Harga bawang merah kualitas A menyentuh Rp 16.000 per kilogram di tahun ini. Harga itu di bawah perkiraan. Dua tahun lalu, harga bawang merah melonjak ke angka Rp 24.000 per kilogram.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI DAN DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Tergiur harga tinggi, petani memaksakan menanam bawang merah walau bukan pada musimnya. Akibatnya, mereka buntung karena harga tak seperti yang diharapkan. Daya dan upaya terus dilakukan agar bisa bertahan.
Harga bawang merah kualitas A menyentuh Rp 16.000 per kilogram di tahun ini. Harga itu di bawah perkiraan. Dua tahun lalu, harga bawang merah melonjak ke angka Rp 24.000 per kilogram. Petani pun ramai-ramai menanam bawang. Kebijakan pelarangan impor bawang merah menambah gairah petani menanam bawang merah karena memprediksi harga akan naik.
Guna mengejar angka panen tinggi, petani mengabaikan pola tanam. Menanam di musim hujan adalah salah satunya. Padahal, menurut Ketua Asosiasi Bawang Merah Jawa Timur Akat, periode tanam di musim hujan bukan masa tanam ideal.
Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Nganjuk Agus Sulistyo membenarkan, sampai akhir Mei ini bukan musim tanam ideal untuk bawang merah (off season). Namun, petani tetap menanamnya. Kondisi itu diperparah terjadinya La Nina yang berimplikasi hujan masih kadang turun meski telah memasuki musim kemarau. Akibatnya, hasil panen tak maksimal.
Wiwiek, petani bawang merah dari Kaliulo, Kabupaten Nganjuk, merasakan sendiri kegagalan panen itu. Akibat hujan yang berkepanjangan hingga musim kemarau, hasil panen yang diperoleh pada awal Juni ini hanya 1 ton per 1.400 meter persegi atau 7 ton per hektar. Hasil panen itu turun hampir 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu 10 ton-12 ton per hektar.
Selain produksi turun, harga bawang konsumsi juga jatuh. Bawang kualitas super hanya Rp 15.000 per kilgoram, sedangkan kualitas di bawahnya Rp 10.000-Rp 12.000 per kilogram. Pandemi Covid-19 membuat daya beli warga menurun drastis. Pasar rumah tangga sepi. Industri penyerap bawang merah ikut terimbas.
Setelah dihitung, kerugian per 1.400 meter persegi tanaman bawang merah mencapai Rp 7 juta dengan asumsi harganya Rp 10.000 per kilogram.
Berkaca pada kasus kerugian panen, Dinas Pertanian Nganjuk pun menggencarkan sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya mematuhi pola tanam. Seharusnya petani masih menanam padi dan baru mulai menanam bawang pada pertengahan Juni ini.
Beragam daya juga sudah dikerahkan oleh Dinas Pertanian Provinsi Jatim untuk menyelamatkan petani. Untuk jangka pendek, Dinas Pertanian Jatim juga berupaya menciptakan stabilitas harga produk sayuran dengan memantau ketersediaan pasokan dan daya serap pasar melalui koordinasi lintas institusi.
Upaya menjaga stabilisasi ketersediaan bawang merah disinergikan dengan aspek-aspek peningkatan teknologi produksi hingga pengembangan produk olahan dan penguatan kelembagaan petani serta pelaku usaha hortikultura.
Pengembangan usaha tani berbasis korporasi juga tengah digarap. Korporasi petani ini selain memberi jaminan pasar, berpotensi pula meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan mengembangkan produk turunan. Juga meningkatkan kesejahteraan petani dengan menghadirkan pertanian yang maju, mandiri, dan modern.
Jika produk sayuran berupa bawang merah masih megap-megap, lain halnya dengan produk olahan bawang merah. Sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pengolahan bawang merah mulai bermunculan saat harga bawang merah rendah. Produk bawang merah pun diolah menjadi bawang merah goreng ataupun camilan bawang merah dan produknya dijual ke supermarket di sejumlah kota.
Salah satu pengusaha olahan bawang merah asal Desa Kalirejo, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, adalah Nurul Khotimah (43). Ia merintis usaha bawang merah goreng sejak tahun 2011 dengan kapasitas bahan baku produksi 5-10 kilogram. Kini, ia sudah memproduksi bawang merah goreng untuk sayur dan untuk camilan dengan kebutuhan bawang merah segar sebanyak 400 kilogram per hari.
”Saat awal mulanya merintis usaha ini, saya melihat bahwa bawang tidak bagus dahulu langsung dibuang. Dikasihkan ke orang juga tidak mungkin karena orang sini rata-rata petani bawang. Melihat hal itu, tebersit pemikiran untuk mengolah bawang agar bisa menjadi makanan yang lebih tahan lama dan menjadi oleh-oleh khas Probolinggo,” kata Nurul.
Pasar produk camilan dan olahan bawang merah milik Nurul sudah menjangkau supermarket-supermarket besar di sejumlah kota, seperti Malang, Surabaya, dan daerah lain. Ia juga pernah mengisi produk bawang merah di toko ritel terkemuka Tanah Air.
”Selama pandemi ini, tahun 2020, kami mengirim bawang merah goreng ke Jepang sebanyak 1,5 ton. Kami support ke eksportir, belum ekspor sendiri. Namun, kami bertekad ingin ekspor sendiri jika sudah menemukan pembeli yang tepat,” kata Nurul.
Selama pandemi ini, tahun 2020, kami mengirim bawang merah goreng ke Jepang sebanyak 1,5 ton.
Nurul menunjukkan bahwa inovasi dan tekad kuatnya berusaha menjadikan olahan bawang merah bisa juga diekspor. Menurut dia, butuh niat dan ketekunan agar usaha olahan bawang merah bisa berhasil. ”Saat ini sudah mulai banyak UMKM bawang merah seperti kami. Banyak juga warga di sekitar sini turut membantu mengupas bawang merah kami. Artinya, usaha ini tidak hanya untuk keuntungan sendiri,” kata istri petani bawang merah tersebut.
Di tengah kondisi yang tak menguntungkan, setidaknya ada satu celah yang bisa dimanfaatkan. Saat hulu bawang merah terpuruk, kondisi hilir bisa dimanfaatkan lebih baik untuk bertahan.