Ulama besar Sulsel KH Sanusi Baco meninggalkan kesan tentang pentingnya menjaga persatuan antarumat beragama. Ha ini tak hanya disampaikannya kepada para pejabat tapi juga berbagai kalangan.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
[caption id="attachment_11629606" align="alignnone" width="720"] Pelaksana tugas Gubernur Sulsel A Sudirman Sulaiman (tengah) dan Kapolda Sulsel Irjen Merdisyam (kanan) berbincang usai melayat di rumah duka KH Sanusi Baco, Sabtu (15/5/2021). Ulama besar Sulsel, KH Sanusi Baco meninggal Sabtu malam di RS Primaya, Makassar[/caption]
MAKASSAR, KOMPAS - KH Sanusi Baco, salah satu ulama besar Sulawesi Selatan, berpulang, Sabtu (15/5/2021). Kepergiannya menyimpan banyak kesan dan salah satu yang paling diingat adalah dia selalu mengajak untuk menjaga persatuan dan kesatuan antarumat beragama.
Salah satu yang paling diingat adalah dia selalu mengajak untuk menjaga persatuan dan kesatuan antarumat beragama
Ulama kharismatik yang di kalangan pesantren di Sulsel diberi gelar Anre Gurutta ini, meninggal di RS Primaya Makassar setelah sempat dirawat satu malam. Dokter mendiagnosis terjadi penyempitan usus. Gejala ini disusul dengan kerja jantung yang terus menurun.
Nur Taufik, anak kelima almarhum menyebut gejala gangguan di bagian usus mulai nampak Jumat (14/5/2021) usai sarapan. Saat itu Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulsel ini mual dan muntah-muntah. Sebelumnya saat merayakan Idul Fitri, kyai NU ini masih menerima tamu sepanjang hari.
“Sejak Jumat, Semua yang dimakan dimuntahkan. Lalu kami menelepon dokter keluarga dan saat datang, dokter meminta agar bapak diinfus. Tapi masih di rumah. Sore hari tangannya yang diinfus bengkak. Lalu dokter meminta kami membawa bapak ke rumah sakit. Selama di rumah sakit kesadarannya bagus walau fisiknya lemah,” kata Taufik.
Taufik mengatakan, usai shalat Maghrib, Ketua Unum Yayasan Mesjid Raya Makassar ini mulai tak banyak bicara. Hal ini disusul kondisi jantungnya yang terus melemah hingga akhirnya meninggal sekitar pukul 20.08 Wita. Selama Ramadhan lalu kata Taufik, setiap tarawih dan shalat subuh, dilakukan Sanusi dengan berjamaah di Mesjid Raya.
Kabar berpulangnya Sanusi Baco seketika meramaikan media sosial di Makassar. Grup-grup WhatsApp, Facebook, Instagram, diramaikan dengan ucapan duka cita dari berbagai kalangan.
Di rumah duka, kerabat, pejabat, warga, hingga santri dari berbagai pesantren memenuhi halaman hingga jalan. Hingga Minggu dinihari, pelayat silih berganti datang.
Kapolda Sulsel Irjen Merdisyam yang juga datang melayat mengatakan kehilangan ulama yang nasihatnya selalu menyejukkan.
“Pertama kali tugas di Makassar, orang pertama yang saya datangi adalah beliau. Yang saya ingat beliau selalu berpesan untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Dia juga tak pernah membeda-bedakan orang. Beliau sangat rendah hati dan seperti orangtua bagi kami,” kata Merdisyam.
Hal sama dikatakan pelaksana tugas Gubernur Sulsel A Sudirman Sulaiman. Baginya kepergian KH Sanusi Baco adalah kehilangan besar bagi Sulsel.
“Setiap bertemu, beliau selalu mendorong untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Dia juga mengajarkan untuk selalu meminta pertolongan kepada Allah dalam kesulitan apapun,” katanya.
Kesan sama juga dikatakan Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto. Menurutnya Sanusi Baco adalah ulama yang diterima semua kalangan, semua agama, dan orang dengan berbagai latar belakang sosial dan ekonomi.
“Dakwahnya selalu Rahmatan Lil Alamin. Selalu menasihati untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Beliau adalah tokoh pemersatu dan nasihatnya menjadi rujukan dari orang-orang yang berbeda latar belakang bahkan agama. Beliau pulang, tapi nasihatnya dan kenangan tentangnya akan selalu di hati,” kata Ramdhan.
Sanusi Baco lahir di Maros, 14 April 1937. Masa remaja dihabiskan dengan mendalami ilmu agama di pesantren Darud Da’wah Wal Isryad, Mangkoso, Barru. Dia kemudian hijrah ke Makassar dan berkuliah di Universitas Muslim Indonesia. Salah satu pendiri PMII Sulsel ini kemudian berkesempatan kuliah di Kairo, Mesir, saat mendapat beasiswa dari Kementrian Agama (saat itu masih bernama Departemen Agama).
Beasiswa kuliah di Kairo juga yang membawanya berkenalan dengan Gus Dur. Saat itu Sanusi dan Gus Dur menjadi teman seperjalanan ke Kairo. Keakraban mereka terus berlanjut saat Sanusi kembali ke Makassar. Ini pula salah satu alasan Sanusi Baco masuk ke NU dan menjadi pengurus PWNU Sulsel.
Kembali ke Makassar, Sanusi mengajar di sejumlah universitas sekaligus berdakwah. Sanusi juga menjadi Ketua MUI Sulsel. Keteladanan dan kerendahan hatinya membuatnya menjadi ulama yang disegani di hampir semua pesantren di Sulsel. Ini pula yang membuatnya mendapat pengakuan dalam bentuk sebutan Anre Gurutta. Secara sederhana ini berarti mahaguru atau guru besar. Anre Gurutta bukan gelar akademik melainkan gelar yang diberikan kepada ulama sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan. Pengajuan ini datang dari kalangan pesantren. Tak banyak ulama yang mendapat sebutan ini.
Direncanakan, Sanusi Baco akan dimakamkan di Talaweh, Maros, tempat kelahirannya. Pemakaman akan dilakukan Minggu siang usai shalat dzuhur. Sanusi Baco meninggalkan enam anak dan 12 cucu.