Cakupan vaksinasi masih rendah, belum bisa mengurangi tingkat kematian akibat Covid-19. Hingga saat ini cakupan vaksinasi nasional 4,2 persen, jauh di bawah standar dunia 40-50 persen vaksinasi untuk mengurangi kematian.
Oleh
Albertus Krisna/Puteri Rosalina/Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
Vaksin bukanlah ”jurus pamungkas” yang dapat mencegah ledakan kasus Covid-19. Melalui olah data, tim Kompas memprediksi masih butuh sekitar empat tahun lagi untuk mencapai cakupan optimal guna memperlambat penyebaran pandemi.
Hingga Minggu (6/6/2021) pukul 18.00, vaksinasi yang sudah dimulai di Indonesia sejak pertengahan Januari lalu baru menyentuh 28,8 juta dosis. Rinciannya, 17,7 juta orang untuk dosis vaksin pertama dan 11,1 juta untuk dosis kedua.
Jika dosis kedua dijadikan parameter kekebalan terbaik, artinya baru 4,12 persen populasi RI yang sudah terlindungi vaksin secara penuh.
Karena itu, jika diperlukan 60-70 persen populasi yang telah kebal, baik melalui vaksin maupun akibat tertular sebelumnya demi menghentikan penyebaran Covid-19 (herd immunity), berapa lama kira-kira program vaksinasi mencapai target 181,5 juta jiwa?
Jawabannya: masih lama, bisa jadi melampaui ujung masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo, pada 2024. Memakai asumsi jumlah vaksinasi April 2021, diproyeksikan vaksin dosis kedua baru menyentuh 181,5 juta pada pertengahan Januari 2025.
Dalam sehari, secara rata-rata 128.596 vaksin Covid-19 dosis kedua dibagikan selama April 2021. April dipilih sebagai asumsi karena pada Mei 2021 banyak hari libur nasional sehingga vaksinasi harian anjlok.
Untuk dapat mencapai target jangka pendek pun, upaya percepatan vaksinasi perlu dilakukan segera dan drastis. Target vaksinasi kepada 70 juta orang pun diubah dari Maret menjadi September 2021.
Memakai asumsi jumlah vaksinasi April 2021, diproyeksikan vaksin dosis kedua baru menyentuh 181,5 juta pada pertengahan Januari 2025.
Target ini akan sulit tercapai tanpa peningkatan drastis upaya vaksinasi. Untuk mencapai target 70 juta orang tervaksin dosis kedua pada September 2021, tingkat vaksinasi harus diungkit hingga 6,42 kali dari rata-rata sepekan terakhir (30 Mei-5 Juni).
Terkait hal ini, ditemukan beberapa laporan terkait pelaksanaan vaksinasi yang perlu dioptimalkan dalam asesmen umpan balik warga oleh Lapor Covid-19 dan Wahana Visi Indonesia.
”Ditemukan kecenderungan pelapor yang menilai vaksinasi cenderung kurang baik dan baik. Pada kecenderungan kurang baik disampaikan vaksinasi kurang memuaskan karena minim informasi, ada hambatan kelompok rentan mendapat vaksin, dan gangguan saat vaksinasi,” kata sukarelawan Lapor Covid-19, Amanda Tan (Kompas, 5/6/2021).
Belum berdampak
Rendahnya cakupan vaksinasi, bahkan di bawah rata-rata dunia yang 5 persen, belum berhasil mengurangi tingkat kematian (case fatality rate/ CFR) akibat Covid-19. Jumlahnya masih terlalu kecil untuk memberikan manfaat kentara.
Di provinsi yang mengalami kenaikan kasus terbesar pasca-Lebaran, cakupan dosis kedua bahkan masih rendah dibandingkan dengan angka nasional. Jawa Tengah, misalnya, berada di angka 3,83 persen, Aceh 1,96 persen, dan Kepulauan Riau 3,13 persen.
Melalui analisis data, fluktuasi angka kematian pasien Covid-19 dan angka CFR memang belum terlihat berkorelasi dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang telah menerima vaksin.
Ketiadaan korelasi CFR dan progres vaksinasi sejauh ini bahkan juga terlihat pada tiga provinsi dengan jumlah cakupan pemberian vaksin dosis kedua terbesar, yakni DKI Jakarta (17,4 persen), Bali (15,3 persen), dan DI Yogyakarta (9,7 persen).
Pada ketiga provinsi tersebut, pertumbuhan cakupan vaksin setiap harinya belum berpengaruh pada penurunan angka CFR. Di Yogyakarta, misalnya, korelasi antara cakupan vaksin dan CFR justru berbanding lurus pada periode Januari hingga akhir Mei 2021. Selama vaksinasi berjalan, CFR Yogya malah masih menunjukkan tren yang terus naik.
Sejumlah pakar mengatakan bahwa dampak berkurangnya tingkat kematian akibat vaksin baru akan terlihat jika cakupan vaksin telah mencapai 40-50 persen populasi atau sekitar 100 juta orang penduduk Indonesia. ”Sekarang vaksin belum berpengaruh karena jumlahnya masih sedikit,” kata Tri Yunis Miko, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Belum lagi mutasi virus SARS-CoV-2 yang dapat mengurangi efektivitas dari vaksin yang telah dikembangkan selama ini. Herd immunity bisa jadi kian sulit tercapai.
Dicky Budiman, epidemiolog Griffith University, Australia, dalam diskusi pekan lalu menyimbolkan vaksin sebagai ”jalan tol mahal” dalam pengendalian pandemi Covid-19. Dengan kata lain, hanya sedikit negara yang mampu dengan cepat mengakses vaksin.
Cakupan vaksin tidak merata di seluruh dunia akan membuat Covid-19 tidak mudah dieradikasi secara global. Menurut Dicky, ini adalah isu yang akan dihadapi dunia selama 2-3 tahun ke depan.
Oleh karena itu, diperlukan persiapan intervensi nonfarmasi, yakni pencegahan terjadinya kerumunan dan pembatasan mobilitas yang lebih efektif di masa depan. Khususnya, untuk menghadapi lonjakan kasus dan kasus kematian yang mengiringi momen libur panjang.
Dalam tataran riil, tantangan pertama yang harus dihadapi adalah lonjakan kasus karena libur Lebaran 2021 berikut dampaknya terhadap fasilitas kesehatan Indonesia.
Berdasarkan data Gugus Tugas Penanganan Covid-19 hingga 30 Mei, ada tujuh provinsi dengan tingkat keterpakaian tempat tidur (bed occupancy ratio/BOR) di rumah sakit rujukan Covid-19 yang melebihi 50 persen, yakni Kalimantan Barat (62,4 persen), Sumatera Utara (59,3 persen), Jambi (54,7 persen), Sumatera Barat (53,8 persen), Kepri (52,9 persen), Riau (52,8 persen), dan Sumatera Selatan (52,1 persen).
Cakupan vaksin tidak merata di seluruh dunia akan membuat Covid-19 tidak mudah dieradikasi secara global.
Kalbar di posisi puncak juga menjadi provinsi dengan kenaikan BOR paling drastis, yakni naik 23,6 persen dibandingkan dengan BOR 18 April.
”Kita harus melihat masa lalu untuk melihat masa depan. Cukup melihat pada setahun pertama pandemi ini akan memberikan pembelajaran yang sangat baik untuk meningkatkan respons kita ke depan,” kata Dicky.