Pemerintah Kota Palu meminta warga di dua kelurahan di daerah itu tak mengganggu pembangunan hunian tetap bagi warga penyintas bencana di lahan yang masih disengketakan. Warga akan diberi lahan garapan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Sebagian lahan yang sudah digusur untuk pembangunan hunian tetap penyintas bencana di Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (21/7/2020).
PALU, KOMPAS — Pemerintah Kota Palu, Sulawesi Tengah, meminta warga yang mengklaim lahan yang akan dibangun hunian tetap bagi penyintas bencana tak mengganggu proses pembangunan yang dilakukan. Pemerintah tengah menyiapkan solusi dengan menyediakan lahan garapan bagi warga yang mengklaim lahan itu. Penyediaan hunian tetap harus didahulukan karena menyangkut masalah kemanusiaan.
”Jangan diganggu pembangunan yang berlangsung di lokasi. Warga mau menggarap lahan yang sedang dikerjakan untuk pembangunan hunian tetap, itu tidak bisa. Tolonglah dibantu,” kata Wali Kota Palu Hidayat saat acara peletakan batu pertama pembangunan kompleks sekolah di lokasi hunian tetap penyintas bencana di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Selasa (28/7/2020). Kompleks sekolah tersebut dibangun Yayasan Buddha Tzu Chi yang sebelumnya telah membangun hunian tetap (huntap) di dekat lokasi pembangunan sekolah.
Imbauan tidak mengganggu itu terkait dengan sengketa lahan bakal pembangunan huntap di Kelurahan Talise Valangguni, Mantikulore. Lahan yang ditetapkan seluas 46,8 hektar tersebut diklaim sebagai milik warga Kelurahan Talise dan Kelurahan Talise Valangguni.
Tak hanya berunjuk rasa, warga juga membangun pondok dan pagar di lokasi sengketa. Padahal, lahan telah dibebaskan oleh Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Sulteng, awal 2020.
Wali Kota Palu Hidayat (memegang sekop) memasukkan material beton ke dalam lubang sebagai pertanda dimulainya pembangunan sekolah berbagai jenjang di kompleks hunian tetap yang dibangun Yayasan Buddha Tzu Chi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Selasa (28/6/2020).
Lahan yang merupakan bekas hak guna bangunan tersebut terletak di timur Sirkuit Panggona atau di sebelah utara Pasar Talise. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saat ini tengah meratakan tanah untuk membangun huntap.
Hidayat menyatakan pemerintah akan menyediakan lahan garapan di lokasi lain. Pihaknya telah membentuk tim khusus untuk menginventarisasi warga yang mengklaim lahan itu dan berhak. ”Ini kami carikan solusi terbaik,” katanya.
Tak menyebut lahan mana yang akan diserahkan kepada warga untuk digarap, Hidayat menuturkan, bersama dengan Badan Pertanahan Nasional, pihaknya akan memastikan batas-batas lahan huntap. Namun, kemungkinan besar, lahan di luar kawasan pembangunan hutap bisa diserahkan kepada warga untuk digarap.
Lahan yang disengketan di Kelurahan Talise Valangguni itu merupakan bagian dari lokasi pembangunan huntap bagi penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu yang harus direlokasi. Mereka direlokasi karena lokasi rumah lama mereka ditetapkan sebagai kawasan terlarang untuk pembangunan hunian baru atau zona merah.
Seorang penghuni hunian tetap atau rumah penyintas gempa membangun pagar untuk melindungi bunga atau tanaman di sekitar rumahnya di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantilulore, Kota Palu, Sulteng, Selasa (28/7/2020).
Di Palu, selain di Keluarahan Talise dan Tondo, lokasi huntap lainnya ada di Kelurahan Duyu dan Balaroa di Kecamatan Tatanga. Di Tondo, Duyu, dan Balaroa, huntap telah dibangun dan sebagian mulai ditempati.
Sementara total huntap yang dibangun di Palu mencapai 7.000 unit. Lahan pembangunan huntap merupakan bekas hak guna bangunan (HGB) yang sudah habis masa kontraknya atau tidak diperpanjang demi penyediaan huntap.
Hidayat menuturkan, pemerintah mengambil risiko dengan tak memperpanjang kontrak HGB. Keputusan itu dilakukan atas koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Keputusan itu dilakukan atas koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Keputusan diambil semata-mata demi alasan kemanusiaan, yakni penyediaan hunian bagi penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi yang saat ini sebagian besar masih tinggal di hunian sementara (huntara). ”Ini yang harus kita pikirkan bersama. Ada isu kemanusiaan ini,” katanya.
Saat dihubungi, Koordinator Talise Bersaudara, pihak yang mengklaim lahan, Bei Arifin menyatakan pihaknya setuju penyiapan lahan garapan di luar lokasi calon huntap, tetapi hal itu harus benar-benar dipastikan. ”Yang mana lahannya itu harus dikasih tahu. Intinya harus ada hitam di atas putih agar warga tak hanya dijanji-janji terus,” katanya.
Ia tetap berkukuh perataan tanah di calon lokasi huntap dihentikan hingga solusi yang disiapkan pemerintah terealisasi.
Permintaan penghentian aktivitas itu disuarakan warga saat menggelar demonstrasi di Kantor DPRD Kota Palu, Selasa (21/7/2020). DPRD Kota Palu menyetujui tuntutan tersebut dengan mengirimkan rekomendasi kepada Wali Kota Palu. Namun, rekomendasi itu sampai saat ini tak ditindaklanjuti. Perataan tanah di lokasi tetap berlangsung.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Warga Kelurahan Talise dan Kelurahan Talise Valangguni, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, berunjuk rasa mengklaim lahan pembangunan hunian tetap penyintas gempa di Kantor DPRD Kota Palu, Sulteng, Selasa (21/7/2020).
Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate yang turut hadir dalam acara peletakan batu pertama pembangunan sekolah di kompleks Huntap Tondo menyatakan, semua pihak harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah yang muncul terkait rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana.
Terkait pembangunan sekolah, Yayasan Buddha Tzu Chi akan membangun sekolah berbagai jenjang, meliputi taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas dalam satu kompleks. Kompleks sekolah berada di bagian barat huntap atau rumah penyintas di Tondo. Sekolah tersebut ditargetkan rampung pada pertengahan 2021.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu Ansyar Sutiadi menyatakan, sekolah tersebut diprioritaskan untuk penghuni huntap. Ini karena mereka tidak mungkin lagi bersekolah di sekolah awal yang selama ini merupakan sekolah sementara (semipermanan). Namun, pembangunan sekolah tambahan masih mungkin dilakukan, tergantung dari jumlah peserta didik yang ada di tiga lokasi huntap yang berdekatan.
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Para pejabat lintas instansi berfoto bersama seusai melakukan peletakan batu pertama pembangunan sekolah berbagai jenjang di kompleks hunian tetap yang dibangun Yayasan Buddha Tzu Chi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Selasa (28/7/2020).
Anggota pengurus Yayasan Buddha Tzu Chi Kertajaya menyampaikan, sejak awal pihaknya berkomitmen menyediakan huntap lengkap dengan fasilitas sosial, seperti sekolah, ruang terbuka hijau, dan balai pertemuan. ”Kami berharap sekolah ini bisa mendidik anak-anak tak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga cerdas secara sosial dengan memiliki budi pekerti baik, mencintai sesama,” ujarnya.