Sebanyak 340 Kali Gempa Terjadi di NTB Sepanjang Mei 2021, Masyarakat Diimbau Selalu Waspada
Gempa bumi di NTB masih terus terjadi. BMKG Stasiun Geofisika Mataram mencatat, sepanjang Mei 2021, terjadi 340 kejadian gempa bumi.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Aktivitas kegempaan di wilayah Nusa Tenggara Barat hingga saat ini masih terus terjadi. Sepanjang Mei 2021, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat telah terjadi 340 kejadian gempa bumi. Meski demikian, gempa bumi tersebut tidak berdampak signifikan.
Kepala BMKG Stasiun Geofisika Mataram Ardhianto Septiadhi di Mataram, Selasa (1/6/2021), mengatakan, gempa yang terjadi sepanjang Mei 2021 di wilayah NTB dan sekitarnya didominasi kejadian dengan magnitudo kurang dari 3 dan kedalaman dangkal kurang dari 60 kilometer.
”Dari seluruh kejadian, terdapat satu gempa bumi yang dirasakan sekitar wilayah NTB. Gempa itu terjadi pada 2 Mei dengan intensitas II modified mercalli intensity atau MMI,” kata Ardhi.
BMKG Stasiun Geofisika Mataram menganalisis, gempa yang terjadi selama Mei 2021 dikelompokkan menjadi tiga bagian, yakni berdasarkan magnitudo, frekuensi kejadian, dan kedalaman setiap kejadian.
Menurut Ardhi, berdasarkan frekuensi, kejadian gempa bumi terbanyak pada 9 Mei yakni 2021 kejadian, sedangkan berdasarkan magnitudo, gempa dengan magnitudo kurang dari 3 sebanyak 243 kejadian.
”Untuk kejadian dengan magnitudo 3 sampai 5 sebanyak 95 kejadian. Kami menganalisis, tidak ada kejadian gempa dengan magnitudo di atas 5,” kata Ardhi.
Berdasarkan kedalaman, gempa bumi dengan kedalaman 60 sampai 300 kilometer sebanyak 278 kejadian. BMKG Stasiun Geofisika Mataram tidak mencatat adanya kejadian gempa dengan kedalaman di atas 300 kilometer.
Dari seluruh kejadian, terdapat satu gempa bumi yang dirasakan sekitar wilayah NTB. Gempa itu terjadi pada 2 Mei dengan intensitas II modified mercalli intensity atau MMI.
Berdasarkan catatan BMKG, kejadian gempa sepanjang Mei didominasi oleh aktivitas pada sumber gempa Flores Back Arc Thrust Utara Sumbawa. Flores Back Arc Thrust atau Sesar Naik Busur Belakang Flores yang memicu gempa bermagnitudo 6,4 serta mengguncang Lombok dan Sumbawa pada Minggu, 29 Juli 2018.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, gempa itu mengakibatkan 20 orang meninggal dengan kerusakan bangunan hingga 10.000 unit.
Selang lima hari, terjadi gempa bermagnitudo 7 yang mengguncang Lombok pada 5 Agustus 2018. Gempa itu mengakibatkan 564 orang meninggal (dua di antaranya di Bali dan tujuh di Pulau Sumbawa). Ratusan ribu rumah rusak.
Kesiapsiagaan
Ardhi menambahkan, gempa bumi saat ini tidak bisa diprediksi. Oleh karena itu, kesiapsiagaan terhadap gempa bumi perlu dilakukan oleh masyarakat.
”Masyarakat perlu memahami apa yang dilakukan pada saat terjadi gempa bumi, termasuk memahami kondisi bangunan apakah aman gempa dan lingkungan apakah masuk rawan atau tidak,” kata Ardhi.
Selain itu, masyarakat juga diminta untuk terus mengikuti informasi dari BMKG sehingga tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Selain mencegah korban jiwa, kesiapsiagaan juga untuk menghindari dampak lain, seperti dampak ekonomi. Akibat gempa 2018, misalnya, total kerugian masyarakat Kabupaten Lombok Utara karena bencana itu mencapai Rp 9,9 triliun. Dampak lainnya, persentase kemiskinan meningkat sekitar 2 persen.
Guru Besar Ilmu Geologi Teknik, Geoteknik, dan Mekanika Batuan Fakultas Teknik Universitas Mataram Didi Supriadi Agustawijaya beberapa waktu lalu mengatakan, berdasarkan penelitian mereka, gempa seperti 2018 diprediksikan terjadi dalam periode yang cukup pendek.
Gempa magnitudo 6, misalnya, diprediksikan terjadi dalam periode 20 tahun, sementara yang bermagnitudo 7,5 dalam 40 tahun.
Oleh karena itu, menurut Didi, perlu ada mitigasi bencana, baik struktural maupun kultural. Mitigasi struktural di mana organisasi perangkat daerah punya standar operasional prosedur terkait kebencanaan. Hal itu harus diatur dalam peraturan daerah.
Sementara mitigasi kultural, yang juga dipayungi perda, terkait pendidikan kebencanaan. Hal itu juga harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah (Kompas, 19/11/2020).
Sejauh ini, mitigasi menjadi salah satu perhatian utama pascagempa Lombok 2018. Di Lombok Utara, misalnya, menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lombok Utara Heryanto, dalam perencanaan pembangunan, instansi terkait harus menggunakan pendekatan perencanaan berbasis kebencanaan.
Sementara di Lombok Tengah, pada Desember 2020, Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama Universitas Mataram menggelar uji coba sirene dan simulasi bencana tsunami di kawasan Mandalika, Lombok Tengah. Wilayah yang kini menjadi salah satu destinasi superprioritas itu, terutama di bagian selatan, pernah dilanda tsunami pada 1977.
Uji coba dan simulasi sirene diharapkan bisa meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di kawasan Mandalika, di samping simulasi bencana yang menurut Ketua Desa Tangguh Bencana Kuta Mae Suharja Yusuf rutin dilakukan.