Menikmati Vegetasi Hutan Mangrove di Kota Pusat Industri
Vegetasi hutan mangrove di kota pusat industri, seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, bisa jadi pilihan menyepi. Mau di pantai, pulau, atau muara Bengawan Solo, semua memesona.
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung teratasi dan rutinitas harian yang menjemukan membuat sebagian orang butuh ruang untuk menyepi. Vegetasi hutan mangrove di kota pusat industri, seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, bisa jadi pilihan. Mau di pantai, pulau, atau muara Bengawan Solo, semua memesona.
Deru mesin perahu nelayan memecah keheningan hutan mangrove di Desa Banyuurip, Gresik, Jumat (11/6/2021). Burung-burung bersayap putih hinggap dan terbang silih berganti di antara rerimbunan daun. Kejutan sesekali datang saat sejumlah burung tiba-tiba meluncur kencang di atas permukaan sungai yang tenang.
”Itulah aksi burung kuntul yang tengah mencari makan. Burung itu menyambar ikan yang berenang di sungai dengan sangat cepat. Setelah dapat, ikan dibawa ke atas dahan dan dimakan dengan lahap,” ujar Fajar (42) kepada putranya, Dafa (12) dan Danendra (8).
Fajar, Dafa, dan Danendra merupakan wisatawan yang tengah berkunjung di Banyuurip Mangrove Center (BMC). Ekowisata hutan mangrove yang berada di muara Bengawan Solo itu memiliki beragam pesona. Di antaranya aksi burung-burung yang berburu ikan dan kegiatan membuat sarang, di tengah lebatnya hutan yang memiliki koleksi 17 jenis tanaman mangrove.
Hutan seluas 500 hektar atau dua setengah kali lebih besar dari luas mangrove di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) ini bisa disusuri dengan berperahu atau berjalan kaki. Tersedia jalan setapak yang terbuat dari kayu. Jalan itu memanjang hingga pantai pasir putih di muara sungai.
Baca juga: Surabaya Bangun Kebun Raya Mangrove
BMC merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Ujungpangkah yang luasnya mencapai 1.554,27 hektar dan tersebar di Desa Banyuurip, Pangkah Wetan, serta Pangkah Kulon. Baru-baru ini, KEE Ujungpangkah diusulkan menjadi situs Ramsar internasional karena kekayaan keanekaragaman hayatinya.
Selain memiliki 17 jenis tanaman mangrove, yang merupakan salah satu koleksi terlengkap di dunia, sabuk hijau yang membentang di pantai utara Laut Jawa ini menjadi habitat 72 jenis burung. Sebanyak 29 jenis burung di antaranya merupakan burung migran dari berbagai belahan dunia, seperti pelikan Australia dan trinil Mongolia.
Pengunjung yang kelelahan setelah berjalan menyusuri hutan bisa mampir di kafe. Tersedia aneka minuman yang diramu dengan bahan sirup mangrove. Buat yang suka ngopi, bisa memesan secangkir kopi mangrove. Seraya menyeruput kopi, cobalah mencicipi camilan hasil olahan ibu-ibu Desa Banyuurip.
”Ada stik mangrove, kerupuk kerang hijau, dan kerang hijau renyah (crispy),” ujar Ketua Kelompok KUBE Tirta Mandiri Desa Banyuurip, Zulisfaroh.
Baca juga: Rayuan Maut Hutan Mangrove
Apabila masih ingin berlama-lama di dalam hutan, wisatawan bisa beristirahat sejenak seraya membaca beragam koleksi buku di perpustakaan mini yang dikelilingi tanaman mangrove. Tersedia juga fasilitas ruang pertemuan yang luas dan asri, cocok untuk acara keluarga besar dan juga rapat kerja.
Kepala Desa Banyuurip Ihsanul Haris menambahkan, pesona wisata yang ditawarkan tidak hanya hutan mangrove. Bagi pengunjung yang tertarik melihat pola budidaya kerang hijau di muara Bengawan Solo, difasilitasi dengan perahu nelayan. Mereka bisa menyewa sendiri atau rombongan.
”Pesona lainnya, wisata edukasi tanaman mangrove, mulai dari mengenal bibit, cara menanam, hingga cara merawatnya. Dengan mengenal tanaman mangrove dan manfaatnya yang luar biasa bagi pelestarian lingkungan, diharapkan mampu menggugah kesadaran untuk turut serta memelihara,” kata Ihsanul.
Merawat mangrove, diakui Ihsanul, masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan meski hal itu sudah dilakukan warganya selama bertahun-tahun. Pengembangan wisata memang dipilih sebagai bagian dari upaya pelestarian. Namun, tantangannya sangat besar.
Salah satunya, harus mampu menahan diri dari ambisi mengejar kepentingan ekonomi agar hutan mangrove tidak tereksploitasi besar-besaran. Hal itu pula yang mendasari kepala desa dua periode ini tidak menargetkan perolehan pendapatan desa dari sektor pariwisata.
Baca juga: Menjual Pesona Muara Bengawan Solo
Menurut dia, dalam konsep pelestarian lingkungan, wisata menjadi bagian dari upaya mengembangkan resources (sumber daya) agar semakin kaya keanekaragaman hayatinya. Konsep wisata tidak dimaksudkan berlomba-lomba membangun resort (bangunan megah) yang justru berpotensi mengancam kelestarian alam.
Namun, implementasi konsep tersebut tidak mudah di tengah pragmatisme ekonomi yang berkembang saat ini. Daya tarik wisata mangrove di muara Bengawan Solo tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga investor dengan beragam kepentingannya.
”Bentang alam Ujungpangkah ini sudah dikelilingi oleh industri. Oleh karena itulah, upaya menanamkan kesadaran, pentingnya eksosistem mangrove, harus terus dilakukan lewat edukasi, sosialisasi, dan rasa memiliki,” ucap Ihsanul.
BMC saat ini menerapkan kebijakan pembatasan jumlah pengunjung. Selain mencegah sebaran Covid-19, juga meminimalkan dampak kerusakan lingkungan karena perawatan tanaman memerlukan usaha ekstrakeras. Ditambah lagi ancaman kerusakan sarana dan prasarana penunjang. Untuk membangun jalan setapak, misalnya, harus dipilih kayu berkualitas bagus yang tahan dengan dampak air laut.
Pantauan Kompas, kesadaran pengunjung membuang sampah pada tempatnya juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pengelola. Meski telah disediakan banyak tempat sampah, masih banyak pula ditemukan sampah, terutama plastik sekali pakai dan kemasan makanan yang dibuang sembarangan.
Vegetasi Pulau Lusi
Sekitar dua jam perjalanan darat dari muara Bengawan Solo, terhampar hutan mangrove di pesisir Sidoarjo. Hutan yang berada di muara Sungai Brantas ini memiliki pesona yang tak kalah menawan. Hal itu karena tempatnya di sebuah pulau yang dibuat dari material lumpur yang keluar dari perut bumi Sidoarjo.
Semburan lumpur panas yang menyembur sejak 2006 menghasilkan jutaan kubik material lumpur. Sebagian dialirkan ke Sungai Porong dan mengendap di muara, yakni Selat Madura. Endapan material lumpur itu kemudian dikeruk atau dialirkan untuk mengisi sebuah konstruksi bangunan yang didesain sebagai sebuah pulau. Pengisian material itu memakan waktu bertahun-tahun.
Pulau yang menurut berbagai sumber posisinya mengapung ini, permukaannya ditanami mangrove sehingga menjelma menjadi sebuah hutan yang rimbun. Berbagai penelitian telah dikembangkan di pulau yang luasnya mencapai sekitar 100 hektar ini. Salah satunya penelitian dampak lumpur pada ekosistem di muara Sungai Porong yang merupakan percabangan dari Sungai Brantas.
”Pulau Lumpur Sidoarjo atau Lusi dulu dikelola oleh Badan Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo dan menjadi bagian dari penanganan semburan lumpur. Saat ini, pulau tersebut berada dalam kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” ujar Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Sidoarjo Djoko Supriyadi.
Meski bukan kewenangan pemda, masyarakat Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon, diizinkan turut mengelola pengembangan Pulau Lusi sebagai destinasi wisata. Pemkab Sidoarjo juga berupaya maksimal mempromosikannya sehingga ekowisata hutan mangrove Pulau Lusi menjadi destinasi wisata terpopuler di Indonesia tahun 2019 dan mendapat Anugerah Pesona Indonesia Award dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
”Sebelum pandemi Covid-19, jumlah pengunjung Pulau Lusi bisa mencapai 1.000 orang pada akhir pekan. Tingginya tingkat kunjungan ini berdampak pada geliat ekonomi masyarakat disekitarnya,” ujar Supari dari bagian humas Kelompok Sadar Wisata Desa Kedungpandan.
Untuk mencapai pulau, pengunjung harus menempuh perjalanan berperahu dari Dermaga Tlocor yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota Sidoarjo. Pengunjung bisa bersantai sejenak menikmati panorama Sungai Porong dari dermaga selama menunggu perahu berangkat.
Berbeda dengan perjalanan menyusuri muara Bengawan Solo yang menggunakan perahu nelayan, di Dermaga Tlocor wisatawan dilayani dengan perahu khusus wisata. Perahu ini lebih nyaman dan aman karena dilengkapi pelampung. Perjalanan menuju pulau ditempuh 30-45 menit. Tarifnya sangat terjangkau, yakni Rp 15.000 per penumpang atau Rp 150.000 untuk perahu cepat berkapasitas lima orang.
”Tempatnya sejuk, rindang, dan tenang. Sangat cocok untuk menyepi sejenak dari hiruk-pikuk kota dan rutinitas kerja yang menjemukan,” kata Febriani (35), salah satu wisatawan.
Karyawan yang bekerja di salah satu pabrik di Sidoarjo ini mengaku sudah dua kali berkunjung ke hutan mangrove Pulau Lusi. Dia sangat terkesan dengan keasrian dan udaranya yang segar. Febri berpesan agar pengunjung sebaiknya tidak datang sendirian, tetapi mengajak serta teman atau keluarga. Selain itu, jangan lupa membawa bekal makanan karena di pulau tidak ada warung makan.
Pesona yang tak kalah menawan juga ditawarkan oleh Wisata Mangrove Surabaya di Wonorejo dan Gunung Anyar. Hutan mangrove seluas 200 ha yang dikelola sepenuhnya oleh Pemkot Surabaya ini memiliki fasilitas pendukung yang jauh lebih memadai dan dikunjungi ribuan wisatawan setiap akhir pekan.
Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik merupakan jantung ekonomi Jatim. Lebih dari 60 persen pertumbuhan ekonomi Jatim ditopang oleh sektor industri. Adapun lebih dari 50 persen industri di Jatim tersebar di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Jumlah pabrik di Sidoarjo dan Gresik lebih dari dua kali lipatnya jumlah desa dan kelurahan.
Nah, jika penasaran dengan daya tarik vegetasi hutan yang menyerap karbon lebih banyak ini, silakan mengunjunginya. Jangan lupa bantu pula pelestariannya demi keberlangsungan kehidupan masa kini dan nanti.