Rayuan Maut Hutan Mangrove
Pulau yang menjadi tempat pembuangan lumpur panas itu pun menjelma menjadi tujuan wisata mangrove populer di Indonesia.
Hamparan hutan mangrove di atas pulau lumpur di muara Laut Jawa berhasil merayu para pemilih di ajang Anugerah Pesona Indonesia 2019. Pulau yang menjadi tempat pembuangan lumpur panas itu pun menjelma menjadi tujuan wisata mangrove populer di Indonesia.
Petak 8 Selat Madura, Rabu (4/12/2019) siang hari. Seekor camar mengepakkan sayap, mengangkasa. Burung migran itu terbang menjauh saat rombongan wisatawan menjejakkan kaki di pulau yang terbuat dari endapan aluvial lumpur panas Sidoarjo yang dikenal sebagai Pulau Lusi.
”Serasa di luar Jawa, padahal masih di Sidoarjo,” celetuk Ratih (40), wisatawan asal Kalimantan yang lama tinggal di Sidoarjo. Temannya menimpali, ”Seperti di hutan yang jauh dari peradaban. Ada sungai berwarna hijau seperti di film dokumenter.”
Selama berada di Pulau Lusi, para wisatawan menjelajahi Pusat Restorasi dan Pembelajaran Mangrove. Kawasan ini awalnya dibangun untuk pengembangan wisata berwawasan lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk penelitian, pembelajaran, dan pelestarian mangrove. Di dalamnya terdapat banyak spot foto menarik, seperti di jembatan, gazebo, atau menara pandang yang instagramable.
Ada juga tambak wanamina seluas 4,9 hektar yang berpotensi dikembangkan menjadi kolam pemancingan. Tujuan awal pembuatan tambak ini untuk meneliti pengaruh lumpur terhadap biota di Sungai Porong dan Laut Jawa. Di dalamnya terdapat beragam ikan, termasuk bandeng yang menjadi komoditas perikanan unggulan petambak Sidoarjo.
Setelah lelah berkeliling, wisatawan melepas penat di gazebo, sebagian duduk di bawah pohon mangrove. Di sana ada sebuah gazebo besar yang bisa dimanfaatkan untuk acara bersama. Fasilitas dasar seperti kamar mandi dan mushala pun tersedia.
Suasana pulau sebagai tujuan wisata ekologis tak terbayangkan hadir di muara Laut Jawa, tepatnya di hilir Sungai Porong. Alih-alih berwisata, dulu, dikasih hadiah pun orang enggan ke sana. Selama bertahun-tahun bagian hilir sungai yang menjadi pecahan dari Sungai Brantas itu menjadi tempat pembuangan lumpur panas yang menyembur dari perut bumi Sidoarjo.
Perubahan muncul ketika warga Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon, melalui kelompok sadar wisata (pokdarwis) bertekad mengelola pulau sebagai obyek wisata. Ini lompatan luar biasa dari warga yang sehari-hari mengelola tambak atau menjadi nelayan.
Ketua Humas Pokdarwis Desa Kedungpandan Supari mengatakan, masyarakat ingin pengembangan Pulau Lusi sebagai obyek wisata dilakukan secara cepat agar berdampak terhadap ekonomi warga. Namun, sejak dibentuk pokdarwis pada 2012, Pemkab Sidoarjo dan juga pemerintah pusat tak kunjung bergerak.
Akses menuju Dermaga Tlocor, di Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon, dan area singgah sebelum ke Pulau Lusi tak kunjung dibangun. Padahal, Dermaga Tlocor menjadi satu-satunya pelabuhan sungai untuk menuju Pulau Lusi. Jalur darat pun tidak ada. ”Sebagus apa pun daya tarik tujuan wisata, tanpa akses memadai, sulit merayu wisatawan untuk datang,” katanya.
Warga akhirnya menghimpun dana pribadi dimulai dari pokdarwis yang beranggotakan 63 orang. Dana yang terkumpul digunakan untuk membangun sarana dan prasarana penunjang, seperti memperbaiki plengsengan Dermaga Tlocor dan membeli perahu wisata. Perahu mereka beli karena yang ada hanya perahu nelayan yang tidak standar dan tidak dilengkapi alat keselamatan penumpang.
”Uang terkumpul lebih dari Rp 4 miliar. Uang itu murni dari kantong pribadi karena warga tidak mau menjadi penonton di kampung sendiri jika kelak tujuan wisata ini menjadi besar,” tutur Supari.
Pengadaan empat perahu wisata dan tiga perahu cepat menghabiskan dana Rp 2,5 miliar. Total belanja yang dikeluarkan Pokdarwis Kedungpandan untuk pengadaan perahu, perbaikan dermaga, dan pembangunan kantor mencapai Rp 5 miliar.
Selain saham anggota pokdarwis, modal usaha diperoleh dari pinjaman Dana Desa Rp 100 juta dan pinjaman Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Rp 300 juta. Untuk pengembangan lanjutan, masyarakat desa kini mulai menabung.
Setelah membangun sarana dan prasarana penunjang pariwisata, Pokdarwis Kedungpandan mendesak Pemkab Sidoarjo segera turun tangan. Melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Sidoarjo, mereka mengusulkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar membangun dermaga apung dan infrastruktur dasar di Pulau Lusi.
Populer
Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Sidoarjo membantu promosi wisata. Salah satunya melalui Anugerah Pesona Indonesia (API) Award yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Atas upaya tersebut, pulau seluas 94 hektar itu dinobatkan sebagai tujuan wisata mangrove terpopuler kedua setelah Mangrove Forest Park Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh.
Penghargaan yang diserahkan akhir November 2019 itu membuat obyek wisata Lusi populer. Banyak orang penasaran dan berkunjung.
Supari mencatat, kunjungan wisatawan pada akhir pekan dan hari libur menembus angka 3.000 orang dalam sehari. Perahu yang tersedia kewalahan melayani wisatawan.
Selain lanskap hutan mangrove, daya tarik Lusi adalah fenomena alam dan nonalam yang memengaruhi proses pembentukan pulau baru tersebut. Sebelumnya, Sidoarjo hanya memiliki Pulau Sarinah seluas 6 hektar di muara Laut Jawa. Pulau Lusi berdampingan dengan Sarinah, hanya terpisah sungai kecil.
Nama Lusi diberikan oleh Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti saat pulau yang luasnya terus bertambah karena endapan lumpur itu secara resmi diserahkan kepada KKP tahun 2017. Sebelumnya, pulau ini bernama Tanjung Lumpur dan dikelola Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), lembaga di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bertugas menangani semburan lumpur panas di Sidoarjo.
Pulau yang kini luasnya diprediksi lebih dari 100 hektar itu awalnya didesain sebagai tempat pembuangan lumpur panas. Hal itu disebabkan terbatasnya daya tampung danau penampungan di sekitar pusat semburan. Sebagai gambaran, luas area danau penampungan lumpur saat ini 671 hektar. Lumpur telah merendam 19 desa di tiga kecamatan: Porong, Jabon, dan Tanggulangin.
Seperti diketahui, lumpur panas tiba-tiba menyembur dari sepetak sawah di Desa Siring, Kecamatan Porong, Senin, 29 Mei 2006. Lumpur bersuhu 70 derajat celsius bercampur gas dengan bau menyengat itu berada di kawasan sumur pengeboran minyak dan gas Banjar Panji I yang dikelola Lapindo Brantas Inc. Di wilayah Blok Brantas, Lapindo mengelola lebih dari 20 sumur pengeboran migas.
BPLS mencatat volume semburan lumpur panas mencapai 50.000 metrik ton, bahkan pernah menembus 100.000 metrik ton per hari. Volume lumpur panas yang keluar setiap hari itu setara dengan 6.250-12.500 truk dam kapasitas delapan meter kubik.
Pembuangan lumpur secara masif selama bertahun-tahun menghasilkan endapan tinggi di muara Sungai Porong. Agar endapan tak memicu masalah baru, misalnya menghalangi aliran air menuju ke laut, lumpur disedot dengan kapal keruk dan dimasukkan ke wadah besar yang dibangun. Lumpur dalam wadah inilah yang kini menjadi Pulau Lusi.
Proses pembuatan pulau berlangsung 2008-2011. Agar pulau bisa ditanami, permukaannya diuruk tanah dan pasir.
Saat Kompas menginjakkan kaki pertama kali di pulau lumpur, tahun 2015, kondisinya masih labil. Luas daratan pulau kerap berubah karena abrasi. Upaya menstabilkan pulau dengan penanaman mangrove sebagai benteng alami penahan abrasi sudah dilakukan. Namun, tanaman masih kecil sehingga akarnya belum menancap kuat.
Saat itu kaki sulit menginjak daratan karena ketinggian air lebih dari 70 sentimeter. Sejauh mata memandang hanya pucuk daun mangrove yang bergerak-gerak mengikuti arus laut.
Perlu kerja keras
Keberhasilan program penanaman mangrove membuat Pulau Lusi bertransformasi menjadi tujuan wisata dengan beragam daya tarik yang memikat. Untuk mencapai pulau, pengunjung harus berkendara dengan mobil pribadi ke Dermaga Tlocor, sekitar 30 kilometer dari Bandara Juanda atau sekitar 20 kilometer dari pusat kota Sidoarjo.
Belum ada angkutan umum ke dermaga itu. Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Sidoarjo hanya memiliki satu bus pariwisata tua dan tanpa penyejuk ruangan.
Dari Tlocor, pengunjung berganti moda menggunakan bus air, perahu berkapasitas 24 orang, atau perahu cepat berkapasitas lima orang yang bisa disewa pribadi atau rombongan. Tarif bus air Rp 20.000 per penumpang, sedangkan perahu cepat Rp 125.000 per perahu. Penumpang akan diantar ke pulau dan dijemput untuk kembali ke Dermaga Tlocor.
Perjalanan dengan perahu wisata sangat nyaman. Sejauh mata memandang tampak permukaan air Sungai Porong yang jernih dan bersih dari sampah rumah tangga. Di sepanjang aliran sungai terbentang hutan bakau yang menjadi habitat burung-burung.
”Kunjungan wisatawan dilayani pukul 07.00-16.00. Wisatawan tidak boleh menginap karena masih minim sarana dan prasarana, belum ada listrik dan air bersih terbatas,” kata Alfina Damayanti dari Humas Pokdarwis Kedungpandan.
Supari menuturkan, untuk mengoptimalkan pengembangan Pulau Lusi sebagai obyek wisata, KKP ingin menggandeng investor dari luar daerah. Namun, pokdarwis keberatan karena masyarakat Desa Kedungpandan ingin menjadi tuan di kampung sendiri.
Komitmen menjadi tuan di kampung sendiri dibuktikan dengan mengumpulkan modal. Namun, warga belum tahu cara mengasah pengetahuan dan keterampilan di bidang pariwisata. ”Masyarakat butuh bimbingan untuk mengelola wisata Pulau Lusi agar berkembang dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ucap Supari.
Ketua Pokdarwis Kedungpandan Kasum menambahkan, pengembangan wisata Pulau Lusi diharapkan menjadi berkah dari bencana lumpur panas. Dengan menjadi tujuan wisata andalan, Lusi diyakini mampu memberdayakan ekonomi penduduk lokal melalui peluang pembukaan beragam usaha, seperti pasar ikan, warung kuliner, suvenir, dan oleh-oleh khas Sidoarjo.
Kini tantangannya adalah membuat wisatawan senang dan mau datang kembali. Setidaknya bersedia mempromosikan Pulau Lusi kepada orang-orang lain.
Selain itu, mampukah rayuan hutan mangrove di tempat pembuangan lumpur panas itu menaklukkan hati para pemangku kepentingan untuk bersinergi melengkapi infrastruktur dan merealisasikan komitmen mengembangkan pariwisata?