Tradisi memberi kepada mereka yang lebih tua pada bulan Ramadhan hingga Lebaran terus hidup dalam masyarakat. Barang pemberian pun mengandung makna. Ada gula dan teh sebagai simbol kerendahan hati.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
Adi Mulyadi (42), warga Desa Mejasem Timur, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pada Senin (10/5/2021) sibuk menata bingkisan-bingkisan yang diletakkan di dapur rumahnya. Bingkisan berisi gula, teh, mi instan, minyak goreng, beras, dan biskuit tersebut akan dibagikan kepada keluarga serta kerabatnya dalam rangka udun-udunan.
Udun-udunan merupakan kegiatan membagikan bingkisan kepada orang-orang yang lebih tua atau orang yang dihormati, sehari jelang atau pada saat Idul Fitri. Tradisi yang ada sejak puluhan tahun silam itu masih dilestarikan oleh sebagian keluarga di Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes hingga kini.
Bagi keluarga Adi, kesibukan menyiapkan barang-barang untuk keperluan udun-udunan sudah dimulai sepekan sebelum Lebaran tiba. ”Yang paling tidak boleh kelupaan dibeli adalah gula dan teh. Sebab, itu barang utama yang wajib diberikan saat udun-udunan,” kata ayah tiga anak itu.
Gula dan teh disebut Adi tidak boleh terlewat karena kedua barang itu merupakan simbol kerendahan hati. Sebanyak apa pun barang yang diberikan saat menyerahkan bingkisan, umumnya orang akan mengatakan ”ini ada gula dan teh sedikit untuk bapak/ibu”.
Setelah barang-barang terkumpul, mereka akan memulai kesibukan baru, yakni mengemas barang-barang tersebut menggunakan karton. Dalam kegiatan ini, tiga anak Adi biasanya ikut membantu. Anak-anak sengaja dilibatkan untuk memperkenalkan tradisi itu kepada mereka.
”Kegiatan ini penting untuk memberi pelajaran kepada anak-anak tentang arti penting berbagi kepada orang lain. Selain itu, saya juga ingin anak saya bisa semakin dekat dengan kakek-neneknya, paman-bibinya, ataupun sepupu-sepupunya yang mungkin jarang bisa ditemui kalau tidak pada saat momen-momen khusus seperti Lebaran,” ujar Adi.
Udun-udunan juga masih dilestarikan oleh keluarga Oky Lukmansyah (36), warga Desa Trayeman, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal. Bagi Oky, udun-udunan adalah wujud bakti anak kepada orangtua atau adik kepada kakak-kakaknya.
”Sebagai anak atau adik, kita wajib mengingat dan membalas kebaikan orangtua atau kakak-kakak kita. Perwujudannya bisa apa saja, termasuk udun-udunan,” ucapnya.
Kalau habis salaman, langsung semprot tangan menggunakan hand sanitizer.
Oky menuturkan, udun- udunan juga bisa dimaknai sebagai bentuk solidaritas kaum muda kepada orang-orang yang lebih tua. Sebagian orang tua sudah tidak bisa bekerja atau kurang produktif di usia-usia senja. Untuk itu, uluran tangan anak-anak muda yang biasanya lebih produktif sangat berarti bagi mereka.
Pandemi Covid-19 yang mendera Tanah Air lebih dari satu tahun belakangan tidak membuat tradisi udun-udunan berhenti dilakukan. Sama seperti kegiatan lain, udun-udunan juga dilakukan sesuai protokol kesehatan.
Keluarga Oky, misalnya, tetap memakai masker, menjaga jarak, dan selalu memperhatikan kebersihan tangan saat sedang melakukan udun-udunan. ”Kalau habis salaman, langsung semprot tangan menggunakan hand sanitizer,” katanya.
Dulu, tradisi udun-udunan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah berkeluarga. Namun, beberapa tahun belakangan, anak-anak muda yang masih lanjang turut melakoni tradisi ini. Kendati belum berkeluarga, Jingga (26), warga Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, misalnya, sudah dua tahun belakangan melakukan itu.
”Kalau dulu, orang berkeluarga itu dianggap sudah mapan dalam hal finansial, jadi sudah bisa berbagi. Kalau zaman sekarang, banyak banget anak muda yang mapan secara finansial sebelum mereka menikah. Toh, melestarikan tradisi tidak harus menunggu menikah dulu, kan?” ujar Jingga.
Jika kebanyakan orang membungkus barang-barang udun-udunan menggunakan kantong plastik atau karton, Jingga memilih membungkusnya dengan aneka wadah, seperti tas anyaman dari bambu, tas plastik daur ulang, atau kotak-kotak kayu. Isinya juga tidak melulu makanan atau minuman, tetapi ada juga barang-barang seperti alat makan dan minum, alat ibadah, dan peralatan dapur.
”Tahun lalu (bingkisan saya) isinya gula, teh, dan satu set perlengkapan minum teh. Tahun ini, saya mengirim gula, teh, mukena, sajadah, dan sarung,” ujarnya.
Nilai keislaman
Budayawan Tegal, Atmo Tan Sidik, menuturkan, di wilayah Tegal dan Brebes ada tradisi lain yang senapas dengan udun-udunan. Tradisi itu adalah unggah-unggahan atau membagikan makanan dan lauk-pauk kepada keluarga atau kerabat yang lebih tua. Jika udun-udunan dilakukan jelang Lebaran, unggah-unggahan dilakukan jelang puasa.
”Maksud dari unggah-unggahan ini adalah permohonan maaf kepada keluarga atau kerabat yang lebih tua, sekaligus meminta didoakan agar puasa mereka berjalan dengan lancar,” kata Atmo.
Selain dijadikan sebagai perwujudan solidaritas, menurut Atmo, udun-udunan juga bisa dimanfaatkan sebagai ajang saling tukar makanan khas atau produk andalan daerah. Orang Brebes, misalnya, kerap menambahkan telur asin dalam bingkisan yang dibagikan karena telur asin identik dengan makanan Brebes. Pertukaran produk khas ini diyakini mampu menumbuhkan kesepahaman kendati ada perbedaan budaya.
Sementara itu, anggota Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Randugunting sekaligus tokoh agama Kota Tegal, Slamet Saefurrohman, mengatakan, tradisi unggah-unggahan dan udun-udunan sejalan dengan nilai-nilai keislaman, salah satunya terkait dengan sedekah. Menurut dia, bersedekah atau memberikan sebagian miliknya kepada orang lain sangat disarankan. Bersedekah juga dapat menghapus dosa.
”Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 245, Allah SWT berfirman, ’Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan kepadanya dengan banyak’. Meminjami di sini artinya menggunakan harta yang dimiliki untuk kebaikan, salah satunya bersedekah,” ucap Slamet.
Pada masa pandemi, konsistensi masyarakat dalam melestarikan tradisi, termasuk saling berbagi, pun teruji. Nyatanya, banyak orang masih menjalaninya. Semoga akan terus ada gula dan teh untuk bapak-ibu pada tahun-tahun mendatang.