Pemerintah Jangan Setengah Hati Ambil Kebijakan Penanganan Covid-19
Strategi-strategi yang dijalankan di negara-negara yang berhasil mengendalikan kasus Covid-19 sebenarnya telah dilakukan di Indonesia, tetapi masih setengah hati. Perlu ada skala prioritas tegas pada kesehatan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat secara mikro, termasuk di Jawa Tengah, dinilai tak efektif seiring lonjakan kasus Covid-19 yang tak terkendali. Rumah sakit-rumah sakit semakin dipenuhi pasien Covid-19. Sektor kesehatan harus menjadi prioritas penanganan dan kebijakan jangan lagi setengah hati.
Pemerhati kebijakan publik dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Cahyo Seftyono, mengungkapkan, sejumlah strategi kebijakan di negara-negara yang dinilai baik dalam menangani pandemi, seperti Bhutan, Selandia Baru, Taiwan, Siprus, dan Thailand, sebenarnya telah dilakukan Indonesia. Kebijakan itu seperti pembatasan ketat dan pelibatan masyarakat.
”Strategi-strategi itu sebenarnya sudah dijalankan, tetapi setengah hati. PPKM tetapi regional dan solidaritas warga hanya di beberapa daerah. Padahal, Covid-19 tidak memilih tempat,” kata Cahyo saat dihubungi di Semarang, Selasa (29/6/2021).
Oleh karena itu, ia mendorong kebijakan kolaboratif yang dikoordinasi oleh pemerintah pusat agar segala kebijakan berjalan optimal. Apabila menggantungkan harapan pada kesadaran warga, sebagian mungkin mau. Namun, kemampuan finansial warga berbeda-beda. Misalnya, ada warga yang masih memilih beras ketimbang masker.
”Hal-hal seperti itu perlu diantisipasi. Pandemi bisa menjadi momentum untuk menguatkan kolaborasi publik. Jadi, tidak sekadar pengetatan, tetapi warga juga dijamin kebutuhan hidupnya, seperti lewat jalur kolaborasi dengan swasta. Pemerintah pusat dapat membantu terkait finansial, kemampuan inovasi, dan kerja sama yang lebih luas,” kata dosen Ilmu Politik Unnes itu.
Menurut Cahyo, implementasi kebijakan selama ini memang menemui banyak tantangan. Adapun masyarakat secara umum terbagi dua. Pertama, warga yang sebenarnya ingin menaati pengetatan dan pembatasan, tetapi tidak bisa karena harus bekerja. Permasalahan ini perlu solusi kolaborasi skala besar.
Kategori kedua, warga yang tidak taat karena minimnya pengetahuan serta terpapar kabar bohong atau hoaks. Dalam menangani kelompok ini, kata Cahyo, pemerintah perlu lebih aktif dalam mengoptimalkan peran para ahli, seperti pakar kesehatan dan tenaga kesehatan, guna memberi edukasi, terutama melalui media yang dialogis atau tidak satu arah.
Pada akhirnya, Cahyo meyakini Menteri Kesehatan dan wadah pemikir Presiden Joko Widodo sebenarnya tahu apa yang harus dilakukan untuk menangani pandemi Covid-19. ”Hanya, perlu ada skala prioritas terkait kesehatan. Ekonomi tentu juga penting, tetapi setelah kebijakan prioritas terkait Covid-19 sudah berjalan maksimal,” katanya.
Perlu ada skala prioritas terkait kesehatan. Ekonomi tentu juga penting, tetapi setelah kebijakan prioritas terkait Covid-19 sudah berjalan maksimal. (Cahyo Seftyono)
Adapun lonjakan kasus Covid-19 di Jateng belum berhenti. Menurut data laman Corona.jatengprov.go.id, yang dimutakhirkan pada Selasa (29/6/2021) pukul 12.00, terdapat 251.604 kasus positif Covid-19 kumulatif di Jateng, dengan rincian 23.136 orang dirawat/isolasi (kasus aktif), 212.386 orang sembuh, dan 16.082 orang meninggal. Ada penambahan 2.932 kasus positif dalam 24 jam terakhir.
Jumlah kasus aktif meningkat lebih dari dua kali lipat dalam sebulan terakhir. Catatan Kompas, pada 31 Mei 2021 terdapat 9.185 kasus aktif di Jateng. Adapun kini sebanyak 23.136 kasus. Sebelumnya juga telah ditemukan varian Delta yang menular lebih cepat dari sampel warga Kabupaten Kudus. Sejumlah daerah lain juga mengirim sampel untuk diperiksa terkait varian baru Covid-19 itu.
Kedisiplinan rendah
Namun, lonjakan kasus Covid-19 tak diikuti peningkatan kepatuhan warga dalam menerapkan protokol kesehatan. Dari pantauan dalam sepekan terakhir di sejumlah daerah di Jateng, seperti Kota Semarang, Kabupaten Kudus, dan Pati, tak sulit menemukan warga yang tidak mengenakan masker atau memakainya dengan tidak benar, terutama banyak dilakukan warga di daerah yang jauh dari pusat kota.
Sebagian wilayah tingkat RT atau RW menerapkan PPKM mikro atau menutup jalan, tetapi hanya pada malam hari. Sementara pada siang hari, lantaran banyak warga yang harus bekerja, relatif minim pembatasan. Sejumlah pelaku usaha juga tetap membuka tempat usahanya di atas pukul 20.00 dan ”kucing-kucingan” dengan petugas.
Kepala Desa Bumirejo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Abdul Hadi menyebutkan, rendahnya kedisiplinan warga dalam menjalani protokol kesehatan memang menjadi kendala. ”Memang agak susah. Sudah ada imbauan. Namun, para warga yang sehat itu bilang sesak kalau pakai masker,” ujarnya.
Bahkan, Camat Bonang, Kabupaten Demak, Haris Wahyudi mengakui, hingga kini masih ada sebagian warga yang tidak percaya Covid-19 karena banyak menerima kabar bohong di ponselnya. ”Maka, kami edukasi terus. Selain itu, kami sadar, pengawasan sulit karena butuh SDM. Maka, kami fokus kerahkan tenaga di desa-desa yang zona merah. Sekarang, dari 21 desa di Bonang, alhamdulillah semua sudah oranye,” tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan, lebih dari 7.000 rukun tetangga (RT) di Jateng berkategori merah (banyak kasus Covid-19). Ia pun meminta seluruh RT tersebut ditutup atau lockdown dan tak boleh ada tawar-menawar. Selain itu, didorong gerakan untuk saling mengingatkan antarwarga.
Terkait pembatasan dengan skala lebih luas, yakni lockdown provinsi, Ganjar menyebutkan, kebijakan itu belum menjadi pilihan. ”Enggak. Saya meyakini pembatasan tidak bisa dengan teritori pemerintahan saja. Mesti satu pulau kompak. Maka, kami gerilya dari bawah. Sekarang, 7.000 RT lebih zona merah harus lockdown,” katanya, Senin (28/6/2021).