Lahan Hunian Tetap di Palu Belum Kunjung Beres, Wali Kota Janjikan Segera Selesaikan
Lahan untuk pembangunan hunian tetap bagi penyintas gempa di Palu, Sulteng, yang belum bebas dari klaim warga dijanjikan segera diselesaikan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
PALU, KOMPAS — Sebagian lahan untuk pembangunan hunian tetap bagi penyintas gempa di Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum kunjung beres status hukumnya. Sejumlah warga terus mengklaim lahan sehingga pembangunan hunian tetap dihentikan. Pemerintah Kota Palu menjanjikan masalah lahan tersebut rampung pada pertengahan Juni 2021.
”Untuk lahan-lahan yang masih bermasalah, kami usahakan pada 18 Juni selesai semuanya. Kami akan gerak cepat untuk menyelesaikannya,” kata Wali Kota Palu Hadianto Rasyid dalam rapat khusus koordinasi pelaksanaan rekonstruksi pascagempa di Palu, Kamis (27/5/2021).
Hadir dalam rapat tersebut Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) John W Wetipo serta Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra.
Dalam rapat tersebut, Kementerian ATR/BPN menyerahkan lokasi hunian tetap (huntap) kepada Pemerintah Kota Palu untuk diselesaikan, termasuk terkait masalah klaim warga. Klaim warga tersebut terjadi di lahan huntap Kelurahan Tondo (Tondo II) dan Kelurahan Talise di Kecamatan Mantikulore.
Di lahan huntap Tondo II yang seluas 65 hektar, ada 37 orang yang mengklaim. Di lahan huntap Talise, ada 101 orang yang mengklaim. Warga yang mengkalim lahan tersebut berasal dari Kelurahan Talise, Kelurahan Talise Valangguni, dan Kelurahan Tondo.
Karena klaim tersebut, Kementerian PUPR tak melanjutkan penyiapan lahan sejak Maret 2021. Klaim warga sudah dimulai ketika lahan-lahan huntap itu dipersiapkan pada awal 2021. Warga mematok kayu sebagai bentuk klaim atas lahan tersebut. Bahkan, beberapa kali warga mendatangi lokasi huntap agar pekerjaan dihentikan.
Wali Kota Palu saat itu, Hidayat, meminta Kementerian PUPR tetap bekerja, sementara masalah klaim warga diurus. Begitu pula dengan lahan yang dipersiapkan untuk mereka. Kebijakan berubah saat Hadianto menjabat, yang menegaskan jangan ada pengerjaan di lahan huntap sebelum masalah klaim warga diselesaikan.
Lahan di dua lokasi tersebut direncanakan untuk pembangunan tak kurang dari 3.000 unit huntap. Di Palu, huntap lainnya telah dibangun dan ditempati di Kelurahan Tondo (Tondo I) dan Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, dengan total 1.700 huntap. Palu membutuhkan sekitar 6.000 huntap.
Lahan untuk huntap Tondo II dan Talise telah digusur rata. Lahan itu sebelumnya berbukit dengan semak belukar. Tak hanya diratakan, sebagian juga sudah dibuatkan tapak untuk pendirian rumah.
Dalam rencana rekonstruksi dan rehabilitasi, huntap untuk penyintas bencana di Sulteng seharusnya selesai pada 2020. Masalah tak beresnya lahan membuat pembangunan terus molor. Untuk Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, tiga daerah terdampak bencana lainnya pada 28 September 20218, lahan tak lagi bermasalah. Saat ini, pembangunan huntap di ketiga daerah itu masih terus berjalan.
Hadianto menyatakan, dengan penyerahan kewenangan pengadaan lahan huntap kepada pemerintah kota, pihaknya segera bertindak. Data warga yang mengklaim juga telah dikantongi dengan jumlah 1.000 orang.
”Mekanisme yang dipakai adalah land consolidation. Jika konsep kami ini diterima Kementerian ATR/BPN, masalah lahan ini secepatnya selesai,” katanya. Land consolidation merujuk pada mekanisme penataan ulang lahan untuk didistribusikan kepada masyarakat.
Lahan pembangunan huntap merupakan areal semak belukar dengan tipe berbukit-bukit yang bekas hak guna bangunan (HGB). Selama ini, warga sekitar mengolahnya untuk kebun. Dalam mekanisme penanganan pascagempa, lahan tersebut dijadikan tempat relokasi bagi penyintas yang berada di zona merah atau zona terlarang pembangunan hunian baru, yakni kawasan bekas tsunami, likuefaksi, dan jalur sempadan sesar Palu Koro.
Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian PUPR Ari Setiadi Moerwanto meminta agar Pemerintah Kota Palu secepatnya menyelesaikan masalah lahan tersebut. Pihaknya segera bekerja lagi setelah masalah klaim diselesaikan. ”Kami tidak mau ada masalah klaim lagi ketika kami bekerja,” katanya.
Ia menyebutkan, anggaran yang digunakan untuk pembangunan huntap berasal dari pinjaman Bank Dunia (World Bank). Lembaga keuangan global itu tak mau ada masalah sosial dalam pembangunan huntap, termasuk klaim warga.
Banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Ini butuh komitmen dan kerja sama semua pihak.
Selain menghindari masalah sosial, dana tersebut juga ada batas waktu penggunaannya. Untuk huntap, penggunaan dana tersebut sampai Desember 2021. Meski demikian, perpanjangan masa penggunaan dana bisa dilakukan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN Shafik Ananta menyatakan, pihaknya selalu siap untuk berkomunikasi dengan pemerintah daerah guna menyelesaikan masalah lahan. Ia mengaku selama ini komunikasi berjalan cukup baik.
Komitmen serius
Wakil Menteri PUPR John W Wetipo meminta agar komitmen bersama untuk menyelesaikan masalah pembangunan hunian tetap dilaksanakan dengan serius. ”Banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Ini butuh komitmen dan kerja sama semua pihak. Kami harapkan dukungan dari Pemerintah Provinsi Sulteng dan Pemerintah Kota Palu,” katanya.
Ia sempat heran karena Wali Kota Palu Hadianto meninggalkan rapat koordinasi selepas jam istirahat makan siang. Padahal, kehadirannya sangat diperlukan untuk menuntaskan komitmen terkait penyelesaian huntap yang pada rapat tersebut dicatat jenis masalahnya, penanggung jawab, dan batas akhir penyelesaiannya. ”Jangan kerja setengah-setengah. Pekerjaan ini amanat negara untuk kehidupan masyarakat lebih baik,” ujar John.
Taufik (42), penyintas gempa dan likuefaksi di Kelurahan Petobo, Palu Selatan, berharap pemerintah segera menyelesaikan masalah lahan tersebut. Masalah itu sudah terjadi sangat lama dan harusnya bisa diselesaikan dengan cepat.
”Saya kira pemerintah punya segala kewenangan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan biarkan penyintas dalam ketidakpastian,” kata penyintas yang masih tinggal di hunian sementara (huntara) di Petobo itu. Taufik tinggal di huntara bersama penyintas lainnya yang masih belum mendapatkan huntap.
Koordinator Warga Talise Bersaudara, Bei Arifin, menyatakan, pihaknya tak bermaksud menghalangi pembangunan huntap untuk penyintas. Perjuangan pembagian lahan didasarkan pada sejarah penguasaan tanah oleh warga selama ini. ”Kami apresiasi solusi yang diberikan Pemerintah Kota Palu. Memang ini perlu duduk bersama agar masalah diselesaikan,” katanya.