Tak Ada Anggaran, Sultan HB X Batal Berlakukan ”Lockdown” di DIY
Sejak Rabu (16/6/2021), jumlah kasus korona di Daerah Istimewa Yogyakarta selalu melebihi 500 kasus dalam sehari.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X batal menerapkan lockdown atau karantina wilayah di provinsi tersebut. Alasannya, Pemda DIY tidak memiliki anggaran untuk menanggung biaya hidup masyarakat selama lockdown. Padahal, sebelumnya Sultan sempat mewacanakan penguncian wilayah karena lonjakan kasus Covid-19 di DIY.
”Ya, enggak (lockdown). Enggak ada kalimat lockdown. Saya enggak kuat suruh ngeragati (membiayai) rakyat se-Yogyakarta,” ujar Sultan HB X seusai rapat dengan bupati dan wali kota di DIY, Senin (21/6/2021) sore, di Yogyakarta.
Sebelumnya, Jumat (18/6/2021), Sultan HB X sempat mewacanakan penerapan lockdown karena tingginya jumlah kasus Covid-19 di DIY selama beberapa hari terakhir. ”Kami sudah mengontrol di tingkat RT dan RW. Kalau gagal, terus arep apa meneh (mau apa lagi)? Kami belum bisa cari jalan keluar. Salah satu caranya, ya, lockdown totally (karantina wilayah total),” kata Sultan saat itu.
Akan tetapi, pada Senin sore, Sultan mengatakan, lockdown merupakan pilihan terakhir untuk mengatasi penularan Covid-19 yang sedang melonjak. Sultan menyebutkan, pemerintah tidak akan kuat membiayai kebutuhan hidup masyarakat selama lockdown.
Beberapa hari terakhir, DIY mengalami lonjakan kasus Covid-19 yang sangat signifikan. Sejak Rabu (16/6/2021), jumlah kasus korona di DIY selalu melebihi 500 kasus dalam sehari. Padahal, sebelumnya, kasus di DIY belum pernah melebihi 500 kasus dalam satu hari.
Pada 16 Juni, menurut data Dinas Kesehatan DIY, tercatat ada 534 kasus baru yang merupakan rekor kasus baru dalam sehari. Keesokan harinya atau Kamis (17/6), rekor kasus baru Covid-19 di DIY kembali pecah dengan jumlah 595 kasus dalam sehari.
Dua hari kemudian atau Sabtu (19/6), rekor kasus baru di DIY kembali pecah dengan 638 kasus. Ini juga kali pertama kasus Covid-19 di provinsi tersebut tembus 600 kasus sehari. Pada Minggu (20/6), kasus harian lagi-lagi pecah rekor dengan 665 kasus. Senin ini, jumlah kasus baru Covid-19 di provinsi itu juga masih tinggi, yakni 662 kasus.
Untuk mengatasi lonjakan kasus Covid-19 di DIY, Sultan mengatakan, Pemda DIY tetap menerapkan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro. Dengan kebijakan itu, diharapkan mobilitas masyarakat di wilayah rukun tetangga (RT) zona merah atau risiko tinggi penularan Covid-19.
”Kami ingin membatasi mobilitas masyarakat supaya tidak terjadi kerumunan,” kata Sultan yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta.
Usulan epidemiolog
Sebelum menggelar rapat dengan bupati dan wali kota di DIY, Sultan HB X terlebih dulu bertemu dengan sejumah pengelola rumah sakit dan pakar kesehatan pada Senin siang. Pertemuan itu juga membahas tentang lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi selama beberapa hari terakhir di DIY.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, mengatakan, dalam pertemuan itu, dirinya mengusulkan ada kebijakan menghentikan mobilitas 70 persen masyarakat DIY selama sekitar tiga minggu. Penghentian mobilitas itu penting untuk mengendalikan penularan Covid-19 yang akhir-akhir ini meningkat drastis.
”Kalau dari kami sudah cukup jelas karena peningkatan penularan ini, kan, kaitannya dengan mobilitas yang tinggi. Satu cara untuk mengendalikan penularan yang sedang tinggi adalah dengan menghentikan mobilitas,” ujar Riris seusai pertemuan.
Riris memaparkan, di sejumlah negara, seperti Vietnam dan Selandia Baru, kebijakan penghentian mobilitas masyarakat terbukti efektif mengendalikan penularan Covid-19. Oleh karena itu, kebijakan penghentian mobilitas juga bisa diterapkan di DIY untuk menurunkan penularan yang sedang terjadi.
”Di berbagai tempat, itu (penghentian mobilitas) terbukti (menurunkan penularan). Kalau kita bicara Vietnam dan Selandia Baru, begitu ada peningkatan kasus, mereka langsung menghentikan mobilitas,” ujarnya.
Kebijakan penghentian mobilitas itu bisa diberi nama lockdown atau karantina wilayah, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), atau istilah lain. Apa pun namanya, kata Riris, kebijakan tersebut harus bisa menghentikan mobilitas minimal 70 persen masyarakat selama tiga minggu.
Menurut Riris, angka 70 persen itu diambil dari konsep herd immunity atau kekebalan kelompok. Seperti diketahui, untuk mencapai herd immunity, dibutuhkan vaksinasi terhadap minimal 70 persen populasi. Oleh karena itu, jika 70 persen masyarakat bisa dihentikan mobilitasnya selama dua kali masa inkubasi atau sekitar tiga minggu, akan tercipta efek semacam efek herd immunity karena virus SARS-CoV-2 akan kesulitan menemukan orang untuk ditulari.
Untuk menghentikan mobilitas itu, Pemda DIY bisa menerapkan sejumlah kebijakan, misalnya bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah. Selain itu, Pemda DIY bisa melarang kegiatan sosial yang berpotensi mengumpulkan banyak orang.
Bahkan, pemda juga bisa menerapkan kebijakan larangan berkumpulnya warga dalam jumlah tertentu. ”Kalau kita becermin di Eropa, begitu ada kebijakan untuk meristriksi (membatasi) mobilitas, kumpulan-kumpulan di atas tiga orang itu dilarang,” katanya.