16 pintu masuk ke Simaja Selatan, hanya dua jalur yang dibuka, yakni di Gang Delima dan Gang Durian.
Posko yang dijaga warga pun berdiri di dua lorong itu. Seperti Rabu (24/6/2020) siang, Ketua RW 008 Bobby Sandy Gautama bersama lima warga tengah mengawasi siapa saja yang masuk ke kampung.
”Nah, begitu, dong. Anak ganteng pakai masker,” ucap Bobby kepada tiga anak kecil yang bersepeda. Sebaliknya, sejumlah orang yang hendak masuk ke kampung diminta putar balik karena tidak mengenakan masker.
Ketika pembatasan sosial berskala besar dilonggarkan, warga di sana menolak kendur mencegah penyebaran Covid-19.
Di posko beratap tenda tersebut disediakan cairan antiseptik dan disinfektan beserta alat semprotnya. Terbuat dari pipa dan tersambung ke listrik, alat ini digunakan menyiram kendaraan pendatang dari luar kota.
Ada juga bilik disinfektan karya warga. Di belakang posko terdapat tumpukan jeriken berisi cairan disinfektan. “Ini amunisi kami melawan virus korona,” ucap Bobby.
Setiap pendatang dari luar kota wajib melapor ke pengurus RT dan RW. Selanjutnya, mereka diminta menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Setidaknya 20 orang tercatat mudik ke Simaja Selatan.
Baca juga : Babak Baru Pembatasan Sosial Berskala Mikro di Jabar
Bahkan, disiapkan ruangan isolasi gratis. Awalnya, ruangan tersebut terdapat di Balai Pertemuan Kampung (Baperkam) RW 008. Namun, karena Baperkam menjadi lumbung pangan, ruangan isolasi dipindah ke rumah warga yang tak terpakai. Selain ruang tamu dan kamar mandi, rumah itu juga memiliki dua kamar.
Seorang kuli yang baru pulang dari Kabupaten Indramayu pernah menempati rumah tersebut selama sepekan. Indramayu, berjarak sekitar 60 kilometer dari Cirebon, menjadi zona kuning dengan tingkat penyebaran Covid-19 cukup tinggi.
Bobby mengatakan, pihaknya juga menggalang lumbung pangan bagi sekitar 80 keluarga kurang mampu yang belum tersentuh bantuan pemerintah. ”Disebut lumbung pangan karena bisa bertahan beberapa pekan. Kalau bantuan sembako, hanya sekali pembagian,” katanya.
Setelah mengumumkan ke warga, dalam sepekan terkumpul bantuan senilai Rp 30 juta, termasuk uang kas dana abadi umat yang dikelola warga. ”Ini bantuan terbesar. Padahal, saat ini krisis. Inilah konsep dari warga untuk warga,” ujar Bobby.
Bantuan itu berupa 1.050 kilogram beras, 150 kg telur, 100 dus mi instan, dan tempe. Setiap hari Jumat, keluarga sasaran menerima beras 2,5 kg, 5 mi instan, telur 5 butir, dan tempe.
Disebut lumbung pangan karena bisa bertahan beberapa pekan. Kalau bantuan sembako hanya sekali pembagian.
Kalau keluarga penerima memiliki empat anak atau lebih, mi dan telur ditambah masing-masing lima buah. Warga paham, adil tidak mesti mendapatkan yang sama.
Hingga kini, menurut Bobby, pihaknya sudah menyalurkan delapan kali bantuan lumbung pangan. Bantuan itu turut meringankan 10 sampai 20 warga yang dirumahkan dan menjadi korban pemutusan hubungan kerja akibat pandemi Covid-19.
”Rencananya, program ini sampai akhir Juli. Tetapi, kalau masih ada donatur, nanti kami perpanjang,” ucapnya.
Berbagai upaya yang dilakukan warga berbuah manis. Hingga kini, sekitar 350 keluarga di RW 008 tidak terpapar Covid-19. Kelurahan tetangga, seperti Sunyaragi dan Pekiringan, justru termasuk lokasi penyebaran 13 kasus positif Covid-19. Kelurahan lainnya ialah Larangan (Kecamatan Harjamukti), Panjunan (Lemahwungkuk), Pekalipan (Pekalipan), serta Kejaksan dan Kesenden (Kejaksan).
Peningkatan kasus terjadi seiring pelonggaran pembatasan sosial berskala besar. Pusat perbelanjaan dan toko yang tidak berhubungan dengan farmasi serta bahan kebutuhan pokok diizinkan beroperasi dengan protokol kesehatan. Pos pengecekan bagi pendatang di daerah perbatasan sudah dibongkar.
Baca juga : Tak Ingin Berkabung, Punakawan Bergabung Melawan Covid-19
Bobby belum tahu sampai kapan upaya penanganan Covid-19 dilakukan di tingkat RW. Pernah, pihaknya membongkar posko sehari. Warga pun berkerumun dan pendatang bebas keluar masuk kampung tanpa masker. Posko pun kembali didirikan.
”Artinya, orang pakai masker bukan karena takut korona, tetapi karena ada posko. Kami ingin masker itu seperti pakaian. Bagaimana rasanya keluar rumah tanpa pakaian?” ujarnya.
Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati meminta warga mandiri menerapkan protokol kesehatan untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Apalagi, belum ada jaminan wabah Covid-19 akan selesai. ”Pasti Pemkot (Cirebon) belum sempurna mengamankan warganya. Tetapi, kami tetap berupaya sekuat tenaga,” ucapnya.
Pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Pelonggaran pembatasan sosial membuat ancamannya kian kentara. Upaya warga desa menghadapinya menjadi contoh kecil membendung serangan virus korona yang tak kunjung kendur.
Kami ingin masker itu seperti pakaian. Bagaimana rasanya keluar rumah tanpa pakaian?