Gugatan Warga Terkait Lapangan Merdeka Masuki Sidang Lapangan
Majelis Hakim PN Medan melakukan peninjauan di Lapangan Merdeka untuk melihat fakta Lapangan Merdeka sesuai dalil yang diajukan penggugat dalam gugatan warga terkait penetapan cagar budaya Lapangan Merdeka, Medan.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Gugatan warga (citizen lawsuit)Lapangan Merdeka Medan agar dijadikan cagar budaya memasuki sidang lapangan (descente), Kamis (10/6/2021). Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Dominggus Silaban dengan anggota Martua Sagala dan Diana Panjaitan melakukan peninjauan di Lapangan Merdeka untuk melihat fakta Lapangan Merdeka sesuai dalil yang diajukan penggugat.
Para hakim didampingi kuasa hukum penggugat dan sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumatera Utara berkeliling Lapangan Merdeka untuk mengecek situasi yang terjadi. ”Majelis menemukan akses menuju Lapangan Merdeka ada yang tertutup sehingga sulit diakses publik,” kata kuasa hukum penggugat Redyanto Sidi.
Selain itu, bangunan komersial juga mengeliling Lapangan Merdeka, seperti kawasan kuliner Merdeka Walk dan kios-kios penjualan buku. Selepas peninjauan perwakilan dari pihak tergugat, yakni Pemerintah Kota Medan, baru hadir di lokasi dan sempat ditegur oleh majelis hakim.
Sidang lapangan itu juga didampingi petugas kepolisian dan keamanan dari kelurahan setempat untuk mengamankan jalannya sidang. Sidang lanjutan dengan agenda kesimpulan dari penggugat dan tergugat akan dilaksanakan pada 23 Juni 2021.
Gugatan warga itu dilakukan oleh Prof Usman Pelly dan Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumatera Utara Peduli Lapangan Merdeka Medan diwakili oleh kuasa hukum Redyanto Sidi, Novri Andri Akbar, Ramadianto, dan Jaka Kelana yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Humaniora.
Majelis menemukan akses menuju Lapangan Merdeka ada yang tertutup sehingga sulit diakses publik.
Dalam beberapa sidang sebelumnya, telah hadir tiga saksi ahli, di antaranya Kepala Balai Arkeologi Medan Ketut Wiradnyana dan ahli kebijakan publik Universitas Sumatera Utara Muhammad Husni.
Gugatan dilakukan untuk menuntut revisi atau peninjauan kembali Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Medan tahun 2011-2031 dan memasukkan Tanah Lapang Merdeka Medan seluas 4,88 hekta ke daftar Cagar Budaya dan atau menerbitkan Keputusan Wali Kota Medan untuk menetapkan Tanah Lapang Merdeka Medan seluas 4,88 hektar sebagai cagar budaya.
Gugatan warga dilakukan setelah berbagai upaya yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumatera Utara untuk memerdekakan alun-alun kota dari kepungan aktivitas bisnis belum berhasil. Koalisi bahkan telah menerbitkan buku Lapangan Merdeka Medan: Ruang Pubik, Warisan Sejarah dan Budaya yang berisi kumpulan tulisan tentang Lapangan Merdeka dari berbagai sisi berikut perjuangan koalisi selama ini memerdekakan Lapangan Merdeka.
Redyanto mengatakan, situasi yang terjadi saat ini berpotensi mengurangi nilai historis Lapangan Merdeka sebagai tempat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pertama kali dibacakan di Sumatera Timur. Bahkan anak-anak milenial lebih mengenal kawasan kuliner Merdeka Walk daripada Lapangan Merdeka itu sendiri. Fungsi ruang terbuka hijau tereduksi karena pengalihan ruang terbuka hijau menjadi ruang terbuka nonhijau.
”Pemkot Medan telah menentapkan daerah Kesawan yang berujung di Lapangan Merdeka sebagai kawasan heritage, namun Lapangan Merdeka tidak disebut,” kata Redyanto.
Sebelumnya, Kepala Bidang Aset Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemkot Medan Sumiadi menjelaskan, pihaknya belum berencana merelokasi kawasan komersial Merdeka Walk dan bangunan parkir di Lapangan Merdeka. Pemkot Medan terikat kontrak pemanfaatan lahan dengan pengelola Merdeka Walk selama 25 tahun dari 2006 sampai 2031. ”Kami harus menghormati perjanjian,” katanya. (Kompas.id, 10/10/2020).