Penyaluran Bantuan bagi Warga Miskin di Sumsel Belum Merata
Distribusi bantuan bagi keluarga miskin di Sumsel belum merata. Belum baiknya sistem pendataan keluarga miskin menjadi penyebab distribusi bantuan masih kerap salah sasaran.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Distribusi bantuan bagi keluarga miskin di Sumsel belum merata. Belum baiknya sistem pendataan keluarga miskin menjadi penyebab distribusi bantuan masih kerap salah sasaran. Pemerintah berupaya membenahi sistem pendataan agar keluarga miskin tidak semakin terpuruk, terutama pada situasi pandemi.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Tim Koordinasi Penanggulangan Kemisikinan (TKPK) Provinsi Sumatera Selatan di Palembang, Selasa (22/6/2021). Dalam pertemuan itu, Koordinator Fungsi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan Timbul Silitonga mengatakan, situasi pandemi cukup berpengaruh pada kehidupan masyarakat di Sumatera Selatan. Ini terlihat dari jumlah warga miskin di Sumsel yang meningkat cukup signifikan.
BPS mencatat pada September 2020, jumlah warga miskin di Sumsel mencapai 1.119.650 orang atau 12,98 persen dari total penduduk di Sumsel, yakni 8,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni 1.067.160 orang atau 12,56 persen.
Peningkatan angka kemiskinan ini dipengaruhi sejumlah faktor, tetapi yang paling utama adalah situasi pandemi yang berdampak pada melemahnya pertumbuhan ekonomi. ”Karena tingkat kemiskinan memiliki korelasi yang cukup kuat dengan pertumbuhan ekonomi suatu daerah,” ucapnya.
Sejak kuartal II-2020, pergerakan ekonomi di Sumsel terus terkontraksi. ”Bahkan walau mengalami tren perbaikan, pada kuartal I-2021, pertumbuhan ekonomi di Sumsel masih terkontraksi 0,41 persen.”
Dalam kondisi seperti ini, intervensi dari pemerintah sangat dibutuhkan utamanya adalah bantuan pangan. ”Bantuan ini sangat dibutuhkan untuk meringankan beban pengeluaran yang mereka pikul,” ucapnya.
Timbul menyarankan agar bantuan yang diberikan lebih ke komoditas pangan karena jika itu sudah terpenuhi, warga bisa menjalani aktivitas mereka dengan lebih produktif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan diharapkan dapat membantu mereka keluar dari kungkungan garis kemiskinan.
Bedasarkan data, ujar Timbul, kontribusi pengeluaran terbesar bagi warga Sumsel adalah pangan, yakni sekitar 74,49 persen dibandingkan peranan komoditas bukan makanan yang berkontribusi sekitar 25,51 persen. Adapun angka garis kemiskinan di Sumsel per September 2021 sekitar Rp 441.259 per orang per bulan.
Dari jumlah itu, sebanyak Rp 328.710 untuk makan dan Rp 112.549 untuk komoditas non pangan. ”Jika di bawah angka itu, maka warga tersebut bisa dikatakan miskin atau sangat miskin,” kata Timbul.
Belum merata
Hanya saja, ujar Timbul, penyaluran bantuan dari pemerintah kepada masyarakat miskin di Sumsel belum merata. Bahkan BPS mencatat baru 20,92 persen rumah tangga miskin di Sumsel yang menerima dan memanfaatkan bantuan pangan non tunai/program sembako.
BPS mencatat baru 20,92 persen rumah tangga miskin di Sumsel yang menerima dan memanfaatkan bantuan pangan non tunai/program sembako. (Timbul Silitonga)
Padahal bantuan ini sangat dibutuhkan, terutama bagi mereka yang berada dalam golongan sangat miskin. Di Sumsel ada sekitar 4,11 persen warganya yang berada dalam kategori sangat miskin. ”Mereka biasanya tinggal di hunian yang belum layak dan bahkan tidak makan tiga kali sehari,” kata Timbul.
Namun, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, menurut Timbul, tidak bisa diselesaikan secara parsial tetapi harus menyeluruh dan komprehensif. Mulai dari memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang baik sehingga di masa produktif, warga miskin dapat bekerja dengan optimal sehingga bisa lepas dari garis kemiskinan.
Wakil Gubenur Sumatera Selatan Mawardi Yahya menegaskan, permasalahan kemiskinan di Sumsel baru bisa teratasi dengan pendataan yang benar. ”Sekuat apa pun program pengentasan masyarakat kemiskinan jika tidak disokong dengan pendataan yang baik maka akan percuma,” ujar Mawardi.
Dirinya masih menemui banyak kasus adanya kepada desa yang memasukan nama sanak-keluarganya dalam daftar penerima bantuan padahal mereka sudah berkecukupan. Sebaliknya, warga yang tidak dekat dengan kepala desa atau bahkan tidak memilih dia, akan dikeluarkan dari daftar keluarga miskin walaupun mereka memang sangat membutuhkan. ”Pendataan harus dilakukan secara menyeluruh dan benar-benar turun ke lapangan agar bantuan tidak salah sasaran,” ujar Mawardi.
Dia pun heran, beragam bantuan sudah diberikan, tetapi angka kemiskinan tidak kunjung turun. Karena itu, dia berharap semua pemangku kepentingan bersinergi untuk melakukan pemuktahiran data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dari tingkat terkecil hingga angka data warga miskin bisa lebih akurat. ”Lakukan skema by name by address,” ujar Mawardi.
Kepala Dinas Sosial Sumatera Selatan Mirwansyah menjelaskan, sampai saat ini, pembenahan pendataan DTKS terus dilakukan. Pembenahan yang dimaksud adalah pemadanan data dengan pemangku kepentingan lainnya seperti dengan dinas kependudukan dan pencatatan sipil.
Dari 17 kabupaten/kota di Sumsel baru Kota Lubuk Linggau yang sudah selesai melakukan perbaikan DTKS, sedangkan lainnya masih pada kisaran 56,42 persen sampai 99,76 persen. ”Perbaikan DTKS harus dilakukan karena bantuan baru bisa tersalurkan jika data kependudukan sudah lengkap,” ucapnya.
Mirwansyah mengatakan, proses penyaluran bantuan juga harus diawasi agar tidak salah sasaran bukan hanya terkait orang yang menerima manfaat, melainkan juga terkait pemanfaatannya. Karena ada juga orang yang menerima bantuan pangan, tetapi digunakan untuk membeli rokok. ”Inilah yang harus diantisipasi sehingga warga miskin ini tidak semakin terpuruk terutama akibat pandemi,” ucapnya.