Nestapa Tak Berujung dari Semburan Lumpur Lapindo
Setelah 15 tahun semburan lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, ancaman bencana dan krisis multidimensi terus menghantui masyarakat yang telah menderita dan menjadi korban.
Bencana semburan lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi 15 tahun silam. Namun, bagi Ahmad Samsi (58), dampaknya masih sepahit kopi yang ia seruput di warung dekat tanggul danau penampungan lumpur Lapindo, tepatnya di Desa Kalitengah, Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa (1/6/2021).
”Dulu, dampaknya banyak. Banjir dan kesehatan. Kalau sekarang, setiap hujan, Desa Kalitengah selalu kebanjiran. Dampak kesehatan, saya tidak mengalaminya dan semoga sehat-sehat saja,” ujar Ahmad.
Lahan kosong di samping warung, sebelumnya merupakan tempat tinggal orangtuanya. Semburan lumpur Lapindo sejak 29 Mei 2006 merusak rumah-rumah dan memaksa keluarga Ahmad pindah. Mereka menerima uang kompensasi dan Ahmad menggunakannya untuk membangun rumah tidak terlalu jauh dari lokasi bencana.
”Saya tidak bisa pergi dari Kalitengah karena di sini saya lahir dan dibesarkan,” katanya.
Kepala Desa Kalitengah Ali Afandi, yang kebetulan mampir ke warung, menuturkan, di desa itu masih ada 23 rumah yang belum mendapat kompensasi lumpur Lapindo. Selain itu, diklaim bahwa semua fasilitas umum dan fasilitas sosial, antara lain jalan desa, tempat ibadah, gedung sekolah yang rusak akibat semburan lumpur Lapindo juga belum mendapat kompensasi.
”Air tanah tidak bisa dikonsumsi. Sebelum ada semburan lumpur, air sumur tawar dan biasanya dipakai untuk minum, tetapi sekarang asin dan kekuningan. Untuk masak dan mandi, warga membeli air minum,” kata Ali, yang memasuki bulan ke-6 periode kedua jabatannya sebagai kepala desa.
Dampak yang hingga kini masih dirasakan warga adalah banjir setiap kali hujan. Jalan Raya Kalitengah Selatan yang berbatasan dengan sisi utara tanggul danau penampungan jika kebanjiran terpaksa ditutup. Selama penutupan jalan sampai banjir surut, warga terisolasi. ”Ya, tidak bisa ke mana-mana,” kata Ali.
Di luar itu, bau tak sedap kerap tercium, juga gangguan kesehatan masih dialami warga. ”Warga masih mengeluhkan serangan sesak napas, ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), dan penyakit kulit,” kata Suaigit Tricahyono, Ketua RT 011 Gedang, Porong, yang juga salah satu korban.
Warga rentan diserang masalah kejiwaan. Sebabnya, merasa tercerabut dari akar sosial budaya. Selain itu, konflik yang dipicu pembagian harta penjualan aset atau ganti rugi. ”Sayangnya, informasi yang sensitif seperti ini kurang banyak diungkap. Informasi terkadang dipelintir seakan-akan warga yang bertahan baik-baik saja padahal tidak demikian,” ujar Suaigit.
Baca juga : ”15 Tahun Lumpur Lapindo”, Lumpur Panas, Bencana atau Kelalaian
Masih menyembur
Pada 29 Mei 2006, sekitar pukul 04.30, lumpur panas menyembur dari rekahan tanah dekat sumur eksplorasi Banjar Panji-1 PT Lapindo Brantas di persawahan Siring, Porong. Selama 15 tahun, semburan belum juga berhenti.
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali mengklaim, mitigasi di sekitar danau penampungan terus ditempuh. Pembenahan dilakukan secara bertahap agar kawasan terdampak dapat dimanfaatkan secara optimal untuk penanganan bencana dan pembangunan.
Semburan lumpur yang pada awalnya sebanyak 50.000-100.000 meter kubik dan pernah menyentuh 120.000 meter kubik setiap hari, menenggelamkan 16 desa/kelurahan di tiga kecamatan yakni Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Puluhan ribu rumah terendam dan ratusan ribu warga tercerabut dari kampung halaman juga akar budayanya.
Menurut Kepala Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) Pattiasina Jefry Recky, semburan lumpur masih aktif hingga kini, sekitar 60.000-90.000 meter kubik per hari. Komposisi material semburan 60 persen lumpur dan 40 persen air. Sebanyak 80 persen material semburan dialirkan ke Sungai Porong. Sisanya, diendapkan di danau penampungan seluas 634,5 hektar dengan tanggul berketinggian 11-12 meter.
Hujan dengan cepat menambah volume material danau raksasa. Padahal, ada potensi lain yang patut diwaspadai, yakni aktivitas geologi terutama gempa yang bisa memperbesar volume semburan atau berdampak buruk terhadap kekuatan tanggul. (Pattiasina Jefry Recky)
Penambahan material setiap hari mengakibatkan danau cepat penuh. Bahkan, di beberapa lokasi ketinggian material hampir sejajar dengan tanggul. Rawan luberan dari sisi atas dan rembesan dari sisi bawah. Potensi bencana itulah yang terus dimitigasi oleh PPLS karena berdampak terhadap aktivitas masyarakat di Gempolsari, Kalitengah, dan Kalidawir.
Potensi luberan dan rembesan membesar ketika musim hujan. Hujan dengan cepat menambah volume material danau raksasa. Padahal, ada potensi lain yang patut diwaspadai, yakni aktivitas geologi terutama gempa yang bisa memperbesar volume semburan atau berdampak buruk terhadap kekuatan tanggul.
Perluasan danau sulit ditempuh karena di sekitarnya ada permukiman padat. Peninggian tanggul juga tidak memungkinkan karena rawan ambrol. Konstruksi tanggul cuma berupa material tanah yang diuruk dan dipadatkan.
”Untuk memantau perkembangan terkini kondisi pusat semburan dan kawasan di sekitarnya termasuk kondisi tanggul kolam penampungan lumpur, telah dipasang kamera pengawas yang terkoneksi langsung dengan PPLS,” ujar Recky. Warga bisa memantau perkembangan kondisi tanggul lewat aplikasi Si Monitoring Waduk Lumpur.
Adapun tentang sisa ganti rugi, Public Relation Manager Minarak Brantas Gas Inc selaku pemilik Lapindo Brantas, Arief Setyo Widodo, yang dihubungi Kamis (3/6/2021) menyatakan, perusahaan masih intens berkoordinasi dengan pemerintah terkait sisa ganti rugi warga.
”Semua pertanyaan terkait Lapindo sudah disampaikan ke kantor pusat di Jakarta, dan jawabannya soal pembayaran angsuran dana talangan masih dikoordinasikan dengan pemerintah,” katanya.
Baca juga: Tuntaskan Masalah Sosial Korban Lumpur Lapindo Sidoarjo
Bencana multidimensi
Persoalan bencana multidimensi dari semburan lumpur Lapindo, mengemuka dalam diskusi ”Bencana Industrial dan Keadilan Sosial Ekologis” beberapa waktu lalu. Diskusi di jagat maya itu diselenggarakan oleh AIFIS (American Institute for Indonesian Studies), Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), TKPT (Tim Kerja Perempuan dan Tambang), Sajogyo Institute, Kelompok Riset Lingkungan dan Bencana Sosial Universitas Brawijaya, dan Posko KKLuLa (Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo).
Lumpur Lapindo sepatutnya dilihat sebagai bencana industrial, bukan secara politik yang gegabah dinyatakan sebagai bencana alam. Lumpur Lapindo melahirkan krisis multidimensi. (Phillip Drake)
Dosen dan peneliti studi lingkungan Universitas Kansas, Phillip Drake, mengatakan, lumpur Lapindo sepatutnya dilihat sebagai bencana industrial, bukan secara politik yang gegabah dinyatakan sebagai bencana alam. Lumpur Lapindo melahirkan krisis multidimensi. Bahkan, dalam dunia akademik, lumpur Lapindo memicu terjadinya krisis etika ilmu pengetahuan dan teknologi.
Drake yang beberapa kali memublikasikan penelitian kebencanaan di Jatim termasuk lumpur Lapindo, menyatakan, publik seolah dininabobokan atau dibodohi dengan narasi-narasi yang positif. Lokasi bencana digemakan sebagai laboratorium geologi, obyek wisata, tetapi kurang bahkan tak menyentuh aspek kemanusiaan, yakni warga terdampak yang hidup dalam penderitaan dan ancaman.
”Lumpur Lapindo bukan laboratorium geologi, melainkan sebagai laboratorium untuk mengukur kredibilitas akademik dan laboratorium (etika) sosial,” kata Drake.
Drake mencermati, berbagai penelitian tentang lumpur Lapindo oleh kalangan peneliti ternyata bernada positif yang mendorong pemahaman bahwa bencana itu akibat alam. Dengan demikian, hanya Allah yang bisa menghentikan dan manusia cuma pasrah. Meski benar ada manfaat dari lumpur itu tetapi jangan lupakan dampak besar dan fatal terhadap manusia yang justru terkesan dilemahkan.
”Saya prihatin karena yang didengungkan justru manfaat misalnya temuan potensi Lithium. Lalu di mana posisi korban, manusia?” ujar Drake.
Baca juga : Kisah Sebuah Foto dari Bencana Lumpur Lapindo
Hal senada disampaikan Judith Bosnak, dosen dan peneliti dari Universitas Leiden. Menurut dia, pertarungan narasi tentang lumpur Lapindo, pernyataan politik bahwa peristiwa itu sebagai bencana alam, telah memperlihatkan adanya krisis etika. Lumpur Lapindo jelas merupakan bencana industrial bukan bencana alam. Penguatan narasi sebagai bencana alam dari kalangan akademik menurunkan kredibilitas sekaligus memperlihatkan krisis etika.
”Pada prinsipnya, ilmu pengetahuan adalah proses sosial yang berpijak pada aspek kemanusiaan. Kredibilitasnya diuji dengan terus menerus melaksanakan penelitian untuk pengetahuan demi keselamatan umat manusia,” kata Bosnak.
Bosnak mendorong, agar penelitian tentang lumpur Lapindo terus dilakukan untuk pemantauan sosial dan kualitas lingkungan masyarakat. Lumpur Lapindo amat bisa bahkan harus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat dan penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam di masa depan. Bencana seperti ini tidak boleh terulang.
Kredibilitasnya diuji dengan terus menerus melaksanakan penelitian untuk pengetahuan demi keselamatan umat manusia. (Judith Bosnak)
Seluruh proses penanganan dampak lumpur Lapindo, dinilai Koordinator Posko KKLuLa dan Dewan Nasional Walhi Bambang Catur Nusantara, lebih kental bernuansa politik dan ekonomi. Berbagai penelitian yang memperlihatkan dampak buruk lumpur Lapindo cenderung terabaikan.
Sebagai contoh, penelitian dan pemantauan biologi di sembilan lokasi di badan sungai terusan Bengawan Brantas di Gempol, Besuki, Tanjungsari, dan Tlocor, serta Irigasi Besuki, Buaran, Pemisan, Glagaharum, dan Pologunting memperlihatkan kondisi tidak sehat. Kondisi air sungai dan irigasi tercemar berat sehingga tidak layak untuk digunakan guna mendukung aktivitas masyarakat, apalagi dikonsumsi.
Pendiri TKPT Siti Maimunah mengatakan, semburan lumpur Lapindo masih berlangsung dan belum dapat dipastikan kapan berhenti. Ada penelitian yang memprediksi semburan itu akan berlangsung sampai 30 tahun. Artinya, krisis dan bencana multidimensi masih mengancam masyarakat Sidoarjo dan Jatim secara umum.
”Lumpur Lapindo menjadi contoh konkret bahwa bencana industrial selalu berakibat merugikan dan memaksa masyarakat menanggung seluruh dampaknya,” kata Siti.
Baca juga: Ikhtiar Menangkap Semburan Ekonomi dari Lumpur Sidoarjo
Penanganan bencana lumpur Lapindo, menurut dia, tidak selesai setelah seluruh warga terdampak menerima ganti rugi atau kompensasi. Masalah baru yang muncul akibat warga yang terpaksa pindah dari lokasi terdampak mesti dicarikan solusinya.